Saat ini lahan berstatus Hak Guna Usaha menjadi salah satu isu hangat di Kabupaten Subang[1]. Beragam persoalan muncul ketika status HGU PTPN VIII berakhir. Tercatat dari tahun 2012 PTPN VIII tidak melakukan pengajuan perpanjangan HGU[2]. Menurut Nenden Setiawati PTPN VIII masih memiliki tegakan[3] pohon yang dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan tersebut memunculkan pertanyaan lebih lanjut mengenai bagaimana proses tata kelola PTPN VIII dengan komoditi karet.
Sama halnya, menurut Endro S Yahman anggota DPR-RI sudah menjadi rahasia umum perihal banyak perusahaan yang melakukan pengelolaan lahan HGU melebihi batas izin yang telah diberikan[4]. Kondisi demikian mengakibatkan negara mengalami potensi kerugian hingga Rp 380 triliun. Selain itu permasalahan yang kerap terjadi habisnya status HGU menjadi kesempatan para pemangku kepentingan melakukan praktik alih fungsi lahan dengan dalih kesejahteraan rakyat. Faktanya, hal tersebut justru memperpanjang kesenjangan kepemilikan lahan antara rakyat dan pengusaha.
Tulisan ini akan membahas mengenai silang sengkarut tata kelola lahan PTPN VIII khususnya area Blok Nakol Perkebunan Afdeling Wara IV. Luas Blok Nakol kurang lebih 103 hektare dengan masa tanam sampai tahun 2006, yang menjadi garis bawah dari Blok Nakol adalah satu daerah perkebunan produktif tetapi tidak tersentuh karena aksesnya cukup sulit. Lokasi demikian disebabkan oleh Sungai Cipunagara yang membentang sepanjang area perkebunan.
Biasanya masyarakat harus melewati jalan masuk melalui Politeknik Negeri Subang. Jika musim penghujan datang, volume air sungai meningkat dan masyarakat enggan pergi menuju Blok Nakol. Kondisi demikian sudah berlangsung cukup lama menyebabkan Blok Nakol dibiarkan dan tidak tersentuh.
Lalu, apa sebetulnya motif dari sulitnya akses menuju lokasi? Mungkinkah PTPN VIII tidak memiliki program pembangunan akses pendukung guna optimalisasi hasil produksi? Ataukah sulitnya akses Blok Nakol menjadi alasan petugas PTPN VIII membuka kerjasama dengan pihak ke tiga (pengusaha). Sebagai pertimbangan meminimalisir anggaran untuk operasional. Namun, kami menemukan hal janggal dibalik kerja sama dengan pengusaha. Disisi lain, fenomena perang hak guna usaha antara PTPN dan Negara dapat ditemukan terjadi di Blok Nakol.
Guna menelusur lebih dalam sejarah nakol yang memiliki arti “pukulan” tempat dimana masyarakat melakukan moro bagong (berburu babi hutan). Selain itu blok nakol juga disebut bedeng yaitu tempat pengepulan getah karet sebelum dikirim ke Pabrik Wangunreja. Ditemukan oleh tim investigasi mengenai aktivitas yang dilakukan di lapangan terkhusus di Blok Nakol saat ini terpantau tidak sesuai dengan standar operasional perusahaan.
Aktivitas ini justru cenderung terlihat seperti pencurian. Menurut penuturan dari orang-orang yang terlibat pengangkutan lump[5] mengungkapkan bahwa aktivitas mereka itu diketahui oleh pihak PTPN VIII namun produksi mereka bukan untuk disetorkan ke PTPN VIII, melainkan untuk dikirim ke pabrik di Lampung atau Cianjur yang sudah kontrak bersama pihak ke-3 atau pengusaha yang menyewa tegakan di PTPN VIII[6].
