Ketro merupakan nama sebuah desa di Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Letaknya berada di wilayah pegunungan, yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Ponorogo. Desa ini merupakan salah satu desa yang menjadi lokasi Program KOMPAK The Asia Foundation Social Accountability and Public Participation (TAF-SAPP), yang bekerjasama dengan Perkumpulan Inisiatif Bandung.
Perkumpulan Inisiatif mengembangkan aplikasi Bunda TextTalk (BTT) untuk mengatasi hambatan geografis dan terbatasnya waktu layanan untuk Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) antara Bumil (Ibu Hamil) dan Tenaga Kesehatan (Nakes).
Seperti umumnya desa di pegunungan, Ketro berhawa sejuk karena berada di ketinggian 1.200 dpl. Jarak desa ini 70 km dari pusat kota Pacitan. Waktu tempuhnya sekitar 1,5 jam dengan menggunakan kendaraan bermotor. Dengan luas 1.876,5 hektar, Ketro merupakan desa terluas kedua di Pacitan. Desa ini terbagi menjadi 11 Dusun dengan 28 RW (Rukun Warga) dan 56 RT (Rukun Tetangga). Jumlah penduduknya 10.073 jiwa, terdiri 5.023 laki-laki dan 5.050 perempuan.
Sarana jalan penghubung antar dusun sebagian beraspal, namun sebagian besar masih rabat beton dengan kondisi jalan curam dan naik turun. Mobilitas warga dilayani ojek motor atau mobil pick-up terbuka yang diusahakan oleh warga. Moda transportasi inilah yang digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti ke pasar di kecamatan, mengantar anak sekolah atau ke sarana kesehatan.
Karena kondisi geografi yang cukup sulit, maka warga pun merasa terbebani kalau harus berhubungan dengan sarana pelayanan dasar yang rata-rata berada di kota kecamatan.
Karena luasnya wilayah Desa Ketro, untuk mendekatkan pelayanan kesehatan, dibangunlah Pustu (Puskesmas Pembantu) dan juga Poskesdes (Pos Kesehatan Desa). Pustu berlokasi di pusat desa, yaitu di dusun Montongan, yang dibangun sejak tahun 1980. Sementara Poskesdes berlokasi di Dusun Ketro, dibangun Agustus 2003.
Bidan Yayuk, panggilan akrab Murni Rahayu, bertugas sebagai bidan di Desa Ketro mulai tahun 1992, yang sekaligus merangkap bidan di Poskesdes Wonosidi dan Pustu Ketro. Sejak 1998, ia bertugas di Pustu Ketro, dan sekarang menjadi Kepala Pustu Ketro. Beliau bukan asli warga setempat, berasal dari Kabupaten Tulungagung tetapi sudah menetap sebagai penduduk Desa Ketro. Setiap hari layanan di Pustu berlangsung dari jam 08.00 sampai 13.00.
Untuk memberikan pelayanan kepada ibu hamil, ia melakukan kunjungan ke dusun-dusun di wilayah Ketro dengan membuat kalender jadwal kunjungan, yang dikemas dalam kegiatan Posyandu. Satu bulan sekali, posyandu mendapatkan giliran kunjungan, dan dijadikan kesempatan oleh warga, khususnya Ibu-ibu yang punya balita, mengandung atau lansia (lanjut usia) untuk bertemu bidan memeriksa kesehatannya. Namun, tidak semua Ibu hamil dan punya anak bisa menggunakan kesempatan tersebut, karena berbagai kendala.
Selama tahun 2017 Pustu dan Poskesdes telah menangani ibu hamil dan melahirkan kurang lebih sebanyak 150 orang. Sampai Agustus 2017, jumlah Ibu hamil kurang lebih ada 48 orang, menyebar merata di 11 (sebelas) dusun. Karena geografis dan topografis sebagaimana tersebut di atas, menyulitkan warga untuk mengakses layanan kesehatan bahkan sekedar untuk konsutasi kesehatan.
Menurut Pak Jumawan, orang tua pasangan muda Pipit dan Agung yang baru saja mempunyai anak pertama, sebelum ada BTT, saat periksa dan konsultasi kehamilan, mereka harus datang ke Pustu dan Poskesdes yang terbatas pada jam kerja dengan jarak tempuh sekitar 5 – 10 km. Pak Jumawan tinggal di Dusun Montongan.
Sementara itu, bidan belum tentu ada setiap saat di Pustu dan Poskesdes, karena mereka sering menangani proses melahirkan di rumah penduduk. Masyarakat harus menunggu kedatangan bidan kembali ke pustu/poskesdes, atau menunggu kunjungan bidan desa ke posyandu terdekat. Sedangkan jika di luar jam kerja mereka akan datang ke rumah bidan meskipun tidak bisa memastikan beliau selalu di tempat karena sedang menjalankan layanan atau tugas lain di luar.
