RANGKUMAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
Latar Belakang
- Akses terhadap pendidikan dasar menjadi isu utama pembangunan dan berbagai upaya pengetasan kemiskinan di dunia, termasuk di Ind Bila merujuk pada PP nomor 38/2007 dan permendiknas nomor 50/2007, keberhasilan upaya untuk meningkatkan dan memeratakan akses ini sangat bergantung pada bagaimana daerah dapat memformulasikan berbagai kebijakan, strategi dan program yang efektif dalam mengatasi permasalahan hambatan akses tersebut. Pada konteks kabupaten Bandung, meski memiliki strategi tersendiri dalam mencapai berbagai tujuan tersebut, pada kenyataannya permasalahan hambatan akses ini belum dapat terpecahkan sehingga upaya untuk mengkaji berbagai bentuk dan upaya pemerintah kabupaten Bandung dalam mengatasi permasalahan tersebut menjadi penting dilakukan guna memberi masukan untuk mengoptimalisasi kebijakan-kebijakan yang telah ada.
Tujuan
- Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai kebijakan terkait upaya pemerintah daerah dalam menjamin masyarakat miskin untuk dapat mengakses pendidikan dasar, bagaimana mekanisme penganggaran yang dilakukan untuk menjamin hal tersebut, dan bagaimana keduanya berkontribusi dalam menghambat masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan dasar, sekaligus mendokumentasikan berbagai permasalahan akses yang terjadi berdasar pada berbagai variabel akses: variabel penyedia layanan, variabel populasi pengguna layanan, dan variabel sumber daya lay
Metodologi, Waktu dan Wilayah Penelitian
- Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian semi- partisipator Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus dengan waktu penelitian selama 3 bulan, antara april-juni 2010. Tujuh desa dipilih sebagai sampel, yaitu desa Cibodas kecamatan Solokanjeruk, desa Ciapus kecamatan Banjaran, desa Cikembang kecamatan Kertasari, desa Tarumajaya kecamatan Kertasari, desa Cileunyi Wetan kecamatan Cileunyi, desa Dukuh kecamatan Ibun, dan desa Mekarjaya kecamatan Pacet. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah para stakeholder penyelenggara pendidikan dasar (kepala sekolah SD-SMP sederajat di tiap desa, kepala dinas/dewan pendidikan), kepala desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat desa.
Kebijakan dan Anggaran Pendidikan Dasar
Akses Terhadap Pendidikan Dasar dalam Konteks Kebijakan
- Dalam konteks nasional, upaya peningkatan dan perluasan akses menjadi prioritas utama pembangunan di bidang pendidikan. Upaya pemerataan dan perluasan akses terhadap pendidikan yang bermutu ini diarahkan pada upaya perluasan daya tampung dan pemberian kesempatan yang sama kepada golongan masyarakat yang berbeda, baik secara ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal, dan tingkat intelektual serta kondisi fisik.
- Untuk melaksanakannya, pemerintah pusat menetapkan berbagai kebijakan strategis, antara lain pemberian dana BOS untuk semua siswa dan pemberian subsidi biaya personal bagi siswa miskin yang dialokasikan dari dana BOS, dan membangun SD-SMP satu atap di daerah-daerah terpencil dan berpenduduk jarang dan terpencar. Kebijakan strategis tersebut dijabarkan dalam beberapa kegiatan: pemberian BOS, rehabilitasi ruang kelas yang rusak, penyediaan USB dan RKB, perintisan pendidikan dasar 9 tahun satu atap dan SMP terbuka, serta penyelenggaraan kelas layanan khusus di sekolah dasar untuk anak yang putus sekolah atau sama sekali belum pernah sekolah dasar sampai tamat, dan pemberian bantuan melalui PKH. Sedangkan dalam konteks kebijakan tingkat propinsi, upaya untuk memperluas dan memeratakan akses terhadap pendidikan dasar, antara lain dilakukan dengan memprioritaskan pengadaan sarana penunjang KBM, pemberian dana BOS propinsi, dan pembangunan USB/RKB.
- Upaya peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengakses layanan pendidikan, khususnya pada sekolah negeri diselenggarakan dengan prinsip bebas biaya dan pemberian “perlakuan khusus” kepada siswa dari keluarga miskin, seperti yang diamanatkan dalam pasal 9 ayat 1 dan pasal 9 ayat 4 PP nomor 47/2008 tentang wajib Berbagai aturan tersebut dijewantahkan dalam pasal 118 ayat 2, 15 ayat 1 huruf (g), pasal 9 ayat 4 dan 121 ayat 1 perda nomor 26/2009 tentang penyelenggaraan sistem pendidikan di kabupaten Bandung, dimana satuan pendidikan milik pemerintah dilarang menarik biaya dalam bentuk apapun dan pemerintah wajib membebaskan segala biaya pendidikan bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu antara lain melalui pemberian beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan dari pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
- Selain yang telah diamanatkan dalam perda nomor 26/2009, perda nomor 10/2008 juga menjabarkan berbagai “perlakuan khusus” lainnya. “Perlakuan khusus” tersebut yaitu upaya jaminan ketersediaan pelayanan pendidikan dasar kepada masyarakat miskin, percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun bagi keluarga miskin, percepatan pengembangan partisipasi masyarakat dan dunia usaha terhadap pendidikan bagi anak keluarga miskin, penyediaan skema pembiayaan bagi keluarga miskin untuk pendidikan anak usia dini hingga pendidikan sekolah menengah, percepatan program subsidi biaya penyelenggaraan pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan yang peduli keluarga miskin, percepatan penanganan siswa miskin putus sekolah melalui paket A, B, dan C, dan percepatan koordinasi dan fasilitasi program-program semua stakeholder yang berhubungan dengan pendidikan bagi anak keluarga miskin.
