Buku ini merupakan buku panduan sosialisasi yang mengulas tentang sejarah dan filsafat negara Republik Indonesia. Buku ini menyediakan tulisan mengenai nilai-nilai dari Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara untuk mengingatkan kembali kepada seluruh komponen bangsa di tengah berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi di Indonesia saat ini dipandang abai dan lalai diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tulisan yang disajikan pada setiap bab dapat menjadi referensi utama untuk memahami dan memaknai sejarah serta latar belakang dari terbentuknya negara Indonesia dan Pancasila sebagai ideologi negara. Buku panduan sosialisasi ini terdiri dari 6 (enam) Bab dan 13 sub-bab.
Buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ini ditulis oleh anggota MPR-RI serta Tim Kerja Sosialisasi periode 2010-2014 yang berjumlah 35 orang. Tim kerja ini dibentuk oleh Pimpinan MPR yang terdiri atas unsur fraksi-fraksi dan kelompok anggota DPD di MPR yang bertugas untuk menyusun materi, metodologi, sampai pada memantau, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan evaluasi.
Buku ini memberikan informasi yang cukup luas bagi masyarakat tentang sejarah, perkembangan, tantangan kekinian dan aktualisasi dari Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika, yang sekiranya apabila dibandingan dengan kondisi sekarang ini masih cukup relevan untuk dimaknai kembali.
Secara umum, buku ini memperlihatkan beberapa hal yang menunjukkan pengabaian, pengkhianatan serta inkonsistensi yang berkaitan dengan keempat pilar tersebut yang membawa berbagai masalah dan keterpurukan, penderitaan dan perpecahan dalam berperikehidupan kebangsaan yang secara alami mempengaruhi suatu pergeseran dan perubahan pada sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa perekat dan pengikat kerukunan bangsa adalah nilai-nilai yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat yang telah terkristalisasi dan terkandung pada sila-sila Pancasila yang dijadikan landasan utama dari ketiga pilar lainnya.
Urgensi terhadap pemahaman nilai-nilai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang tertuang dalam buku ini dipandang sebagai sesuatu yang harus diingatkan kembali, serta dipahami kembali bagi seluruh komponen masyarakat Indonesia sebagai acuan dalam kehidupan berpolitik, penegakan hukum, pengaturan ekonomi, interaksi sosial kemasyarakatan serta berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat lainnya agar tetap mengacu pada tujuan negara yang dicita-citakan. Akan tetapi, dalam perjalanannya kerap dihadapkan pada tantangan yang berat, sehingga penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Empat Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara telah banyak yang diabaikan, dikhianati dan tidak secara konsisten dijalankan.
Beberapa tantangan kekinian di dalam mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang diuraikan dalam buku ini, satu di antaranya mengurai tentang nilai-nilai agama dan nilai budaya bangsa yang sudah tidak lagi dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian masyarakat, yang mengakibatkan lahirnya krisis akhlak dan moral berupa ketidakadilan, pelanggaran hukum,dan pelanggaran hak asasi manusia.
Jika dicontohkan pada kenyataan kekinian bahwa buku ini dipandang masih relevan, misalnya adanya tindak kekerasan organisasi keagamaan tertentu (contoh Ormas FPI) terhadap pemeluk keyakinan lain masih kerap terjadi sebagai pelanggaran HAM ( kekerasan pada Koalisi Kerukunan Umat Beragama), penistaan terhadap agama minoritas (Ahmadiyah/Nasrani/Hindu di Bali) atau individu yang memeluk keyakinan tertentu (Kasus Lurah Susan, Ahok, dan pemeluk Syiah), bahkan yang dijadikan sebagai alat kampanye hitam (Kasus pilpres 2014) dan pembatasan ruang/kesempatan beribadah (contoh sweeping Gereja tak berizin dan penutupan Gereja Yasmin-Bogor), menjadikan nilai ajaran agama yang keliru dan sempit yang mengakibatkan pola interaksi antarumat beragama tidak harmonis, toleran serta tidak adanya penghargaan atas kebhinekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa.
Padahal Pancasila telah mengakomodasi dimensi transendental yang mempertemukan hubungan simbiosis antara konsepsi “Daulat Tuhan” dan “Daulat Rakyat” pada Sila Pertama tentang KeTuhanan yang Maha Esa, yang secara hukum menegaskan bahwa Negara Pancasila adalah Negara Religius yang artinya tidak boleh ada sikap dan perbuatan anti-Ketuhanan dan anti-Agama.