Dodi Kepala Tanaman PTPN VIII mengungkapkan bahwa persoalan penggunaan lahan oleh pihak lain dianggap sebagai inovasi yang menguntungkan dimasa sulit PTPN VIII pasca merugi pada tahun 2014. Menurut pemaparan dari pegawai PTPN VIII, tarif sewa lahan dibandrol Rp. 14.000.000 sampai Rp. 16.000.000 per hektar. Namun, dalam prakteknya tarif tersebut dapat dimanipulasi oleh para pegawai sampai dengan harga Rp. 1.500.000 untuk 1 Hektare lahan. Meski demikian, PTPN VIII masih mengklaim hal tersebut menguntungkan bagi perusahaan.
Permasalahan lainnya yang telah ditemukan adalah praktek kerja sama sewa pohon karet di wilayah Blok Nakol Wara IV Afdeling Wangunreja. Praktik sewa pohon tersebut dilakukan oleh pihak pengusaha dengan pihak pengusaha lainnya, di mana dalam berkas kerjasama tersebut tidak ada keterlibatan pihak PTPN VIII, namun PTPN VIII mengklaim bahwa kerja sama tersebut berada di bawah tata kelola PTPN VIII karena menggunakan lahan dan pohon perusahaan.
Adapun besaran sewa tersebut yaitu sebesar Rp. 2.500 untuk 1 pohon karet, total pohon yang disewa sebanyak 1795 pohon karet dengan jumlah nominal yang dibayar pihak ke 2 kepada pihak pertama yang juga pengusaha (bukan PTPN VIII) yaitu sebesar Rp. 13.462.500 dengan rentang waktu sewa selama 3 bulan. Persoalan sewa ini ditemukan adanya ketidaksesuaian informasi antara pihak pengusaha dan PTPN VIII. Hal ini diduga tidak diperhatikan dan tidak dikelola dengan serius oleh pihak perusahaan. Ditambahlagi, dengan permasalahan transparasi data Areal Konsensi PT Perkebunan Nusantara VIII tercatat bahwa luasan lahan Wara IV Kebun Wangunreja luasannya 501,5 Ha sedangkan pemaparan langsung dari pegawai di kantor PTPN VIII dan pegawai di lapangan menyebutkan luasannya itu sebesar 491 Ha dan 511 Ha serta yang tertera di data dokumen HGU seluas 495 Ha. Berbagai versi data luasan yang tim investigasi temukan semakin membuktikan silang sengkarut tata kelola blok nakol.
Sementara jika menghitung sesuai perhitungan para mandor dan pekerja lapangan PTPN VIII, bahwa 1 Ha lahan itu jika dirata-ratakan diisi oleh 500-550 tegakan/pohon karet. Sedangkan pengusaha Ahmad menyewa pohon karet sebanyak 1795 pohon, jumlah pohon tersebut jika dibagi dengan rata-rata pohon per Hektare (1795 : 500 = 3,59 Ha) maka seharusnya bukan 0,15 Ha, melainkan 3,59 Ha lahan yang terpakai oleh kerjasama tersebut.
Jumlah itu belum termasuk lahan yang digunakan oleh kegunaan lainnya seperti 5 Ha untuk pemakaman covid-19, lahan garapan masyarakat, warung dan kerjasama sewa lahan oleh pengusaha lainnya. Namun dokumen produksi dan penggunaan lahan yang detail di Kebun Wangunreja dan Wara IV gagal didapatkan dengan alasan pihak PTPN VIII Kebun Wangunreja enggan memberikan data yang dimintai tersebut, sedangkan pegawai PTPN VIII Kebun Jalupang berkenan memberikan data tersebut.
Entah ini merupakan unsur kesengajaan atau tidak, namun hal ini menunjukan adanya kecenderungan yang janggal terkait luasan yang ada pada Wara IV. Jika diperhatikan dengan saksama peta yang diberikan perusahaan pada tim investigasi, terdapat perbedaan peta Wara IV tidak disertakan dengan luasannya seperti Wara I, II, III dan IV. Dengan demikian, sangat dimungkinkan terjadinya maladministrasi yang dilakukan oleh pihak PTPN VIII yang berkerjasama dengan pihak pengusaha yang melakukan sewa tersebut.
