Mencari kesalahan! atau ada yang salah!, merupakan satu pandangan spontan ketika istilah “audit” mulai didengar ke telinga. Baik masyarakat umum berpandangan bahwa istilah “audit” digambarkan terhadap adanya peristiwa atau kejadian yang khususnya pada kontek pelayanan publik yang tidak sesuai, yang notabene umumnya diemban oleh pejabat-pejabat publik.
Hal serupa turut terjadi, apabila sosok pejabat publik mendengar istilah “audit”, secara spontan selalu tersirat adanya ketidakberesan atau penyimpangan yang terjadi dalan suatu program maupun kegiatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Di samping itu, kata “audit” selalu mengarahkan arah pikir kepada sosok institusi yang berwenang melakukan kegiatan tersebut, sebut saja ada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan ( BPKP) atau setingkat Inspektorat daerah atau istilah lainnya yang memiliki kewenangan pemeriksaan secara internal. Akan tetapi, bagaimana jika audit itu dilakukan oleh sekelompok masyarakat? apakah mungkin?
Teteng (46 tahun) salah satu warga kampung Cilamajang, kelurahan Cipawitra Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya mengutarakan pernyataanya bahwa “ setelah melakukan kegiatan audit sosial, permasalahan pembangunan prasarana air bersih yang mengalami kerusakan, kini dari pihak Dinas Ciptakarya, Kota Tasikmalaya telah membantu upaya perbaikannya. Setelah gelar temuan dalam sebuah pertemuan masyarakat, hampir kurang lebih 10 kali dari pihak Dinas Ciptakarya datang ke kampung kami, dan sampai saat ini prasarana air yang berupa bangunan penampung air yang retak-retak sudah mulai direhab kembali” tukasnya.
Pernyataan tersebut turut diamini oleh perwakilan Dinas Ciptakarya Kota Tasikmalaya yang hadir dalam pertemuan difasilitasi oleh Perkumpulan INISIATIF dan jaringan kelompok masyarakat sipil di Kota Tasikmalaya di Hotel Santika (3/11/2014). Dudi, Kepala Bidang Permukiman membenarkan apa yang dinyatakan oleh Teteng, meski sikap dari beliau masih defensif untuk menerima pendekatan audit sosial tersebut yang dirasakan meragukan dari segi validitas data dan mekanismenya, sehingga tidak memberikan suatu rekomendasi yang belum tuntas, dan mengklaim bahwa selama ini setiap proses pembangunan selalu melibatkan masyarakat, yang mirip-mirip dengan audit sosial.
Berbeda dengan di Kabupaten Bandung, Kepala Bidang Program Dinas Ciptakarya memberikan apresiasi kepada kelompok masyarakat sipil dan anggota masyarakat yang menginisiasi kegiatan audit sosial di sektor penyediaan air bersih sebagai umpan balik atau check and balance adalah hal yang sangat baik. Dalam proses diskusi tercipta proses komunikasi dialogis antara kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Forum Diskusi Anggaran (FDA) bandung, serta anggota masyarakat yang berasal dari Desa Drawati dan Bandasari yang merupakan penerima manfaat prasarana air bersih di tahun 2012, menyampaikan temuan dan permasalahan penyediaan air bersih kepada Dinas Cipta Karya sebagai institusi penyedia yang berwenang dalam pengembangan sistem penyediaan air bersih.
Di dalam penyampaian laporan beserta temuan-temuan yang diperoleh dari kegiatan audit sosial yang dilakukan anggota masyarakat, pihak Dinas Ciptakarya dengan lugas dapat mengkonfirmasi dan mengklarifikasi dengan baik kepada anggota masyarakat. Di samping itu, mereka pun selain mengapresiasi ide pendekatan yang dilakukan oleh masyarakat juga memberikan peluang bagi masyarakat agar turut mendukung dan membantu guna mendorong mengembangan cakupan layanan air bersih di Kabupaten Bandung, mengingat secara terbuka pihak dinas pun merasa bahwa cakupan layanan air bersih di Kabupaten bandung masihlah kurang dari yang diharapkan, dan untuk meningkatkan cakupan layanan 1% saja memerlukan biaya yang relatif besar.
Proses diskusi yang terjadi membawa pertukaran informasi dan pengetahuan antara anggota masyarakat di dalam penyampaian laporan hasil temuannya melalui audit sosial dengan pihak Dinas Cipta Karya sebagai perangkat organisasi pemerintahan daerah Kabupaten Bandung dalam menyikapi kendala dan persoalan pemenuhan layanan air bersih di setiap daerah dapat secara langsung terklarifikasi dan terkonfirmasi, sehingga ketidaktahuan masyarakat atas kinerja sosial penyediaan air bersih, dapat diperkaya dengan penjelasan yang transparan dan akuntabel oleh pihak Dinas Cipta Karya. Meski, respon untuk mengadopsi pendekatan audit sosial di dalam kerangka perencanaan program penyediaan air bersih belum secara tegas dapat dikatakan “iya”, dan berpeluang untuk dapat terintegrasi, namun demikian pengakuan pihak pemerintah atas apa yang dilakukan oleh anggota masyarakat dalam memberikan umpan balik merupakan hal yang patut diacungi jempol sebagai proses penciptakan kondisi kondusif dan konstruktif antara masyarakat dengan pemerintah.