- Banyaknya perlakuan khusus ini relevan dengan situasi masyarakat miskin di kabupaten Bandung terkait pendidikan, seperti yang dijabarkan dalam dokumen SPKD kabupaten Bandung tahun 2007-2009 dan peraturan Bupati nomor 7/2005. Berdasarkan dokumen tersebut, permasalahan ketimpangan akses antara masyarakat miskin dan non miskin disebabkan oleh keterbatasan jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar mengajar, rendahnya mutu layanan pendidikan akibat kurangnya sarana dan prasarana yang memadai, ketersediaan dan kelayakan guru yang lebih terkonsentrasikan di daerah perkotaan, terbatasnya jumlah sekolah-sekolah lanjutan di daerah, kurangnya partisipasi masyarakat di bidang pendidikan, kurangnya kemauan dan kemampuan melanjutkan pendidikan diantaranya akibat kurang gizi dan dukungan sosial budaya masyarakat, tingginya biaya penunjang pendidikan seperti pengadaan buku, seragam dan transportasi, dan kurangnya keterpaduan antara kebutuhan lapangan pekerjaan dengan pendidikan yang dilaksanakan, ketidakmampuan dalam membayar sekolah, kurangnya motivasi dan rendahnya kesadaran terhadap pendidikan, ketidaksampaian informasi mengenai beasiswa dan keringanan biaya pendidikan; biaya jajan yang tinggi, lokasi sekolah yang jauh, terutama pada komunitas di lokasi-lokasi terpencil, tidak pernah hadirnya petugas penyuluh pendidikan, sulitnya mencari angkutan umum, biaya transportasi yang tinggi, dan biaya penunjang pendidikan (buku, seragam) yang dianggap mahal.
- Dari berbagai peraturan perundang-undangan serta arah kebijakan dan program tersebut, pendidikan diselenggarakan dengan menganut prinsip diskriminasi positif terkait perbedaan perlakuan berdasarkan kriteria kesejahteraan (unequal treatment of unequals). Hal ini dilakukan karena masyarakat miskin memiliki kebutuhan dan permasalahan yang berbeda dibandingkan dengan kelompok lainnya, dengan tujuan menciptakan outcome equality di antara kelompok-kelompok yang berbeda-beda.
Gambaran Umum Belanja Sektor Pendidikan di Kabupaten Bandung
- Berdasarkan Perda nomor 26 tahun 2009, pemerintah daerah memiliki kewajiban memberikan dana guna penuntasan wajib belajar sembilan tahun. Perda tersebut menegaskan bahwa pendanaan pendidikan ini bersumber dari APBN dan APBD propinsi dan kabupaten, dimana APBD kabupaten wajib mengalokasikan dana sekurang-kurangnya 20% diluar belanja pegawai dan DAK dan tidak termasuk gaji pendidik serta biaya kedinasan. Berbagai komposisi dana tersebut digunakan untuk mendanai keseluruhan biaya penyelenggaraan pelayanan pendidikan pada sekolah negeri, memberi bantuan dana untuk sekolah swasta dan pembebasan segala biaya pendidikan bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu.
- Dalam pelaksanaannya, pemerintah kabupaten Bandung mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk belanja pada sektor pendidikan, dengan rata-rata sebesar 42,31% dari total belanja APBD. Dengan alokasi dana sebesar itu, belanja pendidikan merupakan belanja dengan porsi terbesar dalam struktur penganggaran.
- Meski total alokasi belanja pendidikan besar, berdasar komposisinya, ternyata penggunaannya belum memenuhi ketentuan pada pasal 120 perda nomor 26/2009. Hal ini karena alokasi terbesar dari porsi belanja tersebut digunakan untuk belanja pegawai (belanja tidak langsung). Persentase belanja tidak langsung terhadap total belanja APBD ini sangat tinggi, yaitu mencapai lebih dari 35% Sedangkan untuk belanja program (belanja langsung), rata-rata persentase terhadap total belanja APBD hanya 6,73% pertahun. Dengan perbedaan yang signifikan antara belanja langsung dan tidak langsung tersebut, porsi belanja tidak langsung dalam struktur belanja sektor pendidikan sangat tinggi, yaitu mencapai lebih dari 80%.
- Alokasi belanja langsung ini semakin rendah apabila kita menilainya berdasar harga riil. Pada tahun 2008 misalnya, dengan nominal alokasi belanja sebesar 110 milyar, adanya inflasi sebesar 10% pada tahun tersebut membuat secara riil, alokasi belanjanya hanya sebesar 83 milyar saja. Meski demikian, perbedaan nilai nominal dan riil yang paling mencolok ditemui pada belanja tidak langsung, dimana pada tahun tersebut, dengan nominal belanja sebesar 560 milyar, harga riil-nya hanya 419 milyar.
- Adanya peningkatan jumlah alokasi belanja sektor pendidikan ternyata juga tidak serta-merta membuat alokasi belanja langsung meningkat. Pada tahun 2009, meski terjadi peningkatan alokasi belanja pendidikan sebesar 7,6%, alokasi belanja langsung justru mengalami penurunan sebesar 29% dimana belanja langsung meningkat sebesar 14,8%. Dengan demikian, proporsi tersebut membuktikan penggunaan anggaran tidak efektif.
- Di dalam struktur belanja langsung, pemerintah daerah di nilai telah melakukan upaya untuk menjadikan pendidikan dasar sebagai prioritas utama pembangunan di bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari sangat besarnya persentase porsi belanja program wajar dikdas dibandingkan program layanan pendidikan lainnya, yaitu lebih dari 80%.