Lalu, bagaimana ketidaksesuaian tata kelola jika dilihat dari aspek hukum? Berdasarkan temuan di lapangan telah terjadi pelanggaran status HGU. Hal ini justru membingungkan, ketika merujuk kepada peraturan terkait status lahan Negara yang digunakan pihak tertentu, seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai Atas Tanah dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha (HGU).
Adapun ketika status HGU telah habis masa berlakunya PTPN VIII dapat mengajukan pengajuan perpanjangan Kembali. Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 perpanjangan dan pembaruan HGU dapat dilakukan atas permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat sebagai berikut:
- tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
- syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan
- pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Namun sepanjang penelusuran tim belum ada dokumen permohonan perpanjangan status HGU. Kondisi ini memperlihatkan adanya ketidakseriusan dari PTPN VIII dalam tata kelola perusahaan, di mana aset Negara yang diklaim sebagai aset perusahaan tidak benar-benar dipergunakan sebagaimana mestinya. Skema temuan lapangan yang berawal dari Status Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah lama habis dan tidak diperpanjang, kemudian tata kelola perusahaan yang tidak baik dan mengakibatkan perusahaan terlilit hutang.
Selain itu penggunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau golongan, sewa lahan kepada swasta yang tidak sesuai dengan core produksi perusahaan mengakibatkan potensi kerugian negara semakin besar. Status HGU PTPN VIII yang telah lama habis tahun 2012 idealnya sejalan dengan berakhirnya hak PTPN VIII atas lahan tersebut, namun yang terjadi saat ini PTPN VIII masih bersikeras bahwa lahan yang mereka duduki masih menjadi hak mereka berproduksi. Jika mengacu kepada perhitungan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), tercatat Negara mengalami kerugian 1,1 milyar terhitung tahun 2012 hingga tahun 2020.
PTPN VIII sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semestinya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan Negara, namun hal tersebut nyatanya dapat diragukan, ketika melihat kondisi di lapangan yang terjadi saat ini. Di mana, PTPN VIII sejauh ini mendapatkan beberapa kendala serius yang diakibatkan faktor-faktor manajemen dan juga optimalisasi aset perusahaan. Khusus untuk Blok Nakol Afdeling Wara IV Kebun Wangunreja, pengelolaan lahan yang dilakukan oleh PTPN VIII dianggap tidak dilakukan dengan baik, sehingga banyak terjadinya persoalan-persoalan yang dianggap maladministrasi dan kesimpangsiuran data luasan nlahan yang menjadi pengelolaan lahan.
Praktek pelepasan lahan yang cenderung tidak jelaspun menjadi asumsi yang menggiring opini bahwa tidak ada sistem yang berlaku ketat dilakukan PTPN VIII sebagai perusahaan yang mengemban amanat menjaga lahan milik Negara. Bermunculan isu alih fungsi dan alih komoditi pun menjadi pendukung bahwa manajemen PTPN VIII telah terjadi diorientasi sebagai perusahaan milik Negara yang bergerak disektor perkebunan tersebut. Dengan demikian, patut dicurigai bahwa tatakelola lahan milik Negara yang dilakukan oleh PTPN VIII sangat buruk dan tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan di atas, maka terdapat beberapa rekomendasi yang ditawarkan, yakni tinjau ulang keberadaan PTPN VIII di Kabupaten Subang dan selamatkan lahan Negara untuk dikembalikan kepada Negara serta diperuntukan kembali sebagai lahan optimalisasi produksi pertani. Kedua, hentikan aktivitas pembagian atau kerjasama dengan perusahaan lain atas nama PTPN VIII karena dianggap sudah bukan lagi tugas dan fungsinya. Berikan opsi kepada pemerintah Daerah Kabupaten Subang untuk dapat menjadikan lahan Negara tersebut sebagai aset Daerah guna mengganti wilayah yang telah dibangun oleh proyek pembangunan strategis Nasional
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen
- Annual Report PTPN VIII Tahun 2013
- Annual Report PTPN VIII Tahun 2014
- Annual Report PTPN VIII Tahun 2015
- Annual Report PTPN VIII Tahun 2016
- Annual Report PTPN VIII Tahun 2017
- Dok. Rekaputulasi Data HGU dan Penyebarannya Kabupaten Subang
Peraturan Perundang-Undangan
- Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria (Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960)
- Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indoneisa Tahun 2014 Nomor 308)
- Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah Guna Usaha Dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing
- Peraturan Mentri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan
Jurnal
Rediale, R. “ Penguasaan Lahan Hak Guna Usaha PTPN XII Perkebunan Oleh Masyarakat Penggarap dalam Masa Permohonan Perpanjangan Hak”, Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, (2016).
