Pagi itu, Minggu (6/4/14) di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), masyarakat berbondong-bondong ke kawasan Car Free Day. Mereka tak sekadar berolahraga, juga membubuhkan tanda tangan di atas bentangan spanduk sepanjang 15 meter. Tanda tangan itu bentuk dukungan terhadap Petisi Tolak Caleg Perusak Lingkungan.
Ada empat spanduk dibentangkan di atas aspal berisi ajakan kepada warga untuk tidak memilih caleg koruptor, perusak lingkungan, penggadai tanah air, dan pelanggar HAM. Spanduk itu dibubuhi tanda tangan warga secara sukarela.
Aktivis pergerakan juga mendirikan baliho berisi fakta-fakta kerusakan lingkungan di Kalbar . Lalu pembagian flyers seruan penyelamatan lingkungan dan tidak memilih caleg perusak lingkungan.
Aksi ini diinisiasi Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat terdiri dari Sampan, Link-Ar, Kontak Rakyat Borneo, WWF-Indonesia Kalbar, Walhi Kalbar, LPS-AIR, Titian, Jari Borneo Barat, Pervasi, dan Institut Indonesia Moeda. Lalu, Lembaga Pedal, Environmental Law Clinic, AGRA, STSD Sambas, STKR, KNPS, FAMKI Sintang, Pontianak Institut, LBBT, Gempa Fisipol Universitas Tanjungpura, FMN, ESA, AJI, Perkumpulan Pena, AMAN Kalbar, dan Institut Dayakologi.
Agus Sutomo, juru bicara koalisi mengatakan, Pemilu 2014 merupakan momentum penting bagi rakyat untuk membersihkan kursi parlemen dari wakil rakyat bermental korup dan perusak lingkungan. “Kita ajak masyarakat meneken petisi tolak caleg korup, tukang gadai tanah air, dan perusak lingkungan, melalui aksi bersih-bersih parlemen,” katanya.
Gerakan tolak caleg perusak lingkungan ini sekaligus mengajak masyarakat merefleksikan kembali kondisi tata ruang wilayah di daerah ini. Konsesi industri berbasis hutan dan lahan di Kalbar sangat marak.
Data BPS Kalbar 2011 mencatat, luas lahan konsesi mencapai 16,4 juta hektar. Luasan itu dibagi untuk izin perkebunan 3,5 juta hektar, pertambangan 5,44 juta hektar. Izin HTI 2,3 juta hektar, dengan pencadangan seluas 800 ribu hektar, dan hutan alam seluas 1,38 juta hektar. Sisanya, konservasi seperti taman nasional, cagar alam, atau restorasi ekosistem.
Padahal, kata Sutomo, luas Kalbar hanya 14,6 juta hektar. Artinya, izin konsensi sudah melebihi luas provinsi. “Kuat dugaan persekongkolan sebagai bagian dari kejahatan korupsi perizinan dalam pengalokasian dan penerbitan izin usaha berbasis lahan dan hutan.”
Praktik korupsi seperti suap dan gratifikasi dalam pengurusan izin, penggelapan pajak hasil produksi, menjadi modus yang mungkin terjadi. Sebab, di daerah kaya SDA, konsesi pengelolaan menjadi salah satu sumber pendanaan utama.
Di Aceh, sebanyak 69 lembaga masyarakat sipil dan mahasiswa menyerukan kepada warga Aceh untuk memilih calon anggota legislatif peduli lingkungan, HAM dan anti korupsi pada pemilu 9 April.
Seruan itu dipampang pada sejumlah baliho tersebar di jalan-jalan utama Banda Aceh sejak masa kampanye pemilu. Gerakan bersama ini diberi nama “Aksi Solidaritas Lintas Generasi Masayarakat Sipil dan Mahasiswa Aceh Untuk Pembangunan Berkelanjutan”.
“Gerakan bersama ini mendorong masyarakat memilih anggota dewan yang punya komitmen terhadap masyarakat dan lingkungan hidup. Pilihlah wakil yang dapat dipercaya mampu membawa Aceh ke arah lebih baik,” kata Ratno Sugito, koordinator aksi di Banda Aceh, Jumat (4/4/14)
Seruan yang disampaikan kepada masyarakat Aceh berbunyi: “Kami memilih wakil rakyat yang berkomitmen terhadap pelestarian alam dan lingkungan hidup, kemandirian ekonomi dan kedaulatan rakyat, HAM, demokrasi dan cinta damai, pemberantasan korupsi, transparansi dan akuntabilitas serta Etika Politik.”