- Namun, struktur kegiatan dalam program wajar dikdas ini sebagian besar dialokasikan untuk kegiatan terkait pembangunan fisik. Kegiatan dengan jumlah alokasi terbesar dalam program ini pada empat tahun pengamatan adalah rehabilitasi sedang/berat ruang kelas sekolah, pembangunan perpustakaan sekolah, penambahan ruang kelas, penyediaan dana BOS dan pembangunan gedung sekolah sebesar 33%, 16%, 12%, dan 5%. Sedangkan kegiatan lainnya (22 kegiatan), nominal belanjanya dibawah 5%.
- Berdasar sustainabilitas alokasi belanja, upaya peningkatan akses (non fisik) dilakukan dengan penyelenggaraan 5 kegiatan, sedangkan upaya terkait penyediaan sarana-prasarana dan mutu masing-masing sebanyak 5 dan 3 kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah penyediaan buku dan alat tulis siswa, pembinaan SMP terbuka, penyelenggaraan paket A, paket B, pengadaan alat praktik dan peraga siswa, dan penyediaan dana BOS. Kegiatan terkait pembangunan fisik (sarana prasarana) tetap merupakan alokasi terbesar dibandingkan kegiatan terkait akses dan mutu.
Belanja Peningkatan Akses
- Dalam struktur belanja pendidikan dasar, ada kecenderungan pemerintah kabupaten Bandung untuk menggolongkan berbagai kelompok belanja terkait fisik (sarana-prasarana) sebagai strategi utama upaya peningkatan akses. Hal ini penting untuk diperhatikan karena berdasarkan dokumen anggaran yang ada, belanja fisik memiliki nominal yang jauh lebih besar dibandingkan belanja non fisik. Berbagai belanja tersebut adalah pembangunan gedung sekolah, penambahan ruang kelas sekolah, dan penambahan ruang kelas baru SMP/MTs/SMPLB. Kegiatan rehabilitasi sedang/berat ruang kelas sekolah juga dianggap sebagai upaya peningkatan akses oleh pemerintah kabupaten Bandung.
- Dengan demikian, meski belanja peningkatan akses memiliki jumlah kegiatan terbanyak (11 dari 27 kegiatan), pada kenyataannya nominal terbesar ada pada kegiatan-kegiatan terkait pembangunan fisik. Terlebih bila kegiatan rehabilitasi sedang/berat ruang kelas juga diperhitungkan sebagai upaya peningkatan akses, porsi belanja peningkatan akses ini merupakan porsi terbesar dibandingkan dengan kelompok belanja lainnya. Dan apabila berbagai kegiatan terkait fisik tersebut tidak digolongkan sebagai belanja peningkatan akses, jumlah kegiatannya hanya sebanyak 8 kegiatan dan nominal alokasi belanjanya menurun signifikan, seperti pada tahun 2008, dari 24,11 milyar menjadi 1,66 milyar rupiah saja.
- Proporsi belanja tersebut jelas membuktikan bahwa pemerintah daerah memiliki alokasi anggaran yang sangat minim untuk memberi jaminan pembebasan biaya sekolah berstatus negeri, dan membebaskan segala biaya pendidikan bagi masyarakat miskin. Jenis alokasi belanja yang menjadi “tumpuan” untuk melaksanakan berbagai upaya tersebut adalah BO Namun, dalam kenyataannya, pemerintah kabupaten Bandung tidak tiap tahun menganggarkan dana BOS, dan nominal alokasinya yang tidak menentu dimana pada tahun 2007, hanya dianggarkan sebesar 668 juta rupiah, meski di tahun 2009 dan 2010 meningkat menjadi 21,57 milyar dan 21,73 milyar.
- Nominal belanja untuk kegiatan lain terkait dengan upaya peningkatan akses untuk kegiatan non-fisik (selain BOS) jumlahnya sangat kecil. Kegiatan- kegiatan tersebut adalah pengadaan buku dan alat tulis siswa, pengadaan alat praktik dan peraga siswa, pembinaan SMP terbuka, penyediaan buku pelajaran, penyelenggaraan paket A dan B serta penyebarluasan dan sosialisasi berbagai informasi pendidikan. Dari berbagai kegiatan tersebut, alokasi terbesar dianggarkan untuk penyelenggaraan paket B sebesar 936 juta pertahun, dan pengadaan alat praktik dan peraga sebesar 506 juta pertahun, sedangkan kegiatan lainnya memiliki alokasi di bawah 200 juta pertahun.
- Pada penyelenggaraan paket B, meski memiliki nominal kecil, jumlah alokasi yang tinggi dibandingkan dengan alokasi belanja kegiatan lainnya (selain BOS) dalam struktur belanja peningkatan akses memperlihatkan bahwa pemerintah kabupaten Bandung memberi prioritas yang besar dalam upaya memeratakan kesempatan memperoleh pendidikan setingkat SMP pada jalur non-formal. Alokasi belanja untuk penyelenggaraan paket B ini juga dianggarkan dari dana pemerintah pusat dan propinsi, namun dengan jumlah yang sangat kecil, dimana pada tahun 2008. Pemerintah propinsi hanya memberi dana sebesar 1,56 juta r Dengan alokasi sebesar 798,64 juta di tahun 2007, pemerintah daerah berhasil menyelenggarakan paket B untuk 2.960 orang dan berkontribusi meningkatkan APM sebesar 1,63%.