Internet
[1] Sumber Data Rekapitulasi HGU (Hak Guna Usaha) dan Penyebarannya di Kabupaten Subang.
[2]Ketika dikonfirmasi kepada pimpinan ATR/BPN pun membenarkan bahwa PTPN VIII sejauh ini tidak ada permohonan perpanjangan HGU, dengan demikian dapat dipastikan bahwa HGU PTPN VIII itu sudah habis. Selain dari pernyataan Kabid Umum ATR/BPN Kabupaten Subang
[3] Kesatuan pohon-pohon atau tumbuhan lain yang menempati suatu areal tertentu dan yang memiliki komposisi jenis, umur, dan kondisi yang cukup seragam untuk dapat dibedakan dari hutan atau kelompok tumbuhan lain disebelah atau disekitar areal tersebut.
[4]https://www.kompas.com/properti/read/2021/03/23/133000421/potensi-kerugian-negara-rp-380-triliun-komisi-ii-minta-lahan-hgu-diukur?page=all
[5] Lump adalah gumpalan karet di dalam mangkok sadap atau penampung lain yang diproses dengan cara penggumpalan dengan asam semut, bahan penggumpal lain, atau yang mengalami penggumpalan secara alami.
Saat ini lahan berstatus Hak Guna Usaha menjadi salah satu isu hangat di Kabupaten Subang[1]. Beragam persoalan muncul ketika status HGU PTPN VIII berakhir. Tercatat dari tahun 2012 PTPN VIII tidak melakukan pengajuan perpanjangan HGU[2]. Menurut Nenden Setiawati PTPN VIII masih memiliki tegakan[3] pohon yang dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan tersebut memunculkan pertanyaan lebih lanjut mengenai bagaimana proses tata kelola PTPN VIII dengan komoditi karet.
Sama halnya, menurut Endro S Yahman anggota DPR-RI sudah menjadi rahasia umum perihal banyak perusahaan yang melakukan pengelolaan lahan HGU melebihi batas izin yang telah diberikan[4]. Kondisi demikian mengakibatkan negara mengalami potensi kerugian hingga Rp 380 triliun. Selain itu permasalahan yang kerap terjadi habisnya status HGU menjadi kesempatan para pemangku kepentingan melakukan praktik alih fungsi lahan dengan dalih kesejahteraan rakyat. Faktanya, hal tersebut justru memperpanjang kesenjangan kepemilikan lahan antara rakyat dan pengusaha.
Tulisan ini akan membahas mengenai silang sengkarut tata kelola lahan PTPN VIII khususnya area Blok Nakol Perkebunan Afdeling Wara IV. Luas Blok Nakol kurang lebih 103 hektare dengan masa tanam sampai tahun 2006, yang menjadi garis bawah dari Blok Nakol adalah satu daerah perkebunan produktif tetapi tidak tersentuh karena aksesnya cukup sulit. Lokasi demikian disebabkan oleh Sungai Cipunagara yang membentang sepanjang area perkebunan.
Biasanya masyarakat harus melewati jalan masuk melalui Politeknik Negeri Subang. Jika musim penghujan datang, volume air sungai meningkat dan masyarakat enggan pergi menuju Blok Nakol. Kondisi demikian sudah berlangsung cukup lama menyebabkan Blok Nakol dibiarkan dan tidak tersentuh.