Beberapa poin penting yang dapat menjadi pembelajaran dari kegiatan masyarakat melalui Audit Sosial, yang dilangsungkan melalui pertemuan terbuka yang difasilitasi oleh Perkumpulan INISIATIF dan jejaring kelompok masyarakat sipil lokal di Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Bandung, yang mengambil tajuk “ Audit Sosial sebagai Model Pengawasan Masyarakat yang Efektif dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah” pada tanggal 3 dan 6 November 2014, diantaranya:
1. Audit Sosial sebagai peluang tertantang oleh pola pikir yang birokratis. Dari pertemuan demi pertemuan yang melibatkan aktor pejabat publik dalam hal ini pemerintahan daerah, istilah audit sosial selalu dimaknakan sebagai alat pencari kesalahan, mengingat istilah “audit” yang selalu berkaitan dengan upaya pemeriksaan yang berujung pada salah dan benar akibat dari kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap peraturan yang telah ditetapkan. Beberapa pandangan lain, muncul bahwa pengintegrasian pendekatan audit sosial selalu dipertanyakan keabsahannya secara aturan, bukan hanya itu tetapi mekanisme, perizinan, validitas data, dan pembiayaan dan keluaran dari kegiatan audit sosial bagamana dapat dipertanggungjawabkan. Poinnya, dipandang selalu birokrasi, ada tahapan, prasyarat, mekanisme, dan lain sebagainya, tidak dipandang sebagai suatu inovasi dan menciptakan ruang partisipasi publik serta mekanisme umpan balik antara masyarakat dan pejabat yang sederhana namun efektif.
Pada umumnya mereka memandang bahwa pelibatan masyarakat di rangkaian proses perencanaan dan pelaksanaan selalu dilakukan , dan telah banyak dari praktik-praktik dari skema program dengan pendekatan pemberdayaan, seperti Monitoring dan Evaluasi Partisipatif, dan sebagainya, sehingga audit sosial dinilai lebih ke arah negatif, mencari kesalahan dan dikhawatirkan dipergunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, oleh karenanya mereka pada umumnya selalu menanyakan mengenai mekanisme dan keabsahan dari pendekatan tersebut. Dan dari gambaran atas pandangan para aktor publik, dapat dilihat bahwa pendekatan yang merupakan inovasi masyarakat belum secara utuh dipahami dan dimengerti, agar tidak terjebak pada aspek tekstualitas dan kontekstual dari gagasan masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan keputusan untuk mendorong suatu akuntabilitas sosial.
Gambaran tanggapan di atas merupakan hasil penilaian yang bersumber dari pandangan dan ungkapan aktor pejabat publik dalam menilai model pendekatan audit sosial di tiga Kabupaten/kota yaitu Garut, Bandung dan Kota Tasikmalaya.
2.Rezim Ketertutupan Informasi di Birokrasi yang masih mewabah. Pandangan pejabat publik dalam merespon sebuah pendekatan yang digagas oleh masyarakat selalu diapresiasi positif secara verbal, namun demikian berbeda jauh dengan komitmen dan tindakannya. Pertanyaan soal validasi data atau metode yang diterapkan selalu menjadi pertanyaan yang umum bagi mereka kepada masyarakat. Mereka tidak “sadar” atau pura-pura tidak sadar bahwa data dan informasi baik berupa dokumen maupun informasi lisan diperoleh dari mereka sendiri, umumnya mereka tidak merasa “mengeluarkan” data atau dokumen kepada masyarakat atau tidak ada yang meminta dari masyarakat yang ditempuh melalui jalus formal birokratis untuk dapat mengakses dokumen publik, dengan kata lain menyiratkan makna bahwa “yang banyak tahu informasi adalah kami sebagai pemberi layanan publik, lantas kalau masyarakat tahu informasi banyak ya untuk apa kepentingannya”, pandangan ini yang kerap muncul di mata para pejabat, kekhawatiran dan kecurigaan selalu muncul di awal pada saat anggota masyarakat mencoba untuk meminta informasi yang sebenarnya adalah hak mereka untuk tahu, dan bila masyarakat sudah tahu, delik yang selalu dimunculkan pertama adalah menyangkut dari mana asal data, seberapa valid, dan seterusnya.