Pembiayaan Pendidikan : Alokasi Bantuan Biaya Personal
- Berdasarkan analisis yang telah dikemukakan, pemerintah daerah hanya memiliki kontribusi yang sangat terbatas terhadap upaya untuk mengatasi hambatan biaya personal masyarakat miskin. Terlebih dengan adanya kenyataan bahwa penggunaan anggaran tidak efisien dan efektif. Upaya pemerintah kabupaten Bandung untuk mengatasi biaya personal ini dilakukan hanya dengan pemberian dana BOS.
- Meski pemberian beasiswa dan bantuan biaya pendidikan diamanatkan dalam peraturan daerah, pada dokumen APBD kabupaten Bandung, tidak ada kegiatan yang secara eksplisit menerangkan adanya pemberian bantuan tersebut dalam program wajar dikdas. Pemberian beasiswa dan bantuan biaya pendidikan hanya dilakukan oleh pemerintah propinsi dan pusat. Misalnya dalam alokasi dana dekonsentrasi dimana pada tahun 2008, pemerintah propinsi Jawa Barat menganggarkan kegiatan pemberian bantuan terkait program menuju Jabar bebas putus sekolah untuk 3321 siswa SD dan SMP sejumlah 1,6 milyar rupiah, dan penyelenggaraan SMP terbuka. Penyelenggaraan PKH juga salah satu bentuk bantuan yang diberikan untuk mengatasi biaya personal ini, dengan anggaran sebesar 2 milyar di tahun 2008.
- Dengan alokasi bantuan yang terbatas tersebut, hambatan biaya masih menjadi keniscayaan. Jumlah beban biaya ini setidaknya terlihat pada data statistik pendidikan tahun 2007/2008, dimana total pendapatan dari sumbangan orang tua yang dipungut oleh sekolah adalah sebesar 6,9 milyar rupiah, untuk jenjang pendidikan SD/MI negeri dan sw Sedangkan pada jenjang SMP, jumlah penerimaannya sebesar 10,7 milyar. Jumlah terbesar dari pendapatan ini di dapat dari uang iuran lainnya (diluar uang pangkal dan uang komite sekolah). Penerimaan uang iuran selain uang pangkal dan komite sekolah yang jauh lebih besar ini adalah karena adanya kontribusi pemasukan yang dilakukan oleh sekolah negeri kepada orang tua murid.
- Dari struktur anggaran yang demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan dasar-pun, pemerintah kabupaten masih sangat tergantung pada bantuan dari pemerintah pusat. Dalam komposisi total penerimaan yang didapatkan satuan pendidikan, pemerintah kabupaten Bandung hanya berkontribusi sebesar 2 milyar (di luar gaji) dan pemerintah propinsi yang hanya sebesar 1,1 milyar rupiah. Sedangkan pemerintah pusat, meski tinggi, sebesar 96,9 milyar, 93 milyar-nya dialokasikan untuk dana BOS.
Kinerja Pendidikan
Input Pendidikan : Ketersediaan Sarana dan Prasarana, Anggaran dan Sebaran Pemanfaatannya
- Terjadi ketimpangan yang cukup besar pada jumlah SD dan SMP, terutama bila merujuk pada komposisi antara negeri dengan swasta. Jumlah SD negeri sebesar 1362 unit, sedangkan SMP negeri sebesar 77 unit saja di tahun 2010. Pada jenjang SD, jumlah sekolah yang berstatus negeri jauh lebih tinggi dibandingkan swasta, yaitu 1362:191, sedangkan pada jenjang SMP, jumlah sekolah berstauts swasta jauh lebih besar, yaitu 77:334.
- Dalam penyediaan unit sekolah, pemerintah kabupaten Bandung lebih memprioritaskan kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan sekolah swasta secara signifikan, dan mengurangi kontribusinya dalam penyediaan layanan pendidikan berstatus negeri. Berdasar kecenderungan, pertumbuhan sekolah swasta baik pada jenjang SD/MI maupun SMP/MTs lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah berstatus neger Rasio pertumbuhan sekolah pada jenjang SMP/MTs negeri terhadap sekolah swasta adalah 1:2, sedang pada jenjang SD/MI sebesar -16:13.
- Kesenjangan jumlah sekolah antar kecamatan dan antar jenjang sekolah juga sangat tinggi. Hal ini terlihat dari tingginya perbedaan antara kecamatan yang memiliki rasio tertinggi dan terendah, dimana pada jenjang SD sederajat, rasio terendah adalah sebesar 1:157 di kecamatan Katapang dan tertinggi di Kertasari, sebesar 1:364. Sedangkan SMP sederajat, rasio terkecil terdapat di kecamatan Cimenyan, sebesar 1:193 dan tertinggi di Katapang, sebesar 1:619. Meski demikian, apabila diasumsikan keseluruhan penduduk bersekolah, rasio tertinggi terdapat di kecamatan baleendah sebesar 1:451 (untuk SD sederajat) dan Kertasari sebesar 1:921 (untuk SMP sederajat).
- Selain itu, penyebaran jumlah ruang kelas di tiap kecamatan juga tidak merata, dimana ada wilayah yang mengalami kekurangan ruang kelas dan ada yang digunakan tidak optimal. Permasalahan ini terutama terlihat pada jenjang SMP sederajat, dimana sebagian besar kecamatan sangat kekurangan ruang kelas, terutama di kecamatan Margaasih. Ada juga kecamatan yang distribusi murid-nya tidak merata, seperti di kecamatan Pamengpeuk, dimana ada sekolah yang memiliki murid berlebih dan ada sekolah yang kekurangan murid.