Lalu, apa sebetulnya motif dari sulitnya akses menuju lokasi? Mungkinkah PTPN VIII tidak memiliki program pembangunan akses pendukung guna optimalisasi hasil produksi? Ataukah sulitnya akses Blok Nakol menjadi alasan petugas PTPN VIII membuka kerjasama dengan pihak ke tiga (pengusaha). Sebagai pertimbangan meminimalisir anggaran untuk operasional. Namun, kami menemukan hal janggal dibalik kerja sama dengan pengusaha. Disisi lain, fenomena perang hak guna usaha antara PTPN dan Negara dapat ditemukan terjadi di Blok Nakol.
Guna menelusur lebih dalam sejarah nakol yang memiliki arti “pukulan” tempat dimana masyarakat melakukan moro bagong (berburu babi hutan). Selain itu blok nakol juga disebut bedeng yaitu tempat pengepulan getah karet sebelum dikirim ke Pabrik Wangunreja. Ditemukan oleh tim investigasi mengenai aktivitas yang dilakukan di lapangan terkhusus di Blok Nakol saat ini terpantau tidak sesuai dengan standar operasional perusahaan.
Aktivitas ini justru cenderung terlihat seperti pencurian. Menurut penuturan dari orang-orang yang terlibat pengangkutan lump[5] mengungkapkan bahwa aktivitas mereka itu diketahui oleh pihak PTPN VIII namun produksi mereka bukan untuk disetorkan ke PTPN VIII, melainkan untuk dikirim ke pabrik di Lampung atau Cianjur yang sudah kontrak bersama pihak ke-3 atau pengusaha yang menyewa tegakan di PTPN VIII[6].
Dodi Kepala Tanaman PTPN VIII mengungkapkan bahwa persoalan penggunaan lahan oleh pihak lain dianggap sebagai inovasi yang menguntungkan dimasa sulit PTPN VIII pasca merugi pada tahun 2014. Menurut pemaparan dari pegawai PTPN VIII, tarif sewa lahan dibandrol Rp. 14.000.000 sampai Rp. 16.000.000 per hektar. Namun, dalam prakteknya tarif tersebut dapat dimanipulasi oleh para pegawai sampai dengan harga Rp. 1.500.000 untuk 1 Hektare lahan. Meski demikian, PTPN VIII masih mengklaim hal tersebut menguntungkan bagi perusahaan.
Permasalahan lainnya yang telah ditemukan adalah praktek kerja sama sewa pohon karet di wilayah Blok Nakol Wara IV Afdeling Wangunreja. Praktik sewa pohon tersebut dilakukan oleh pihak pengusaha dengan pihak pengusaha lainnya, di mana dalam berkas kerjasama tersebut tidak ada keterlibatan pihak PTPN VIII, namun PTPN VIII mengklaim bahwa kerja sama tersebut berada di bawah tata kelola PTPN VIII karena menggunakan lahan dan pohon perusahaan.
Adapun besaran sewa tersebut yaitu sebesar Rp. 2.500 untuk 1 pohon karet, total pohon yang disewa sebanyak 1795 pohon karet dengan jumlah nominal yang dibayar pihak ke 2 kepada pihak pertama yang juga pengusaha (bukan PTPN VIII) yaitu sebesar Rp. 13.462.500 dengan rentang waktu sewa selama 3 bulan. Persoalan sewa ini ditemukan adanya ketidaksesuaian informasi antara pihak pengusaha dan PTPN VIII. Hal ini diduga tidak diperhatikan dan tidak dikelola dengan serius oleh pihak perusahaan. Ditambahlagi, dengan permasalahan transparasi data Areal Konsensi PT Perkebunan Nusantara VIII tercatat bahwa luasan lahan Wara IV Kebun Wangunreja luasannya 501,5 Ha sedangkan pemaparan langsung dari pegawai di kantor PTPN VIII dan pegawai di lapangan menyebutkan luasannya itu sebesar 491 Ha dan 511 Ha serta yang tertera di data dokumen HGU seluas 495 Ha. Berbagai versi data luasan yang tim investigasi temukan semakin membuktikan silang sengkarut tata kelola blok nakol.