Kondisi ini sangatlah memprihatinkan bahwa di era reformasi yang mengakui demokrasi partisipatif, masih banyak yang buta terhadap keterbukaan informasi publik, meski setumpuk peraturan sudah diterbitkan dan dilaksanakan, tetapi jalur birokrasi bertingkat dan prosedural selalu dijadikan alat sebagai syarat yang valid bagi mereka, dan sebagai upaya agar membuat warga tidak tertarik dan jinak untuk tidak membuat permintaan yang pada akhirnya cenderung apatis untuk menagih akan pertanggungjawaban sosial yang sudah menjadi kewajiban pemerintah. Kondisi ini, terjadi di Kabupaten Bandung Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Rezim Ketertutupan Informasi itu masih melekat pada postur jabatan dan wewenang seorang pejabat publik, yang menjadi halangan bagi masyarakat untuk lebih sadar hak, memiliki pengetahuan dan kemampuan yang justru akan berakibat pada matinya partisipasi publik.
3. Partisipasi Publik yang terkebiri oleh kekuatan politik.
Pergantian kepala desa merupakan hal yang dapat mempengaruhi pola dan kebijakan pengelolaan sumber daya air desa, ungkap Kepala Bidang Program Dinas Cipta Karya Kabupatern Bandung. Pendekatan politis tidak dapat dielakkan, ada baik dan buruk. Praktik baik contohnya di Desa Ciburial, yang mana anggota masyarakatnya ada yang menjadi salah satu perwakilan masyarakat yang bercokol di Jakarta, sebagai staff di Bappenas, secara tidak langsung dari segi pembangunan di desanya berkembang karena adanya pendekatan-pendekatan politis yang dianggap terselubung namun membuat perubahan yang signifikan di daerahnya. Oleh karenanya, pendekatan politis dapat menjadi salah satu kondisi yang perlu dipertimbangkan.
Praktik buruk di Desa Bandasari, gelar temuan audit sosial tentang penyediaan air bersih yang hanya dihadiri oleh segelintir masyarakat, karena takut dan khawatir, hasil temuan audit merujuk pada satu sosok aktor politik yang berpengaruh dan dinilai telah banyak berkontribusi kepada mereka. Selain momentum pertemuan yang diselenggarakan pada musim kampanye pemilihan legislatif daerah, seakan kurang tepat untuk menyelenggarakan pertemuan, yang dikhawatirkan secara tidak langsung dapat mempengaruhi pencitraan atau reputasi salah satu aktor politik yang berpengaruh di desa mereka.
Pengalaman buruk pun turut terjadi di Desa Rancakole, selatan kabupaten Garut. Pasca pelaksanaan audit sosial, tindak lanjut dari Dinas Cipta Karya telah terbukti, dengan mengganti prasarana air yang dinilai masyarakat tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Dari segi masyarakat sangat antusias dan puas, namun tidak demikian dari segi aparat desa dan kecamatan juga salah satu oknum pegawai Dinas Cipta Karya yang merasa resah dan khawatir. Dari segi pemerintahan desa dan kecamatan, mengkhawatirnya desa dan wilayah mereka tidak akan mendapatkan bantuan program dan kegiatan pembangunan dari Dinas Ciptakarya, karena adanya pernyataan tidak tertulis yang diungkap oleh salah satu pegawai Dinas ciptakarya kepada mereka, akibat tindakan masyarakat yang melakukan audit sosial sangatlah menganggu bagi mereka, alhasil anggota masyarakat yang melakukan audit sosial tersebut, dibatasi untuk berpartisipasi bila terdapat bantuan program dan kegiatan pembangunan dari pemerintah, dengan kata lain wilayah mereka diperhitungkan dan menjadi catatan hitam bagi mereka (Aparat Desa, Kecamatan dan Dinas), karena mereka dinilai kritis dan dapat menurunkan reputasi dan kinerja mereka. Kebijakan internal kelembagaan dan hubungannya dengan aktor-aktor pemerintahan di tingkat lokal pun telah sedikitnya memainkan pendekatan “politis” untuk menutupi kinerja buruk mereka dengan cara-cara membatasi akses mereka terhadap pembangunan bagi desa mereka.
Beberapa praktik dan pembelajaran di atas, merupakan poin penting yang digarisbawahi oleh Perkumpulan INISIATIF, selama mendorong partisipasi publik dalam mendorong akuntabilitas sosial di tingkat pemerintahan daerah, ada banyak tantangan dalam menerapkan model-model inovatif dari masyarakat untuk menjadi model kolaboratif antara masyarakat dan pemerintah dalam menciptakan akuntabilitas sosial dari setiap penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan daerah, partisipasi atau pelibatan masyarakat hanya dipandang sebagai dekorasi pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.