Walhi Aceh, yang menandatangani seruan itu menyebutkan seruan itu keluar karena selama ini sulit menemukan wakil rakyat peduli lingkungan hidup.
Walhi berharap, kali ini masyarakat bisa memilih anggota dewan yang menyuarakan kepentingan penyelamatan lingkungan jangka panjang. Salah satu penghambat penyelamatan hutan Aceh adalah tak ada anggota dewan peduli lingkungan.”
Muhammad Nur, Direktur Eksekutif Walhi Aceh, mengatakan, salah satu cermin tak ada keberpihakan dewan pada isu hutan, satwa liar, bencana alam dan isu lingkungan, bisa dilihat qanun RTRWA yang disahkan DPRA. “Ada alih fungsi hutan luas mencerminkan anggota legislatif hanya memikirkan eksploitasi sumber daya alam.”
Sejak 10 tahun pembangunan Aceh pasca perjanjian damai pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, tidak ada konsep pembangunan berpihak pada lingkungan hidup. “Terbukti, ekspansi perkebunan sawit makin luas, konsesi pertambangan diberikan di banyak tempat dalam kawasan hutan,” kata Nur.
Walhi menyayangkan, pelibatan komponen masyarakat sipil Aceh sangat minim dalam perencanaan pembangunan. “Kami berharap DPRA ke depan membuka komunikasi dengan masyarakat sipil agar isu lingkungan hidup bisa dikawal dalam proses pembangunan.”
Dia menilai, caleg yang benar-benar paham isu lingkungan tidak lebih dari 10 persen. “Ini yang membuat kita khawatir kalau salah memilih, lima tahun ke depan tidak ada yang memperjuangkan isu lingkungan di dewan.”
TM. Zulfikar, Ketua Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh brpendapat sama. Di tengah, ancaman percepatan perubahan iklim dan krisis ekologis, katanya, Indonesia maupun Aceh memerlukan sosok pemimpin dari level daerah, pusat hingga wakil rakyat yang memiliki visi menciptakan perbaikan lingkungan.
“Kini pembangunan berorientasi semata-mata mengutamakan pertumbuhan ekonomi ternyata. Ini menyebabkan peminggiran rakyat, ekosistem dan keragaman hayati hancur.”
Untuk itu, katanya, perlu menghadirkan pemimpin bersih, adil dan peduli kesejahteraan rakyat serta lingkungan hidup.
Tak hanya itu, katanya, politik berbiaya besar sudah seharusnya diubah dengan kerja keras dan sistem verifikasi pendanaan jelas. “Rakyat berhak mengetahui asal muasal dana pemerintah karena banyak calon atau anggota legislatif menggunakan jabatan untuk mendapatkan keuntungan.”
Mereka, berdalih membangun dan mengubah di suatu kawasan tertentu, ternyata untuk kepentingan kelompok dan partai tanpa mempedulikan kerusakan lingkungan. “Masyarakat berhak tak memilih caleg tidak bermoral dalam politik dan lingkungan,” kata Zulfikar.
Dia mengingatkan, pertumbuhan ekonomi bisa beriringan dengan pelestarian lingkungan. Jadi, tak perlu ada ketakutan pertumbuhan ekonomi terganggu jika mendukung pelestarian lingkungan.
Untuk itu, pada 9 April ini hendaknya menjadi momentum menumbuhkan kesadaran publik bahwa mereka sedang mempertaruhkan masa depan anak cucu kepada pemimpin dan legislatif terpilih. “Rakyat hendaknya cerdas menentukan pilihan.”
Dari Palembang, Sumatera Selatan, seruan pilih caleg pro lingkungan juga muncul. Sebab, ancaman kerusakan hutan di depan mata, salah satu keberadaan pabrik kertas PT. OKI Pulp and Paper Mills di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
“Sejak 2012, Walhi bersama organisasi lingkungan hidup lain, seperti Wahana Bumi Hijau Sumsel, Sarekat Hijau Indonesia Sumsel, CAPPA, TI-I, Mahasiswa Hijau Indonesia menolak pabrik itu. Justru pemerintah mendukung,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel.