- Pemerintah kabupaten Bandung telah berupaya mengatasi keterbatasan ruang kelas ini, namun penggunaan anggarannya tidak efisien. Ini terlihat dengan perbandingan antara jumlah anggaran dengan ruang kelas yang berhasil dibangun, dimana 1 ruang kelas menghabiskan anggaran sebesar 509 juta rupiah.
- Besarnya jumlah sekolah yang rusak berat juga merupakan permasalahan yang menjadi pokok perhatian pemerintah daerah. Hal ini karena banyaknya jumlah ruang kelas yang rusak (2474 unit di tahun 2008) dan anggaran yang dialokasikan untuk rehabilitasi ruang kelas merupakan jumlah nominal tertinggi dibandingkan pengeluaran lainnya. Kecamatan yang memiliki jumlah kelas rusak berat paling tinggi adalah kecamatan Pangalengan, yaitu sebanyak 253 ruang kelas untuk jenjang SD/MI negeri.
- Apabila tidak ada perubahan arah kebijakan yang signifikan oleh pemerintah kabupaten Bandung, proporsi anggaran untuk rehabilitasi ruang kelas ini akan tetap menjadi irisan anggaran terbesar dibandingkan dengan kegiatan lainnya dalam program wajar dikdas pada tahun-tahun mendatang. Hal ini mengingat masih banyaknya ruang kelas yang rusak dan potensi meningkatnya status rusak ringan menjadi rusak Dengan kemampuan realisasi anggaran sebesar 12,67 milyar pertahun, akan membutuhkan waktu setidaknya 23 tahun lagi untuk memperbaiki ruang kelas tersebut, atau dengan menyediakan anggaran sebesar 537,25 milyar rupiah.
Analisis Output : Pencapaian Angka-angka dalam Upaya Peningkatan dan Pemerataan Akses
- Meski dengan berbagai kekurangan yang ada tersebut, pada kenyataannya, pemerintah kabupaten Bandung telah berhasil meningkatkan angka IPM, APM, APK dan RLS. RLS meningkat dari 8,03 di tahun 2004 menjadi 8,87 di tahun 2009, sedangkan APK jenjang SD, naik 13,28 poin di tahun 2009 dan jenjang SMP naik 16,38 poin, meski APM pada jenjang ini turun sebesar 1,44 poi Angka IPM juga naik tiap tahun, dengan kenaikan rata-rata sebesar 0.79 pertahun.
- Namun, permasalahan yang terjadi adalah kesenjangan pencapaian tersebut di tiap-tiap kecamatan, dengan perbandingan yang cukup. Pada jenjang SD sederajat, kecamatan yang memiliki APK dan APM tertinggi di tahun 2009 adalah kecamatan Margahayu, sebesar 146,90% dan 125,05% sedangkan terendah di kecamatan Cilengkrang, sebesar 77,80% dan 66,82%. Ketimpangan yang tinggi terjadi pada jenjang SMP dengan persentase terbesa di kecamatan Dayeuhkolot, sebesar 111,03% dan 77,77%, sedangkan terendah di Cilengkrang, 28,75% dan 20,92%.
- Masalah lainnya adalah masih ditemukan berbagai kasus putus sekolah. Pada tahun 2009, ada 113 siswa SD dan 658 siswa SMP yang putus sekolah. Meski menurun dari tahun 2008, kemugkinan terjadinya putus sekolah masih tetap tinggi meski terjadi kenaikan angka partisipasi apabila sumber kerentanan yang mengakibatkan siswa mengalami putus sekolah tidak diatasi.
- Laki-laki merupakan kelompok dengan jumlah angka putus sekolah yang besar, baik pada jenjang SD sederajat, maupun SMP. Perbedaan angka putus sekolah ini berbeda-beda di tiap-tiap k Pada tingkat SD, kecamatan Ibun merupakan kecamatan tertinggi angka putus sekolah di tahun 2008, sedangkan tahun 2009, Pangalengan merupakan kecamatan yang paling tinggi tingkat putus sekolahnya. Pangalengan merupakan kecamatan yang paling memprihatinkan karena pada dua tahun tersebut tidak ada penurunan signifikan pada jumlah anak putus sekolah. Sedangkan pada jenjang SMP sederajat, perbedaan jumlah putus sekolah sangat kontras. Beberapa kecamatan yang paling tinggi tingkat putus sekolahnya adalah Ciparay, Ibun, Kertasari, dan Pangalengan.
- Angka ketimpangan IPM juga tinggi, dimana pada tahun 2009, hanya ada 7 kecamatan yang IPM-nya berada di atas angka kabupaten. Kecamatan dengan IPM terendah adalah Kertasari, Rancabali, Cikancung, Pacet, dan Solokanjeruk. Kecamatan tersebut rendah karena wilayah tersebut memiliki infrastruktur yang kurang memadai, merupakan daerah rural yang berpengaruh pula terhadap tingkat kesadaran akan pendidikan dan kemampuan untuk memperoleh pekerjaan memadai yang jauh lebih sulit.
Realitas Penyelenggaraan Pendidikan Dasar
Kesadaran Masyarakat terhadap Pendidikan : Nilai-nilai dan Persepsi yang Melatarbelakanginya
- Secara umum kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menyekolahkan anak pada jenjang pendidikan dasar telah baik. Tingginya kesadaran ini membuat hampir keseluruhan anak usia 7-12 tahun di desa-desa yang diteliti bersekolah dan cukup banyak anak usia 13-15 tahun yang tetap bersekolah.