Saat tidak menemukan bidan desa di tempat, mereka merasa sedih dan bingung ke mana lagi dan kepada siapa berkonsultasi, untuk mendapatkan keterangan yang dibutuhkan seputar kehamilan agar tenang menghadapi beberapa gejala dan perubahan pada diri si Ibu.
Pada Juni 2017, Bidan Yayuk mendapatkan informasi sekaligus pelatihan terkait penggunaan teknologi untuk meningkatkan layanan KIA di Puskesmas Tulakan. Dia datang bersama seluruh bidan di desa, untuk mendapatkan informasi terkait adanya penggunaan teknologi untuk mendekatkan layanan. Program ini difasilitasi oleh Perkumpulan Inisiatif yang bekerjasama dengan Kompak. Selama 2 hari, bidan dilatih untuk menggunakan aplikasi Bunda TexTalk (BTT) dengan melibatkan kader posyandu di desa masing-masing.
Setelah mendapatkan informasi dan mengikuti pelatihan BTT, Bidan Yayuk langsung mempraktikkan di Pustunya. Setelah menggunakan BTT, Bumil dan pendampingnya merasa diperhatikan oleh bidan. Di sisi lain, bidan bisa menyampaikan pesan-pesan dan informasi kesehatan secara rutin dan terencana kepada Bumil tanpa ada hambatan jarak dan waktu pelayanan. Setiap saat Bumil bisa konsultasi terkait kehamilannya dengan bidan. Ada ketenangan di Bumil, karena merasa terus didampingi bidan.
Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Pipit – salah seorang Bumil – selama proses kehamilan sampai dengan melahirkan anak pertama dia bebas setiap saat konsultasi dengan Bu Yayuk. Yang sering dikonsultasikan utamanya jika terjadi perubahan pada kandungan, gejala-gejala lain yang dia tidak paham. Dengan menggunakan sms, yang dikirimkan ke BTT, secara cepat dapat direspon oleh bidan, dan informasi terkait hal tersebut menenangkan hatinya. Dia juga menerima pesan pengingat usia kehamilan secara rutin dari bidan, termasuk ke suaminya yang berada di luar kota.
Setelah ada BTT, Bidan Yayuk merasa sebagian layanan dilakukan dengan mudah dan ringan, terutama konsultasi kehamilan mulai dari awal kehamilan, menjaga dan merawat selama kehamilan, mendekati proses melahirkan serta penyuluhan kesehatan. Awalnya tidak mudah mengenalkan BTT kepada masyarakat karena harus hafal prosedur bagaimana cara mendaftar, prosedur melakukan konsultasi, pindah nomor HP (handphone) dan beberapa ketentuan lain terkait operasional BTT.
Bidan Yayuk harus mengulang-ulang penjelasannya setiap kesempatan bertemu dan penyuluhan mereka lupa. Apalagi untuk Bumil yang baru bergabung, harus dibimbing proses operasional BTT dari awal dan akan diulang-ulang lagi setiap ada pendaftar baru. Belum lagi jika sampai di rumah mereka lupa prosedurnya.
Mensikapi kondisi tersebut, akhirnya Bidan Yayuk menemukan cara, yaitu menulis proses dan prosedur operasional BTT pada kertas kecil, yang dipotong-potong, kemudian dituliskan tahapan pendaftaran BTT secara mandiri oleh Bumil melalui HP Bumil. Informasi tersebut digandakan sebanyak-banyaknya untuk dibagikan kepada seluruh Bumil dan ibu menyusui di wilayah kerjanya. Setiap ada Bumil baru datang konsultasi atau periksa kehamilan, Bidan Yayuk mengenalkan dan mengajari langsung pengoperaionalan BTT.
Langkah ini cukup efektif dan efisien membantu bumil mengatasi lalai/lupa cara mengoperasionalkan BTT bahkan leaflet itu seperti pesan berantai di antara mereka yang ingin memanfaatkan layanan konsultasi kesehatan.
Menurut Bidan Yayuk informasi kesehatan yang disampaikan BTT juga mampu menerobos hal-hal yang masih dianggap tabu dan malu untuk ditanyakan. Padahal pengetahuan itu penting untuk dipahami, misalnya tentang hubungan suami istri pada saat kehamilan dan sejenisnya. Mereka bilang, untung ada BTT sehingga menjadi tahu hal-hal penting yang masih tabu dan malu untuk ditanyakan.
Tantangan BTT adalah, biaya yang harus ditanggung bidan pada saat menyampaikan pesan massal atau broadcast, dan pengingat. Harus dicari solusi, agar beban biaya tersebut bisa menjadi tanggungan desa dengan dimasukkan ke APBDesa masing-masing.