Sementara jika menghitung sesuai perhitungan para mandor dan pekerja lapangan PTPN VIII, bahwa 1 Ha lahan itu jika dirata-ratakan diisi oleh 500-550 tegakan/pohon karet. Sedangkan pengusaha Ahmad menyewa pohon karet sebanyak 1795 pohon, jumlah pohon tersebut jika dibagi dengan rata-rata pohon per Hektare (1795 : 500 = 3,59 Ha) maka seharusnya bukan 0,15 Ha, melainkan 3,59 Ha lahan yang terpakai oleh kerjasama tersebut.
Jumlah itu belum termasuk lahan yang digunakan oleh kegunaan lainnya seperti 5 Ha untuk pemakaman covid-19, lahan garapan masyarakat, warung dan kerjasama sewa lahan oleh pengusaha lainnya. Namun dokumen produksi dan penggunaan lahan yang detail di Kebun Wangunreja dan Wara IV gagal didapatkan dengan alasan pihak PTPN VIII Kebun Wangunreja enggan memberikan data yang dimintai tersebut, sedangkan pegawai PTPN VIII Kebun Jalupang berkenan memberikan data tersebut.
Entah ini merupakan unsur kesengajaan atau tidak, namun hal ini menunjukan adanya kecenderungan yang janggal terkait luasan yang ada pada Wara IV. Jika diperhatikan dengan saksama peta yang diberikan perusahaan pada tim investigasi, terdapat perbedaan peta Wara IV tidak disertakan dengan luasannya seperti Wara I, II, III dan IV. Dengan demikian, sangat dimungkinkan terjadinya maladministrasi yang dilakukan oleh pihak PTPN VIII yang berkerjasama dengan pihak pengusaha yang melakukan sewa tersebut.
Lalu, bagaimana ketidaksesuaian tata kelola jika dilihat dari aspek hukum? Berdasarkan temuan di lapangan telah terjadi pelanggaran status HGU. Hal ini justru membingungkan, ketika merujuk kepada peraturan terkait status lahan Negara yang digunakan pihak tertentu, seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai Atas Tanah dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha (HGU).
Adapun ketika status HGU telah habis masa berlakunya PTPN VIII dapat mengajukan pengajuan perpanjangan Kembali. Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 perpanjangan dan pembaruan HGU dapat dilakukan atas permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat sebagai berikut:
- tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
- syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan
- pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Namun sepanjang penelusuran tim belum ada dokumen permohonan perpanjangan status HGU. Kondisi ini memperlihatkan adanya ketidakseriusan dari PTPN VIII dalam tata kelola perusahaan, di mana aset Negara yang diklaim sebagai aset perusahaan tidak benar-benar dipergunakan sebagaimana mestinya. Skema temuan lapangan yang berawal dari Status Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah lama habis dan tidak diperpanjang, kemudian tata kelola perusahaan yang tidak baik dan mengakibatkan perusahaan terlilit hutang.
Selain itu penggunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau golongan, sewa lahan kepada swasta yang tidak sesuai dengan core produksi perusahaan mengakibatkan potensi kerugian negara semakin besar. Status HGU PTPN VIII yang telah lama habis tahun 2012 idealnya sejalan dengan berakhirnya hak PTPN VIII atas lahan tersebut, namun yang terjadi saat ini PTPN VIII masih bersikeras bahwa lahan yang mereka duduki masih menjadi hak mereka berproduksi. Jika mengacu kepada perhitungan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), tercatat Negara mengalami kerugian 1,1 milyar terhitung tahun 2012 hingga tahun 2020.
