Sebagaimana anggaran kesehatan, Local Budget Study (LBS) juga meneliti alokasi anggaran pendidikan di daerah. Bagaimana potret hasil riset yang dilakukan gabungan organisasi kemasyarakatan dan LSM tersebut? Berikut paparan hasil studi yang dirangkum peneliti The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) Nur Hidayat.
SEJAK dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-IV/2007 pada 20 Februari 2007, gaji pendidik dapat dihitung sebagai bagian dari anggaran pendidikan. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari amar putusan MK yang menyatakan bahwa pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan …” bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan masuknya gaji pendidik tersebut, hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa semua kabupaten/kota yang diteliti tim LBS telah mengalokasikan lebih dari 20 persen anggaran pendidikan dalam APBD 2007-2009. Ketujuh daerah tersebut adalah Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, Kabupaten Bojonegoro, Kota Surabaya, dan Kota Blitar.
Jika dihitung dari belanja urusan pendidikan, sebenarnya Kota Surabaya baru mengalokasikan anggaran 18,66 persen (2009) dari total APBD. Dua tahun sebelumnya, alokasi belanja urusan pendidikan Kota Pahlawan ini mencapai 19,19 persen (2007) dan 19,04 persen (2008). Meski persentase anggarannya paling kecil, Kota Surabaya justru mencatat nominal anggaran pendidikan terbesar senilai Rp 752,09 miliar (2009). Sementara itu, pada tahun yang sama, Kota Blitar mencatat nilai nominal terkecil (Rp 104,09 miliar) meski rasionya di atas 25 persen.
Angka tersebut hanya dihitung dari alokasi anggaran yang dikelola dinas pendidikan tiap-tiap kabupaten/kota. Jika ditambah alokasi belanja bantuan hibah/bantuan sosial, Kota Surabaya dipastikan sudah melampaui batas minimal 20 persen. Pasalnya, kota metropolis ini juga mengalokasikan belanja hibah kepada sekolah swasta Rp 202 miliar.
Ironisnya, belanja urusan pendidikan dalam APBD Jawa Timur selama 2007-2009 justru masih di bawah empat persen. Persentase tersebut hanya setara dengan seperlima dari anggaran yang seharusnya dialokasikan sesuai dengan amanat konstitusi. Yang lebih memprihatinkan, nominal anggaran pendidikan yang dikelola dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi ini justru masih kalah besar bila dibandingkan dengan Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Situbondo.
Sebagaimana tampak dalam tabel, alokasi anggaran pendidikan di daerah kabupaten telah mencapai lebih dari 30 persen. Persentase terendah ditemukan pada belanja urusan pendidikan Kabupaten Bojonegoro sebesar 32,60 persen (2007). Pada 2009, alokasi belanja urusan pendidikan daerah penghasil minyak ini mengalami kenaikan sekitar 1,25 persen dibandingkan 2007, menjadi 33,85 persen. Sedangkan alokasi belanja urusan pendidikan di Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Situbondo pada 2009 bahkan berada pada kisaran 39-41 persen.
Sementara itu, tren peningkatan alokasi belanja pendidikan dalam APBD 2007-2009 ditemukan di Kota Blitar, Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Situbondo. Sedangkan tren fluktuasi anggaran dapat ditemukan di Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Bondowoso, dan Provinsi Jawa Timur.
Di sisi lain, Kota Surabaya malah mengalami penurunan belanja urusan pendidikan pada 2007-2009. Bisa jadi, penurunan tersebut terkait dengan meningkatnya belanja hibah di pos belanja sekretariat daerah. Sesuai pasal 49 ayat (3) dan (4) UU Sisdiknas, dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan memang diberikan dalam bentuk hibah.
Di satu sisi, kita patut mengapresiasi fakta bahwa daerah telah mengalokasikan anggaran pendidikan lebih dari 20 persen sesuai dengan amanat konstitusi. Namun, di sisi lain, porsi belanja pegawai (baca: gaji pendidik) yang menyerap mayoritas anggaran membuat efektivitas program pelayanan pendidikan di daerah patut dipertanyakan.
Salah satu indikasinya, hasil studi yang dilaksanakan Lakpesdam NU, Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jatim, Pattiro, Fitra, dan Perkumpulan Inisiatif ini menunjukkan bahwa porsi belanja langsung pendidikan hanya 32,83 persen (Kota Surabaya). Porsi belanja langsung terkecil senilai 9,56 persen belanja urusan pendidikan ditemukan di Kabupaten Bojonegoro.
Dengan gambaran semacam itu, tampak jelas bahwa putusan MK Nomor 24/PUU-IV/2007 yang memasukkan gaji pendidik ke dalam perhitungan anggaran pendidikan telah membuat amanat konstitusi menjadi muspro alias sia-sia. Pasalnya, pada tataran implementasi, putusan itu ternyata tidak berdampak positif bagi upaya peningkatan anggaran di daerah. (hidayat/jpip/c2)
Sumber : Selasa, 27 April 2010, http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=130682 (akses 28/04/2010 10:01:07 WIB)