Dukungan ini tercermin ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyaksikan penandatanganan kredit investasi dari China Development Bank (CDB) sebesar US$1,8 miliar untuk pabrik ini.
“Kita mengharapkan Pemilu 2014 menghasilkan legislator dan presiden peduli lingkungan hidup. Akhirnya mendukung tuntutan kami pabrik itu dihentikan,” ujar dia.
Masyarakat di Sumsel, terutama di OKI hendaknya tak memilih caleg terindikasi penjahat atau berjaringan dengan penjahat lingkungan hidup. “Juga memilih presiden yang benar-benar peduli persoalan atau tidak terlibat dalam kejahatan lingkungan hidup.”
Sedang informasi yang disiarkan PT OKI Pulp & Paper Mills, pabrik milik APP berkomitmen kebijakan nol deforestasi dengan standard kelestarian lingkungan tinggi. Namun, kata Hadi, pernyataan itu bukanlah jaminan hutan di Sumsel tak akan rusak. “Pabrik kertas ini memerlukan lahan 28 ribu hektar. Jelas akan mengurangi sisa hutan.”
Rustandi Adriansyah, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel, mengatakan, dengan pemilu terjadi perbaikan lingkungan hidup. Namn, jika masyarakat tak jeli bukan mustahil kondisi lingkungan akan makin parah.
“Kenapa? Karena kebanyakan politisi basis ekonomi banyak beranjak dari eksploitasi sumber daya alam, seperti pertambangan dan perkebunan.”
Dari perkebunan dan pertambangan ini gampang mendapatkan uang besar. Ketika mereka duduk sebagai pemimpin maupun wakil rakyat, hal pertama yang diperjuangkan bisnis perkebunan dan pertambangan.
Rustandi berharap, masyarakat jangan memilih poltisi terindikasi masuk penjahat lingkungan hidup. “Cara membacanya sederhana. Bukankah selama mereka duduk sebagai legislator maupun pejabat pemerintah, eksploitasi perkebunan dan pertambangan kian meningkat di daerah yang dipimpin atau diwakili?”
Pindah ke Bandung, Jawa Barat, seruan sama juga mengemuka. Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar mengatakan, kebijakan yang akan diambil tergantung pada legislator yang terpilih. Kebijakan akan pro terhadap agenda penyelamatan lingkungan, jika parlemen diisi oleh orang-orang yang juga pro terhadap lingkungan.
“Walhi mendorong pengurus dan elit parpol peserta pemnilu 2014 menjadi isu lingkungan penting dan sejajar dengan isu politik dan lain-lain, katanya dalam diskusi bertajuk “Menakar Kebijakan dan Agenda Partai Politik serta parlemen dalam Mendorong Pemulihan Lingkungan Hidup.”
Walhi mencatat, sepanjang 2013, bencana ekologis di Jabar ada 21 banjir merendam 32.630 rumah, 43 longsor merusak 389 rumah, 15 krisis air bersih, delapan angin puting beliung menghancurkan 491 rumah dan empat gempa tektonik. Jumlah pengungsi banjir 15 ribu jiwa dan dan longsor 375 keluarga serta korban tewas 46 jiwa.
Curah hujan tinggi dibarengi tata kelola ruang dan lingkungan hidup buruk. “Salah urus dan tata kelola lingkungan buruk seiring dengan pola pembangunan wilayah tanpa perlindungan infrastruktur alam yang menopang daya dukung dan keberlanjutan wilayah,” kata Dadan.
Peraturan pun tak pro upaya penyelamatan lingkungan. “Ini menjadi tanggung jawab bersama. Harus ada dorongan komprehensif. Harus dibangun komitmen bersama membentuk kaukus lingkungan hidup di parlemen melalui anggota legislatif terpilih nanti.”
Muhamad Iksan, aktivis Perkumpulan Inisiatif mengatakan di Jabar, 80 persen perda lingkungan hidup lebih banyak berbicara soal penerimaan pajak dan mengabaikan lingkungan.
