Oleh: Koalisi untuk Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan (KUSUKA)
Koalisi untuk Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan (KUSUKA) yang terdiri dari Perkumpulan Inisiatif, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) dan didukung oleh International Budget Partneship (IBP) Indonesia melakukan kajian kredibilitasi anggaran Subsidi Dana Kompensasi BBM JBT Solar (Dakom JBT-S) dan Pendataan partisipatif akses subsidi BBM untuk nelayan. Pendataan partisipatif yang dilakukan KNTI bersama Koalisi KUSUKA Nelayan pada tahun 2023 di 25 Kabupaten/Kota menunjukkan terdapat 70% nelayan tidak dapat mengakses BBM subsidi dan nelayan cenderung membeli BBM solar eceran dengan harga non-subsidi. Beberapa faktor yang menyebabkan nelayan kecil/tradisional sulit mengakses BBM bersubsidi adalah 1). Kurangnya stok BBM (Solar) bersubsidi untuk sektor perikanan/nelayan, 2). Regulasi yang menyulitkan nelayan kecil/tradisional untuk mengakses BBM bersubsidi, 3). Jarak SPBUN nelayan jauh dan cenderung berada ditengah kota. Meskipun demikian, pemerintah melalui Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemen UKM), Kementerian BUMN dan PT Pertamina pada tahun 2023 merencanakan pembuatan 58 SPBUN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan) yang tersebar diberbagai wilayah pilot project.
“Pada tahun 2021, Koalisi KUSUKA melakukan studi dimana 82% nelayan tidak dpat mengakses BBM subsidi dan angka ini menurun di tahun 2023 menjadi 70%, artinya sudah ada perbaikan, meskipun permasalah akses masih tetap ada, berdasarkan hasil survei Koalisi KUSUKA tahun 2023 sebanyak 63% responden setuju dengan mengalihan BBM Subsidi ke bentuk tunai“ ujar Dani Setiawan -Ketua umum KNTI
Kajian Koalisi KUSUKA juga menemukan kelemahan dalam tata kelola subsidi BBM untuk sektor perikanan/nelayan hal ini ditunjukan dengan adanya deviasi anggaran Dakom Subsidi energi secara aggregat di tahun 2020 yang menunjukan overspending (pengeluaran yang melebihi perencanaan) sebanyak 607%. Kondisi ini disebabkan akumulasi hutang dana kompensasi akibat keterlambatan pembayaran serta tidak dilakukannya pemutakhiran besaran Harga Jual Eceran (HJE) sejak 2016. Wulandari peneliti koalisi KUSUKA menyatakan bahwa “Nomenklatur subsidi BBM itu diatur dalam Belanja Subsidi BA 999.07, sedangkan nomenklatur dana kompensasi BBM diatur dalam Belanja Lain-lain BA 999.08. Dua jenis belanja ini memiliki definisi yang berbeda dan mekanisme pembayaran yang berbeda. Belanja subsidi BBM dapat dibayarkan secara rutin, namun dana kompensasi BBM pembayarannya disesuaikan dengan kondisi kemampuan keuangan negara sehingga penuh ketidakpastian. Hal ini berimplikasi pada keterlambatan pembayaran dana kompensasi kepada badan usaha. Pemerintah seharusnya bisa merencanakan hal ini dengan matang tiap tahun”
Hal ini sejalan dengan pernyataan Alamsyah Saragih selaku Pengamat Kebijakan Publik:
“Kebijakan subsidi BBM ini mengandung maladministrasi yang luar biasa, salah satu parameternya adalah nomenklatur yang berubah-ubah sehingga pemerintah harusnya mendefinisikan secara clear. Selain itu, berdasarkan pendataan partisipatif akses subsidi BBM yang dilakukan koalisi KUSUKA pada 2021, terdapat temuan bahwa sebagian besar kelompok sasar tidak memiliki akses, lantas apakah itu masih akuntabel dan penting dilakukan?”, Alamsjah juga menekankan perlunya evaluasi total pada mekanisme kebijakan BBM Subsidi: “Mengingat waktu pelaksanaan program subsidi secara menahun dan menyasar segmen katastropik maka perlu dilakukan evaluasi total. Subsidi BBM untuk nelayan terkesan tak sungguh-sungguh dibandingkan dengan membangun Ibu Kota Negara (IKN)”
Temuan berikutnya adalah adanya potential benefit loss yang dialami nelayan kecil sebesar Rp 2,8 triliun (rerata di periode tahun 2016-2020) sebagai dampak dari implementasi kebijakan Subsidi dan Dakom JBT-S. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan subsidi BBM dan Dakom JBT-S tidak berdampak langsung bagi nelayan kecil dan kredibilitas dari kebijakan fiskal ini dipertanyakan. Kondisi ini terjadi karena nelayan kecil mengalami hambatan akses dalam memperoleh subsidi BBM yang mengakibatkan realisasi dari kuota subsidi BBM solar di sektor perikanan rendah. Satu sisi pemerintah menyediakan kuota BBM solar dengan rerata 1,9 juta kilo liter di sektor perikanan (Tahun 2016-2020), namun yang terserap oleh nelayan hanya 498,737 kilo liter. Akar persoalan hambatan akses nelayan untuk mendapatkan subsidi BBM ini belum terselsaikan secara maksimal.
