Pemberlakuan Sistem Jaminan Sosial Nasional pada awal 2014, merupakan program negara yang bertujuan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya merupakan sebuah terobosan negara untuk menjamin setiap penduduknya di dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup yang pantas serta meminimal risiko hidup yang dapat mengakibatkan masyarakat tidak mampu di dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yang layak dan pantas.
BPJS sebagaimana diatur dalam UU 24 tahun 2011 merupakan badan hukum yang bertanggung jawab mengelola himpunan iuran yang diperoleh dari masyarakat atau lebih dikenal sebagai dana jaminan sosial, untuk pembayaran manfaat atau faedah jaminan sosial kepada masyarakat yang tentunya bagi yang membayar, sekaligus untuk pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial, sementara itu bagi masyarakat yang tidak mampu membayar masuk ke dalam golongan masyarakat tidak mampu atau fakir miskin yang disenyatanya diberikan bantuan iuran oleh pemerintah.
BPJS merupakan badan hukum publik yang mengelola keuangan publik (masyarakat), yang tentunya harus dapat dikelola secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kembali kepada masyarakat di dalam pengelolaanya. Akan tetapi mengetahui “jenis kelamin” badan ini sepertinya merupakan hal yang penting untuk diketahui terlebih dahulu.
BPJS Sebagai Badan Publik
Merujuk pada sekumpulan perundang-undangan yang telah diberlakukan, sepertinya masih banyak pengertian-pengertian yang tidak jelas di tingkat masyarakat, pertanyaannya adalah seperti apakah sosok BPJS ini ? yang merupakan pengelola dana masyarakat yang berasal dari masyarakat itu sendiri, beberapa kajian dari perundangan-undangan di bawah ini seyogyanya dapat menghantarkan penjabaran tentang sosok Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang kiprahnya telah dimulai pada awal tahun 2014.
Merujuk pada UU 40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU 24 tahun 2011 tentang BPJS, menyebutkan BPJS adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial dan bertanggungjawab kepada Presiden. Bila disandingkan dengan UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, badan publik yang dimaksud adalah lembaga yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APDN/APBD, karena keberadaan BPJS merupakan salah satu penyelenggara negara yang secara khusus menjalankan program jaminan sosial.
Program Jaminan Sosial sebagaimana dituangkan di dalam UU 40 tahun 2004 adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak, yang tentunya program jaminan sosial diperuntukkan bagi publik yang jenisnya berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, hari tua, pensiun dan kematian, dan keberadaan BPJS tentunya bertanggungjawab untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakatnya di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sementara, pengertian pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negada dan penduduk atas barang, jasa atau pelayanan administratif yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik, dan penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut penyelenggara adalah BPJS dalam hal ini, bila didefinisikan menurut UU 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Sebagai contoh bentuk pelayanan publik yang menjadi tugas dan wewenang BPJS di antaranya adalah menerima, memungut, mengumpulkan, menagih sejumlah dana dari masyarakat yang terdaftar sebagai peserta, dan membayarkan manfaat atau faedah atau pembiayaan kesehatan, serta mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan bersama dengan cara menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang yang mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai serta memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada masyarakat atau peserta.[1]
Dalam konteks pelayaan publik, tugas dan wewenang yang sangat melekat sebagai penyelenggaran pelayanan publik dipandang hanya terbatas dalam menerima pendaftaran, membayarkan manfaat atau pembiayaan kesehatan dan memberikan informasi kepada masyarakat/peserta, sementara dalam kontek mengelola, lebih identik sebagai lembaga penyedia jasa. Artinya, BPJS dipandang sebagai badan publik secara tekstual terbatas pada kalimat memberikan informasi, manfaat/pembiayaan kesehatan dan menerima pendaftaran, sedangkan pandangan sebagai lembaga penyedia jasa terdapat pada kalimat menagih,memungut, mengumpulan, menempatkan dan mengelola dana jaminan sosial, yang notabene berasal dari masyarakat.
BPJS Sebagai Badan Publik Setengah Perseroan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagaimana dimaksud pada UU 40 tahun 2004 , pasal 5 ayat 3 terdiri dari (1) Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri ( TASPEN), Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) dan Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) atau yang dibentuk baru merujuk pada undang-undang.
Senyatanya, dalam perjalanan BPJS tidak ada lembaga atau badan yang dibentuk baru yang merujuk pada undang-undang, akan tetapi sebagian besar perusahaan-perusahaan perseroan yang ada bertugas dan mempunyai wewenang didalam menyelenggarakan jaminan sosial tersebut. Lantas, apa itu perusahaan perseroan atau Persero?