- Faktor ekonomi merupakan motivasi utama yang mendorong orang tua dari kelompok miskin untuk menyekolahkan, atau tidak menyekolahkan anak mereka. Bagi mayoritas masyarakat miskin yang menganggap sekolah itu penting, memiliki pendangan bahwa “ketidakberuntungan hidup” yang mereka alami disebabkan karena pendidikan yang mereka miliki rendah. Pendidikan dianggap dapat merubah “nasib” anaknya menjadi lebih baik, melalui kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
- Bagi masyarakat miskin yang menganggap pendidikan merupakan hal yang tidak penting, didorong oleh adanya kenyataan bahwa dilingkungan tempa tinggalnya banyak lulusan sekolah formal yang menganggur, bekerja serabutan dan tidak memiliki harta benda yang banyak. Pencapaian akan pendidikan di anggap tidak berarti apa-apa dengan membandingkan bahwa ada tetangga mereka yang meski tidak mengenyam pendidikan formal, namun berhasil secara ekonomi—memiliki rumah yang besar, kendaraan lebih dari satu, pabrik, dan uang banyak. Hal ini mendorong masyarakat berfikiran negatif, dengan menganggap pendidikan hanya membuang uang dan waktu tanpa kepastian akan masa depan yang lebih baik, karena mereka menganggap bisa menjadi kaya raya meski tanpa bersekolah.
- Pada kelompok masyarakat miskin lainnya, terutama buruh (buruh serabutan, buruh tani, buruh pabrik), persepsi bahwa pendidikan itu tidak penting adalah karena status sebagai lulusan sekolah tidak banyak menjamin adanya peningkatan kesempatan mendapat pekerjaan lebih baik. Selain menganggap tidak adanya pilihan pekerjaan yang lebih baik bila bersekolah, terbukanya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan tanpa menunjukkan ijasah sekolah formal, seperti pekerjaan sebagai TKI dan buruh pabrik dengan adanya jasa “membayar orang dalem” dan “ijasah palsu” juga merupakan salah satu faktor pendorongnya.
- Mayoritas kelompok masyarakat miskin yang memiliki pandangan bahwa pendidikan itu tidak penting memiliki latar belakang pendidikan yang rendah. Orang tua tidak merasakan pentingnya menyekolahkan anak karena merekapun tidak pernah mendapatkan pendidikan formal, terutama karena alasan keterbatasan ekonomi dan ketiadaan figur individu yang bersekolah tinggi dan berhasil dari segi ekonomi.
- Penting tidaknya pendidikan juga dinilai berdasarkan untung rugi yang mereka dapatkan dalam hal ekonomi. Pendidikan adalah perkara mengorbankan uang dan waktu yang mereka miliki saat ini untuk hal yang belum dapat dirasakan atau didapatkan pada masa mendatang. Meski ada kebijakan pendidikan gratis, ada opportunity cost yang masih dirasa mahal untuk dikorbankan dengan bersekolah, seperti pungutan-pungutan sekolah, buku tulis, ongkos, uang jajan dan lainnya, maupun karena adanya kesempatan untuk mendapatkan tambahan penghasilan yang terbuang karena bersek
- Secara umum, tidak ada diskriminasi kesempatan memperoleh pendidikan (tingkat SD dan SMP sederajat) terhadap perempuan. Laki-laki merupakan kelompok yang banyak mengalami putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah karena mereka memiliki kemampuan (tenaga) yang lebih, dan perempuan lebih sedikit karena mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk bekerja sebagai buruh pabr Laki-laki cenderung ingin membantu orang tua mencari uang karena merasakan beban ekonomi yang berat, atau diminta membantu mencari uang oleh orang tuanya, seperti bekerja di sawah dan ladang, terutama pada masa panen.
- Perasaan malu untuk bersekolah kembali setelah lama tidak bersekolah juga menjadi hambatan penting yang mendorong kejadian putus sekolah. Setelah selesai masa panen misalnya, mereka malu masuk sekolah kembali karena telah lama membolos. Selain itu, situasi dimana anak sudah mengerti uang dan bisa menghasilkan uang sendiri juga mendorong mereka untuk malas bersekolah.
Peran Berbagai Aktor dalam Mendorong dan Menghambat Anak Bersekolah
- Perangkat desa, terutama kepala desa memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan kepesertaan masyarakat terhadap pendidikan. Cara yang dilakukan para aparat desa tersebut sangat beragam, mulai hanya sekedar sosialisasi atau penyuluhan yang dilaksanakan pada berbagai forum desa, hingga membentuk atau menginisiasi terbentuknya unit kegiatan belajar/mengajar dan pembentukan paguyuban yang mencurahkan perhatian terhadap masalah pendidikan di desa tersebut.
- Sosialisasi atau penyuluhan merupakan upaya standar yang dilakukan, meski dampaknya berbeda-beda tergantung bagaimana upaya yang dilakukan oleh kepala desa untuk meyakinkan masyarakat akan pentingnya pendidikan. Di desa yang kepala desanya kurang menaruh perhatian terhadap pendidikan, peran ketua RT/RW atau tokoh pendidikan menjadi penting. Misalnya, pada tokoh pendidikan, dengan memanfaatkan lembaga pendidikan yang ia miliki, seperti playgroup atau pengajian, orang tua siswa diberikan pemahaman terus-menerus mengenai pentingnya pendidikan.
- Lingkungan bertetangga dapat mendorong atau menghambat kepesertaan seseorang di dalam pendidikan. Lingkungan bertetangga ini dapat mempengaruhi terutama karena karakteristiknya yang masih memiliki pertalian darah di antara para tetangga, ataupun ikatan kekeluargaan yang erat di antara tetangg Permasalahan seperti kesulitan dalam membayar sekolah dapat diatasi dengan berhutang kepada tetangga, ataupun memberi teguran kepada tetangga yang anaknya tidak sekolah.