Artinya dalam Pancasila, nilai-nilai Ketuhanan (religiositas) adalah sumber etika dan spiritualitas dan sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Negara menurut Pancasila seharusnya dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama, sementara agama diharapkan dapat memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multi agama dan multi keyakinan, negara Indonesia harus dapat mengembangkan politiknya yang dipandu oleh nilai-nilai agama.
Di samping itu, Sila Pertama ini pun turut menjiwai Sila Kedua tentang Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dimana Pancasila memandang kata “manusia” sebagai makhliuk yang berbudaya dengan memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Oleh karenanya manusia memiliki martabat tertinggi, sementara kemanusiaan berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan martabatnya, sementara kata “Adil” berarti patut, tidak memihak atau berpegang pada kebenaran, dan keputusan dan tindakan yang diambil didasarkan pada objektivitas, dengan kata lain wajar/sepadan, sementara “adab” merupakan sinonim dari sopan, berbudi luhur, susila sekaligus menuju tingkat kemajuan lahir dan batin.
Artinya ada kandungan nilai bahwa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bersumber dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa, dan karena manusia adalah makhluk pribadi anggota masyarakat yang sekaligus hamba Tuhan yang selanjutnya, diejawantahkan dalam implementasi hak dan kewajiban asasi manusia serta komitmen terhadap penegakan hukum.
Di sisi lain, dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan, Indonesia merupakan negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan yang menghasilkan sebuah slogan negara dengan ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”. Wawasan kosmopolitanisme dan pluralisme memberikan ruang hidup bagi aneka perbedaan yang tercermin pada Sila Ketiga tentang Persatuan Indonesia, yang turut menyatakan bahwa Indonesia bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, tetapi juga mampu memberikan kemungkinan bagi keberagaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing.
Sila Persatuan Indonesia pun turut menjiwai Sila Keempat Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyarawatan/Perwakilan (mufakat atau demokrasi). Dengan kata lain, cita-cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat dalam politik dengan memberi jalan bagi peran dan pengaruh besar yang dimainkan oleh rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan cita-cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”, untuk tercapainya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarakat meliputi kehidupan jasmani, rohani, keadilan dalam pemenuhan tuntutan hakiki jasmani dan rohani sebagai inti dari moral ke-Tuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan dan matra kedaulatan rakyat yang terkandung dalam prinsip Keadilan Sosial yang tercermin pada Sila Kelima tentang Keadilan Sosial.
Dari salah satu contoh uraian di atas, memperlihatkan bahwa salah satu tantangan ataupun contoh kasus kekinian yang terjadi, memunculkan salah satu contoh bentuk pengabaian terhadap penerapan nilai-nilai Pancasila. Buku ini menekankan bahwa kelima sila tersebut sebagai satu kesatuan nilai kehidupan masyarakat Indonesia dan dasar Negara Republik Indonesia yang digali dan dirumuskan dari nilai kehidupan rakyat Indonesia yang merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa kita, dan Pancasila sebagai suatu perjanjian luhur yang harus dijadikan pedoman bagi bangsa, pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia.
Di samping itu, buku mengajak untuk memaknai kembali Pancasila sebagai penegasan komitmen, bahwa nilai-nilai Pancasila adalah dasar dan ideologi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, karena Pancasila adalah sebuah perangkat tata nilai untuk diwujudkan sebagai panduan dalam berbagai segi kehidupan.
Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila haruslah menjadi landasan etika dan moral ketika membangun pranata politik, pemerintahan, ekonomi, pembentukan dan penegakan hukum, politik, sosial budaya dan berbagai aspek kehidupan laiinya. Seperti kutipan yang diungkapkan Soekarno dalam buku ini, bahwa “Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu bangsa yang juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan melenyapkan segala penyakit yang telah dilawan berpuluh-puluh tahun, Imperialisme perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama, tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuangnya sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai keperibadian sendiri. Keperibadian yang berwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya dalam wataknya dan lain sebagainya (Soekarno, 1958:I:3).
Secara keseluruhan, isi yang terdapat dalam Buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ini pantas untuk dijadikan pegangan bagi masyarakat umum. Selain isi yang disajikan lengkap dalam menguraikan sejarah dan perkembangannya, juga dipandang relevan dengan kondisi kekinian yang dihadapi Bangsa Indonesia. Jadi, buku ini dapat dijadikan bahan bacaan untuk disikapi untuk kebutuhan masyarakat umum.
Judul Buku : Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Penulis : Tim Kerja Sosialisasi MPR-RI
Penerbit : Sekretariat Jenderal MPR-RI
Tempat Terbit : Jl. Jend. Gatot Subroto No.6 Jakarta
Tanggal/Tahun : 16 Agustus 2012
Juml.Hal. : 198 halaman