PTPN VIII sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semestinya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan Negara, namun hal tersebut nyatanya dapat diragukan, ketika melihat kondisi di lapangan yang terjadi saat ini. Di mana, PTPN VIII sejauh ini mendapatkan beberapa kendala serius yang diakibatkan faktor-faktor manajemen dan juga optimalisasi aset perusahaan. Khusus untuk Blok Nakol Afdeling Wara IV Kebun Wangunreja, pengelolaan lahan yang dilakukan oleh PTPN VIII dianggap tidak dilakukan dengan baik, sehingga banyak terjadinya persoalan-persoalan yang dianggap maladministrasi dan kesimpangsiuran data luasan nlahan yang menjadi pengelolaan lahan.
Praktek pelepasan lahan yang cenderung tidak jelaspun menjadi asumsi yang menggiring opini bahwa tidak ada sistem yang berlaku ketat dilakukan PTPN VIII sebagai perusahaan yang mengemban amanat menjaga lahan milik Negara. Bermunculan isu alih fungsi dan alih komoditi pun menjadi pendukung bahwa manajemen PTPN VIII telah terjadi diorientasi sebagai perusahaan milik Negara yang bergerak disektor perkebunan tersebut. Dengan demikian, patut dicurigai bahwa tatakelola lahan milik Negara yang dilakukan oleh PTPN VIII sangat buruk dan tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan di atas, maka terdapat beberapa rekomendasi yang ditawarkan, yakni tinjau ulang keberadaan PTPN VIII di Kabupaten Subang dan selamatkan lahan Negara untuk dikembalikan kepada Negara serta diperuntukan kembali sebagai lahan optimalisasi produksi pertani. Kedua, hentikan aktivitas pembagian atau kerjasama dengan perusahaan lain atas nama PTPN VIII karena dianggap sudah bukan lagi tugas dan fungsinya. Berikan opsi kepada pemerintah Daerah Kabupaten Subang untuk dapat menjadikan lahan Negara tersebut sebagai aset Daerah guna mengganti wilayah yang telah dibangun oleh proyek pembangunan strategis Nasional
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen
- Annual Report PTPN VIII Tahun 2013
- Annual Report PTPN VIII Tahun 2014
- Annual Report PTPN VIII Tahun 2015
- Annual Report PTPN VIII Tahun 2016
- Annual Report PTPN VIII Tahun 2017
- Dok. Rekaputulasi Data HGU dan Penyebarannya Kabupaten Subang
Peraturan Perundang-Undangan
- Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria (Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960)
- Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indoneisa Tahun 2014 Nomor 308)
- Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah Guna Usaha Dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing
- Peraturan Mentri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan
Jurnal
Rediale, R. “ Penguasaan Lahan Hak Guna Usaha PTPN XII Perkebunan Oleh Masyarakat Penggarap dalam Masa Permohonan Perpanjangan Hak”, Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, (2016).
Internet
[1] Sumber Data Rekapitulasi HGU (Hak Guna Usaha) dan Penyebarannya di Kabupaten Subang.
[2]Ketika dikonfirmasi kepada pimpinan ATR/BPN pun membenarkan bahwa PTPN VIII sejauh ini tidak ada permohonan perpanjangan HGU, dengan demikian dapat dipastikan bahwa HGU PTPN VIII itu sudah habis. Selain dari pernyataan Kabid Umum ATR/BPN Kabupaten Subang
[3] Kesatuan pohon-pohon atau tumbuhan lain yang menempati suatu areal tertentu dan yang memiliki komposisi jenis, umur, dan kondisi yang cukup seragam untuk dapat dibedakan dari hutan atau kelompok tumbuhan lain disebelah atau disekitar areal tersebut.
[4]https://www.kompas.com/properti/read/2021/03/23/133000421/potensi-kerugian-negara-rp-380-triliun-komisi-ii-minta-lahan-hgu-diukur?page=all
[5] Lump adalah gumpalan karet di dalam mangkok sadap atau penampung lain yang diproses dengan cara penggumpalan dengan asam semut, bahan penggumpal lain, atau yang mengalami penggumpalan secara alami.