Dalam Undang-Undang 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, secara pengertian menegaskan bahwa Perusahaan Perseroan (persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Sedangkan, pengertian BUMN sendiri adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.[2]
Apabila kita melihat beberapa ketentuan perundang-undangan seperti yang telah diuraikan diatas, jenis kelamin BPJS sudah dapat terlihat yang lebih condong sebagai Badan Usaha Milik Negara, yang mendapatkan modal yang terbagi dalam saham yang dimiliki oleh Negara Indonesia. Sebagai contoh, modal awal yang disalurkan bagi BPJS pada awal penyelenggaraannya mencapai 500 milyar secara tunai dan merupakan kekayaan negara yang dipisahkan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013.[3]
Bagaimana cara Pemerintah mampu menentukan angka 500 milyar yang diambil dari APBN 2013? Jelasnya, karena BPJS merupakan BUMN, maka ketentuan dan prinsip-prinsip perseroan terbatas yang dipakai, sebagaimana diatur dalam UU 40 tahun 2007, BAB III pasal 33, yaitu 25 % yang disetor penuh. Jadi, apabila APBN 2013, yang disahkan mencapai angka 1,6 triliun, angka yang diperoleh bisa mencapai 415 Milyar, dan 85 milyar lebihnya digunakan sebagai cadangan, sekitar 20%-nya yang diperoleh dari penyisihan sejumlah dana yang telah dialokasikan, yang hanya boleh dipergunakan untuk menutupi kerugian yang tidak dapat dipenuhi dari cadangan lain (BAB IV, Bagian Ketiga tentang Penggunaan Laba, Pasal 70 ayat 3 dan 4, UU 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)
Kini jelas, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tentunya memiliki tujuan utama mencari keuntungan, karena ketentuan dan prinsip yang dianut oleh badan ini merujuk kepada ketentuan dan prinsip yang diatur dalam perundangan tentang perseroan terbatas.
Lantas, Darimanakah Keuntungan Tersebut Dapat Diperoleh ?
Pada UU 24 tahun 2011 tentang BPJS, BAB IV, pasal 10 tentang Tugas, butir (d) mengelola Dana Jaminan Sosial; Pasal 11 tentang wewenang, butir (b) “menempatkan Dana Jaminan Sosialuntuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai; Pasal 13 tentang Kewajiban, butir (b) Mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan Aset BPJS untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta; butir (i) membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum.
Dari butir-butir di atas, mari kita coba teliti secara seksama tentang tugas dan wewenang BPJS yang tertuang pada pasal 10 butir (d) dan Pasal 11 butir (b), yaitu Mengelola dan Menempatkan Dana Jaminan Sosial[4], untuk investasi dengan mempertimbangkan salah satunya “keamanan dana”.Definisi “keamanan dana” lebih dikenal dikalangan aktor pembisnis sebagai sekuritas yaitu upaya untuk menyelamatkan dana investasi dari kerugian lebih besar dengan cara menukarkan saham kembali menjadi uang dalam proses cepat. Dalam konteks bisnis, pengamanan dana sangat penting untuk mencegah kerugian saat nilai saham sedang turun bahkan jatuh ke titik terendah.
Lantas di mana Dana Jaminan Sosial disimpan?. Sebagaimana telah diuraikan di atas, BPJS merupakan BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang bersumber dari APBN, sehingga tempat yang tepat adalah Pasar Modal/Bursa Saham.Maka, jenis sekuritas berbentuk saham dapat memberikan penghasilan tidak tetap atau keuntungan bagi pemilik saham (pemerintah) dari saham melalui bentuk deviden dan perubahan harga saham di pasar saham. Di situlah, letak kewajiban BPJS sebagaimana dimaksud dalam butir (b) yaitu mengembangkan aset dana jaminan sosial, dan selebihnya adalah membentuk cadangan teknis.
Bila menjabarkan istilah “cadangan” merujuk pada UU 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, BAB IV , Bagian Ketiga tentang Penggunaan Laba, pasal 70 ayat (1), dan Pasal 71 ayat (1), menyatakan bahwa perseroan atau dalam hal ini adalah BPJS, wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku untuk cadangan, yang diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS)[5]. Dan seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan, dibagikan kepada pemegang saham sebagai deviden, kecuali ditentukan lain dalam RUPS ( pasal 71 ayat 2).
Lalu siapakah Pemegang Saham BPJS ?. Yang pertama adalah kementerian yang mengusulkan pendirian persero yang dalam hal ini adalah BPJS kepada Presiden yaitu Kementerian Kesehatan(BAB II Pasal 10 ayat 1, UU 19/2003 tentang BUMN), Kedua adalah Presiden selaku kepala pemerintahan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai kekuasaan dari pemerintahan (BAB II, Pasal 6 ayat 1, UU 17/2003 tentang Keuangan Negara), yang ketiga adalah Menteri Keuangan sebagai penerima kuasa selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Mereka-merekalah yang dapat menikmati “deviden” dari dana yang dipungut , ditagih dan diterima dari rakyat, yang tentunya disaksikan oleh Direksi BPJS, Dewan Pengawas dan Dewan Jaminan Sosial Nasional melalui rapat umum pemegang saham (RUPS).
Mengapa bisa begitu? Dalam UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 1 ayat (1), dinyatakan bahwa penyertaan negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Pemahamannya bisa jadi adalah bahwa pada saat kenyataan negara telah dipisahkan, maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke ranah hukum publik, akan tetapi di ranah hukum privat /perdata atau perorangan. Karena boleh jadi, lingkup Kekayaan Negara dikategorikan menjadi 2 (dua) domain yaitu Domain Privat yaitu Kekayaan yang dimiliki Pemerintah, dan Domain Publik yaitu Kekayaan Yang dikuasai Pemerintah.
[1]BAB IV tentang Fungsi, Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban, Pasal 10 dan pasal 11, Undang-Undang 24 tahun 2011
[2]Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.
[3]Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2013 tentang Modal Awal Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
[4]Dana Jaminan Sosial adalah dana milik seluruh peserta ( masyarakat) yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada masyarakat dan pembiayaan operasional penyelenggaran jaminan sosial.
[5]RUPS adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang atau anggaran dasar.