- Pengaruh teman sebaya juga menjadi faktor penghambat dalam menyekolahkan anak. Berdasar penuturan beberapa orang tua, anaknya putus sekolah bukan karena alasan ketidakmampuan membayar, namun karena pengaruh temannya yang membuat anaknya malas bersekolah dan senang bermain. Adanya penyewaan playstation juga menjadi pemicu malasnya anak bersekolah dan lebih senang bermain.
- Tingkat kepedulian orang tua juga merupakan faktor yang mempengaruhi kepesertaan anak di sekolah. Anak kurang diperhatikan karena orang tuanya sibuk bekerja, sehingga kurang memiliki waktu untuk memperhatikan perkembangan pendidikan anak-anak mereka. Kurangnya perhatian tersebut membuat anak memiliki motivasi yang rendah untuk bersekolah. Banyak orang tua dari masyarakat miskin lebih mendidik anaknya untuk mencari uang dibandingkan bersekolah, seperti dengan mengajaknya membantu di ladang sehingga sering membolos sekolah, ataupun menjadi TKI.
- Konflik dalam rumah tangga juga mengakibatkan pendidikan anak terganggu. Pada beberapa temuan, konflik seperti perceraian, bapak yang sering berprilaku kasar, mabuk-mabukan atau berjudi, memiliki istri lebih dari satu menyebabkan pendidikan anak menjadi terbengkalai.
- Dorongan pihak sekolah hanya dilakukan kepada orang tua yang bersekolah saja. Dorongan ini hanya sebatas himbauan pada saat digelar pertemuan antara sekolah dengan wali murid. Meski demkian, ada guru-guru yang memang mencurahkan perhatian yang lebih kepada anak muridnya dengan datang ke rumah orang tuanya. Namun, efektifitas penyuluhan ini pada akhirnya sangat tergantung pada situasi ekonomi orang tua murid, dan sekolah ataupun guru tidak dapat berbuat banyak mengatasi masalah ini.
Kemampuan dalam Membayar Layanan
- Dengan indeks daya beli yang rendah dan sumber pendapatan yang tidak menentu dan memadai, masyarakat miskin di desa-desa tersebut memiliki permasalahan ekonomi yang sangat mempengaruhi kepesertaan anak mereka di sekolah. Dengan pendapatan yang demikian, mereka masih harus mengeluarkan uang sekolah. Mayoritas sekolah negeri memang tidak membebankan uang pendaftaran dan iuran perbulan, meski pada beberapa sekolah tetap memungutnya. Sedangkan sekolah swasta, mayoritas masih tetap memberlakukan pungutan kepada orang tua murid.
- Pengeluaran utama masyarakat terdapat pada biaya pembelian perlangkapan sekolah, uang jajan, iuran sekolah dan transportasi. Perlengkapan sekolah seperti seragam, tas, buku, sepatu alat tulis dan lainnya dianggap berat karena jumlah nominalnya yang besar dan tidak bisa d Pengeluaran untuk uang jajan dianggap berat terutama karena sifatnya yang harus ada setiap hari, meski jumlahnya kecil. Sedangkan iuran sekolah, memberatkan karena selain nominalnya yang besar, terkadang jenis iuran ini dibebankan mendadak dan tidak dapat dicicil.
- Keputusan untuk membiayai sekolah pada lingkup rumah tangga adalah ajang pertarungan antara keinginan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan kebutuhan untuk bersekolah. Pada kenyataannya, rumah tangga yang dapat memenuhi kebutuhan untuk bersekolah mengorbankan kualitas pemenuhan kebutuhan pokoknya, terutama makan sehari-hari, dan rumah tangga yang tidak menyekolahkan anaknya beralasan mereka tidak memiliki kemampuan sama sekali, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
- Meski mereka dapat bersekolah dengan mengorbankan kebutuhan pangan, banyak dari anak-anak tersebut yang kekurangan gizi sehingga perkembangan mereka di sekolah terhambat. Alih-alih mempertahankan kepesertaan mereka di sekolah dengan mengurangi kebutuhan pangan, mereka secara terpaksa harus mengeluarkan anak mereka dari sekolah karena tidak bisa mengikuti pelajaran (menganggap anaknya bodoh) dan sering sakit-sakitan.
- Cara pemerintah daerah hanya mengandalkan BOS untuk menjamin pembebasan biaya pendidikan tidak efektik. Pada pelaksanananya, meski telah dianggarkan dengan jumlah yang sangat besar, tetap saja masih ada sekolah yang memungut uang dari peserta didik dengan berbagai tujuan dan alasan, terutama kecilnya dana yang didapatkan sekolah.
- Hal ini menyebabkan pada akhirnya, tingginya pungutan sekolah kepada murid menjadi sebuah keniscayaan. Kesimpulan ini diperkuat dengan fenomena berkembangpesatnya sekolah swasta, baik pada jenjang SMP maupun SD sederajat dibandingkan dengan sekolah negeri, yang secara konstitusi masih diperkenankan untuk memungut iuran kepada murid, dan adanya upaya untuk lebih mendorong partisipasi orang tua membayar biaya pendidikan.
- Mengenai upaya untuk menjamin keseluruhan masyarakat miskin terbebas dari segala biaya pendidikan, misalnya melalui pemberian beasiswa atau bantuan perlengkapan sekolah dan bantuan uang transportasi, penerapannya masih buruk. Buruknya penerapan upaya tersebut karena (1) tidak adanya tolok ukur yang jelas mengenai siapa yang dibantu, apa saja yang dibantu, dengan apa mereka dibantu dan bagaimana cara mereka di bantu; (2) tidak adanya porsi anggaran yang cukup dialokasikan untuk memberi bantuan kepada mereka; (3) tidak adanya ketegasan untuk memberi sanksi kepada sekolah yang tetap memberlakukan pungutan kepada murid dari keluarga miskin; (4) pengelolaan bantuan yang telah ada pun buruk.