“Kita juga harus ingat, urusan lingkungan hidup 70 persen eksekutif. Kita juga harus mengawal eksekutif, tak hanya legislatif. Karena semua eksekusi kebijakan pada eksekutif,” kata Iksan.
Menurut dia, banyak kasus lingkungan hidup sulit diselesaikan karena terlambat menyadari dan sudah menjadi akumulasi. “Kerusakan sudah parah.”
Nina Yuningsih, Anggota KPU Jabar mengatakan, sangat mendukung kampanye Walhi tak memilih caleg tidak berwawasan lingkungan.
“Jangan memilih caleg yang mempunyai tabiat merusak. Baik itu merusak aturan, perencanaan, anggaran, termasuk merusak lingkungan. KPU memiliki keinginan pemilu 2014 berintegritas dan berkualitas.”
Dia mengatakan, dalam kampanye ini banyak peserta pemilu melanggar aturan. Ketika gong dipukul sebagai tanda awal kampanye umum, semua caleg memasang alat peraga kampenye dimana saja. Mereka memasang seenaknya.“Di jalan tol, jembatan penyebrangan bahkan kuburan. Yang lebih mengkhawatirkan memasang di pepohonan tanpa perasaan bersalah. Itu sangat memprihatinkan.”
Asep Warlan Yusuf, pakar hukum Universitas Parahyarangan, mengatakan, memilih caleg mengerti isu lingkungan menjadi penting. Sebab, akan berpengaruh terhadap kebijakan.
Dia mencontohkan, di Semarang, alokasi BPLHD sangat kecil, Rp22 juta setahun. “Anggaran lingkungan hidup kecil. Ini mengerikan sekali. Atau dulu ketika ada penebangan 1.200 pohon di Pasopati untuk jadi jembatan layang, tak ada bertindak.”
Menurut dia, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro lingkungan muncul karena parlemen banyak diisi orang-orang yang tidak mengerti.
Dari Telapak Indonesia, salah satu organisasi lingkungan juga mengeluarkan sikap politik dalam Pemilu 2014 ini. Lewat pernyataan tertulis, organisasi itu menyatakan, caleg dan calon presiden yang membawa aspirasi gerakan sosial dan lingkungan di Indonesia, harus dipastikan tulus, jujur, bersih dan konsisten.
Mereka, setidaknya mampu mengawal berbagai isu yang sedang diperjuangkan rakyat, antara lain, layanan sosial dan ekologis, dan jaminan keberadaan komunitas‐komunitas lokal sebagai kesatuan sosial otonom untuk mengatur dan mengurus diri dan SDA.
Lalu, kebijakan negara menyangkut kehidupan rakyat dibuat melalui proses politik demokratis‐partisipatif, penyelenggaraan pemerintahan terdesentralisasi dan transparan. Sumber‐sumber ekonomi lokal berbasis sumberdaya alam dikontrol, dikelola dan dimanfaatkan komunitas lokal untuk keberlanjutan mata pencaharian. Tentu dengan tetap menjamin keberlanjutan fungsi ekologis alam.
Kemudian, setiap kegiatan ekonomi di wilayah kelola komunitas lokal yang melibatkan penanaman modal dari luar harus mendapatkan persetujuan lewat perundingan adil dengan komunitas lokal.
Juga guna kesinambungan konsumsi, konsumen mengambil tanggung jawab memastikan kelestarian sumber‐sumber produksi berbasis komoditas dihasilkan dari pengelolaan SDA secara lestari.
Telapak mengharapkan warga cerdas memilih. Pertama, tak memilih calon yang berpihak pada eksploitasi dan pengrusakan SDA. Kedua tak memilih calon terindikasi dan berpotensi korupsi.
Ketiga, memilih calon memiliki rekam jejak baik terhadap penyelamatan SDA dan lingkungan. Keempat, memilih calon memiliki komitmen jelas dan tegas untuk penegakan hukum yang adil dan menyelesaikan kasus-kasus hukum terkait korupsi, pelanggaran HAM, perampasan hak kelola rakyat serta pengrusakan SDA.
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2014/04/07/ayoo-pilih-wakil-rakyat-peduli-lingkungan-ham-dan-anti-korupsi/ (Akses 10 April 2014)