“Kajian ini menunjukan adanya kelemahan tata kelola anggaran Dana Kompensasi, yang dibuktikan dengan sulitnya masyarakat mengakses data anggaran, tidak terbukanya ruang partisipasi masyarakat dalam pembahasan kebijakan subsidi BBM dan Dakom BBM JBT-S terutama untuk nelayan kecil. Adanya potential benefit loss 2,8 T merupakan sebuah dasar yang cukup kuat untuk mengkaji lebih dalam tentang skema subsidi yang transparan, akuntabel dan tepat sasaran,” ujar Pius Widiatmoko – Peneliti Koalisi KUSUKA.
Dr. Ir. Riyanto dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengemukakan bahwa Subsidi energi adalah kewajiban pemerintah sehingga harus didesain tepat sasaran. “Jika harganya sudah mahal dan langka, tapi kuotanya tidak terserap banyak, jadi kemana alokasi dana Subsidi BBM itu? Ketika solar Subsidi dijual oleh pengecer, maka siapa yang mengecer ini? Apakah ini sebuah kebocoran dari kebijakan subsidi?”, ditambahkan oleh Dr. Ir. Riyanto bahwa pada dasarnya Dana kompensasi adalah subsidi sehingga secara akumulatif pemerintah memberikan subsidi yang cukup besar namun tidak efektif.
Dari permasalahan tersebut maka Koalisi KUSUKA merekomendasikan:
- Mendirikan atau memberdayakan koperasi disekitar pesisir sebagai lembaga sub penyalur BBM sehingga nelayan kecil/tradisonal dapat mengakses BBM bersubsidi dengan mudah. Hal ini menjadi penting karena selama ini nelayan membeli BBM kepada pengecer yang harganya jauh lebih mahal dan belum masifnya pendirian SPBU-N baru di wilayah pesisir.
- Mendorong Kementerian keuangan untuk membuat instrumen kebijakan subsidi yang lebih efektif dan tepat sasaran. Belajar dari program BLT Solar dimana skema distribusi menggunakan cash transfer ke penerima manfaat/nelayan, hal ini memberikan manfaat secara langsung ke target penerima dibandingkan model penyaluran Subsidi BBM.
- Mendorong BPH Migas, PT Pertamina dan KKP untuk melakukan pemutakhiran dan penyempurnaan data nelayan. Hal ini sebagai dasar penentuan kuota BBM subsidi JBT-S. Selain itu, BPH Migas dan PT Pertamina perlu secara aktif berkordinasi melakukan perhitungan yang matang dalam perencanaan alokasi Dakom JBT-S setiap tahun dengan memperhitungkan kapasitas fiskal APBN, fluktuasi harga minyak dunia, dan faktor-faktor lainnya sehingga tidak ada overspending (pengeluaran yang berlebihan) maupun underspending (pengeluaran yang lebih kecil dari pada yang ditetapkan).