Penyedia Layanan dan Hambatan yang Mereka Lakukan
- Hambatan utama yang dilakukan oleh penyedia layanan adalah hambatan dengan memberlakukan iuran/pungutan. Ada sekolah yang tetap membebankan uang bangunan dan iuran bulanan, iuran ujian semester, ujian akhir sekolah, uang semesteran/THB, uang seragam, batik, baju olah raga, biaya pr Jumlahnya berbeda-beda di tiap sekolah, dimana banyak dari pengeluaran ini yang bersifat mendadak, jumlahnya besar, dan tidak bisa dicicil. Konsekuensi apabila tidak membayar, mereka tidak dapat mengikuti ujian, tidak mendapatkan ijasah, baju seragam dan lainnya sesuai peruntukannya.
- Besarnya beban tersebut membuat banyak masyarakat yang putus sekolah, ragu-ragu untuk menyekolahkan, ataupun depresi karena tidak dapat membayar dan tekanan atau ancaman yang dilakukan oleh guru kepada murid yang tidak bisa membayar, dan menjadi bahan olokan teman- teman. Tekanan atau ancaman ini pada beberapa kasus membuat si anak menjadi takut untuk bersekolah kembali.
- Terbatasnya jumlah bantuan perlengkapan sekolah (buku pelajaran/LKS, tas, sepatu, dll) yang diterima membuat sekolah kesulitan dalam menentukan siapa yang berhak menerima. Pemberlakuan aturan siswa miskin dan berprestasi saja yang mendapatkan, membagi 1 buku untuk digunakan 2 murid, diundi untuk menentukan siapa yang berhak, atau menitipkannya kepada tukang fotokopi dan siswa di minta membeli fotokopiannya merupakan beberapa cara yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut.
Ketersediaan Sekolah dan Bagaimana Masyarakat Menjangkaunya
- Jumlah SD di tiap desa yang diteliti memang telah mencukupi, meski kualitasnya masih memprihatinkan. Sedangkan pada tingkat SMP, jumlah sekolah masih kurang mencukupi dan kualitas juga kurang baik. Banyak sekolah yang masih menumpang bangunan dengan sekolah lain, ruang kelas kecil dan rusak dengan jumlah murid sangat banyak sehingga lebih besar dibanding kapasitas ruang yang seharusnya.
- Permasalahan utama penyediaan sarana dan prasarana pendidikan adalah persebaran yang tidak merata. Sekolah banyak berlokasi di daerah yang padat penduduknya dan akses jalan yang memadai sehingga daerah yang jauh dari pusat kegiatan desa, ketersediaan sarana pendidikan masih menjadi masalah.
- Mereka juga harus mengeluarkan uang untuk biaya transportasi dengan jumlah yang cukup besar. Rentang pengeluaran untuk biaya ini adalah 6.000-10.000 rupiah perhari, dengan memanfaatkan jasa ojeg, atau andong. Untuk menyiasati pengeluaran yang besar tersebut, mereka harus berjalan kaki. Berjalan kaki pun juga tidak banyak memecahkan masalah karena mereka juga dibebankan dengan pengeluaran pembelian sepatu yang cepat rusak.
Silahkan membaca di sini. (Jika mau mendapatkan softcopy-nya, silahkan mengajukan permintaan ke inisiatif@inisiatif.org).
DAFTAR ISI
Rangkuman Eksekutif
BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penelitian
1.3 Metode Penelitian
1.4 Teknik Analisa Data
1.5 Struktur Laporan
BAB 2 Pendidikan Dasar di Kabupaten Bandung : Gambaran Umum Kebijakan dan Anggaran
2.1 Akses terhadap Pendidikan Dasar dalam Konteks Kebijakan
2.1.1 Konteks Kebijakan Pendidikan Dasar di Tingkat Nasional
2.1.2 Pendidikan Dasar di Kabupaten Bandung : Kebijakan dan Upaya Peningkatan Akses
2.2 Gambaran Umum Belanja Sektor Pendidikan Dasar di Kabupaten Bandung
2.2.1 Alokasi Anggaran Pendidikan Kabupaten Bandung
2.2.2 Struktur Belanja Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun
2.2.3 Belanja Peningkatan Akses
2.2.4 Pembiayaan Pendidikan : Alokasi Bantuan Biaya Personal
BAB III Kinerja Pendidikan : Situasi Terkini Pencapaian Peningkatan Akses terhadap Pendidikan Dasar di Kabupaten Bandung
3.1 Input Pendidikan : Ketersediaan Sarana dan Prasarana, Anggaran dan Sebaran Pemanfaatannya.
3.2 Analisis Output : Pencapaian Angka-Angka dalam Upaya Peningkatan dan Pemerataan Akses
BAB IV Hambatan Akses : Realitas Penyelenggaraan Pendidikan Dasar di Kabupaten Bandung
4.1 Kesadaran Masyarakat terhadap Pendidikan : Nilai-Nilai dan Persepsi yang Melatarbelakanginya
4.2 Peran Berbagai Aktor dalam Mendorong dan Menghambat Anak Bersekolah
4.3 Kemampuan dalam Membayar Layanan
4.4 Penyedia Layanan dan Hambatan yang Mereka Lakukan
4.5 Ketersediaan Sekolah dan Bagaimana Masyarakat Menjangkaunya
BAB V Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran