Pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2014 lalu telah melahirkan rezim baru di negeri ini. Kemenangan PDIP dan terpilihnya pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla diiringi dengan tumbuhnya ekspektasi tinggi dari sebagian kalangan bahwa rezim baru ini akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang lebih pro rakyat. Ekspektasi ini tentu sangat beralasan mengingat PDIP selama ini mendeklarasikan diri sebagai partainya “Wong Cilik” dan gaya “blusukan” Jokowi ketika memimpin Solo dan Jakarta yang membuatnya demikian populer di mata rakyat.
Apa yang terjadi selanjutnya malah seakan jauh dari ekspektasi di atas. Lahirnya UU pilkada tidak langsung memperlihatkan bahwa parlemen tidak berpihak pada pengakuan hak politik rakyat akar rumput untuk menentukan pilihan pemimpin daerah yang dikehendakinya. Diterbitkannya Perppu tentang pilkada oleh SBY yang menekankan pilkada langsung dengan sejumlah perbaikan hingga saat ini belum dibahas dengan DPR dan ditetapkan oleh pemerintah. Padahal tahun 2015 ini terdapat banyak kepala daerah yang akan habis masa jabatannya.
Beberapa kebijakan dan tindakan pemerintah yang diterbitkan pada awal masa pemerintahan Jokowi-JK pun luput dari kontroversi. Peluncuran program Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sejahtera menuai banyak kritik mengingat program ini tidak berdasar hukum dan menduplikasi program sejenis yang sudah ada sebelumnya.
Kontroversi juga mewarnai kebijakan kenaikan harga BBM di akhir tahun 2013. Meskipun harga BBM diturunkan kembali pada awal tahun 2015 tetapi tidak diikuti penurunan harga barang pokok dan tarif angkutan umum yang sudah terlanjur naik. Demikian halnya dengan kenaikan harga LPG yang dinilai memberatkan rakyat. Di sisi lain, aparat keamanan juga terlihat kembali represif dan agitatif terhadap inisiatif gerakan rakyat.
Apa benar rezim pemerintah yang sekarang tidak merakyat? Untuk mengetahui kebijakan dan tindakan yang akan dilakukan pemerintah ke depan setidaknya bisa dilihat dalam rancangan RPJMN 2015-2019. Dalam dokumen rancangan RPJMN tersebut disebutkan bahwa terdapat 3 masalah pokok bangsa yang ingin diselesaikan oleh pemerintah dalam 5 tahun ke depan. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa, “Pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional, bangsa Indonesia dihadapkan pada tiga masalah pokok bangsa, yakni (1) merosotnya kewibawaan negara, (2) melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional, dan (3) merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa” (Buku I Rancangan RPJMN 2015-2019: 10).
Pada dokumen tersebut diuraikan bahwa upaya pemerintah untuk merespon 3 masalah pokok bangsa tersebut dihadapkan pada berbagai tantangan. Dalam rangka meningkatkan wibawa negara dihadapkan pada tantangan yang dapat dikelompokkan atas peningkatan stabilitas dan keamanan negara, pembangunan tata kelola untuk menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien, serta pemberantasan korupsi. Selain itu, dalam rangka memperkuat sendi perekonomian bangsa dihadapkan pada tantangan yang mencakup upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, percepatan pemerataan dan keadilan, dan keberlanjutan pembangunan. Sementara itu, dalam rangka memperbaiki krisis kepribadian bangsa termasuk intoleransi dihadapkan pada tantangan utama yang mencakup peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pengurangan kesenjangan antar wilayah, dan percepatan pembangunan kelautan. (Buku I Rancangan RPJMN 2015-2019: 11-19)
Tiga masalah pokok bangsa beserta tantangan-tantangannya akan diselesaikan oleh rezim pemerintah sekarang melalui visi TRISAKTI[1]. Visi ini lebih lanjut diuraikan dalam sembilan agenda prioritas pembangunan (NAWACITA[2]) dan sasaran pokok pembangunan pada Sembilan Sektor Pembangunan[3].
Jika dicermati lebih dalam arah kebijakan pembangunan ekonomi ke depan, pembangunan ekonomi di Indonesia tampaknya masih tersandera oleh paradigma dan kebijakan ekonomi yang menitikberatkan pada mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dan investasi skala besar. Di sisi lain, rakyat hanya ditempatkan potensi pasar tenaga kerja yang baik. Sebagai contoh, dalam dokumen tersebut diuraikan bahwa untuk menghilangkan kesenjangan pembangunan yang mampu meningkatkan standar hidup penduduk 40% terbawah dan memastikan bahwa penduduk miskin memperoleh perlindungan sosial di antaranya dengan menciptakan pertumbuhan inklusif dengan memaksimalkan potensi ekonomi dan menyertakan sebanyak-banyaknya angkatan kerja dalam pasar tenaga kerja yang baik (decent work), dan ramah keluarga miskin serta memperbesar investasi padat pekerja dengan investasi baru untuk menyerap kesempatan kerja seluas-luasnya (Buku I Rancangan RPJMN 2015-2019: 17-18).
Sementara itu, arah kebijakan pembangunan ekonomi perdesaan akan dijalankan melalui pengembangan sektor pertanian dengan mendorong penyediaan akses produksi petani. Akses produksi yang dimaksud di antaranya berupa penyediaan sarana dan prasarana perekonomian di daerah pedesaan, akses kredit dan jasa keuangan bagi pelaku ekonomi di pedesaan dan sumber permodalan lainnya serta pemanfaatan riset dan teknologi pertanian. Sementara itu, upaya penyediaan aset produksi petani akan dijalankan dengan penyediaan sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan melakukan redistribusi tanah dan legalisasi aset dan pemberian hak milik atas tanah yang meliputi redistribusi tanah dan legalisasi aset sebanyak 9 juta ha.
Sementara itu jika dicermati lebih dalam Buku III Rancangan RPJMN, kesan MP3EI masih sangat kuat sebagai dasar kebijakan pembangunan kewilayahan. Istilah-istilah koridor pembangunan dan jenis-jenis proyek infrastruktur yang akan dibangun di setiap koridor wilayah masih tampak sama seperti yang tertuang dalam dokumen MP3EI.
Oleh karenanya rezim pemerintah saat ini tampaknya akan sama dengan rezim sebelumnya dalam menjalankan agenda pembangunan ekonomi. Pemerintah masih lebih sigap menyediakan infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan korporat besar, termasuk giat mengembangkan basis-basis produksi berskala besar, ketimbang secara konsisten menerapkan agenda-agenda demokratisasi ekonomi sesuai amanat konstitusi pasal 33 UUD 1945. Suatu amanat yang tegas bahwa negara melalui pemerintahan memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk mengarahkan seluruh kegiatan ekonomi bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama rakyat Indonesia.
Merujuk pada uraian di atas, terdapat beberapa isu strategis yang harus disikapi oleh Perkumpulan INISIATIF sebagai organisasi yang konsisten memperjuangkan nasib rakyat miskin dan marjinal. Isu-isu strategis tersebut di antaranya: Pertama, perlawanan atas praktek liberalisasi ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Indonesia tampaknya masih belum bisa terhindar dari kumparan sistem ekonomi kapitalis global.
Kedua, perlawanan atas rezim penguasa yang populer. Harus diakui bahwa rezim pemerintah saat ini merupakan rezim yang cukup populer di mata khalayak. Setiap bentuk perlawanan terhadap kebijakan apapun yang dibuat oleh rezim ini akan berpotensi mendapatkan antipati dari rakyat, apalagi dari rakyat yang menjadi pendukungnya. Untuk itu diperlukan strategi perlawanan yang tepat untuk mengimbangi popularitas yang dimilikinya.
Ketiga, krisis kepemimpinan nasional yang berasal dari aktivis gerakan rakyat. Krisis kepemimpinan yang dimaksud baik dalam bentuk kepemimpinan “orang” maupun “gagasan”. Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa sekian banyak aktivis gerakan rakyat yang menduduki jabatan di pemerintahan dan parlemen tidak berhasil memproduksi berbagai kebijakan dan tindakan yang menguntungkan rakyat. Mereka seolah-olah tenggelam olah pusaran para oportunis di parlemen dan aparatur pemerintah. Demikian hal pada aspek gagasan. Gagasan dan praktek genuine yang pro rakyat seakan tenggelam oleh gagasan-gagasan global yang mengatasnamakan pembelaan atas hak rakyat miskin dan marjinal.
[1] “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”
[2] Sembian agenda prioritas pembangunan yang disebut NAWACITA adalah: 1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga Negara; 2) Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya; 3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; 4) Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; 5) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; 6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; 7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik; 8) Melakukan revolusi karakter bangsa; dan 9) Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia; (Buku I Rancangan RPJMN 2015-2019: 67-68)
[3] Sembilan Sektor Pembangunan yang disasar dalam RPJMN 2015-2019 adalah: 1) Ekonomi (Makro Ekonomi, Ketahanan Pangan, Ketahanan Energi, Ketahanan Air, Infrastruktur Dasar dan Konektivitas); 2) Lingkungan; 3) Politik; 4) Penegakan Hukum; 5) Tata Kelola dan Reformasi Birokrasi; 6) Pertahanan dan Keamanan; 7) Kesejahteraan Rakyat (Kependudukan dan KB, Pendidikan, Kesehatan); 8) Pembangunan Kewilayahan; dan 9) Pengembangan Ekonomi Maritim dan Kelautan. (Buku I Rancangan RPJMN 2015-2019: 69-72)
Pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2014 lalu telah melahirkan rezim baru di negeri ini. Kemenangan PDIP dan terpilihnya pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla diiringi dengan tumbuhnya ekspektasi tinggi dari sebagian kalangan bahwa rezim baru ini akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang lebih pro rakyat. Ekspektasi ini tentu sangat beralasan mengingat PDIP selama ini mendeklarasikan diri sebagai partainya “Wong Cilik” dan gaya “blusukan” Jokowi ketika memimpin Solo dan Jakarta yang membuatnya demikian populer di mata rakyat.
Apa yang terjadi selanjutnya malah seakan jauh dari ekspektasi di atas. Lahirnya UU pilkada tidak langsung memperlihatkan bahwa parlemen tidak berpihak pada pengakuan hak politik rakyat akar rumput untuk menentukan pilihan pemimpin daerah yang dikehendakinya. Diterbitkannya Perppu tentang pilkada oleh SBY yang menekankan pilkada langsung dengan sejumlah perbaikan hingga saat ini belum dibahas dengan DPR dan ditetapkan oleh pemerintah. Padahal tahun 2015 ini terdapat banyak kepala daerah yang akan habis masa jabatannya.
Beberapa kebijakan dan tindakan pemerintah yang diterbitkan pada awal masa pemerintahan Jokowi-JK pun luput dari kontroversi. Peluncuran program Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sejahtera menuai banyak kritik mengingat program ini tidak berdasar hukum dan menduplikasi program sejenis yang sudah ada sebelumnya.
Kontroversi juga mewarnai kebijakan kenaikan harga BBM di akhir tahun 2013. Meskipun harga BBM diturunkan kembali pada awal tahun 2015 tetapi tidak diikuti penurunan harga barang pokok dan tarif angkutan umum yang sudah terlanjur naik. Demikian halnya dengan kenaikan harga LPG yang dinilai memberatkan rakyat. Di sisi lain, aparat keamanan juga terlihat kembali represif dan agitatif terhadap inisiatif gerakan rakyat.
Apa benar rezim pemerintah yang sekarang tidak merakyat? Untuk mengetahui kebijakan dan tindakan yang akan dilakukan pemerintah ke depan setidaknya bisa dilihat dalam rancangan RPJMN 2015-2019. Dalam dokumen rancangan RPJMN tersebut disebutkan bahwa terdapat 3 masalah pokok bangsa yang ingin diselesaikan oleh pemerintah dalam 5 tahun ke depan. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa, “Pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional, bangsa Indonesia dihadapkan pada tiga masalah pokok bangsa, yakni (1) merosotnya kewibawaan negara, (2) melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional, dan (3) merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa” (Buku I Rancangan RPJMN 2015-2019: 10).
Pada dokumen tersebut diuraikan bahwa upaya pemerintah untuk merespon 3 masalah pokok bangsa tersebut dihadapkan pada berbagai tantangan. Dalam rangka meningkatkan wibawa negara dihadapkan pada tantangan yang dapat dikelompokkan atas peningkatan stabilitas dan keamanan negara, pembangunan tata kelola untuk menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien, serta pemberantasan korupsi. Selain itu, dalam rangka memperkuat sendi perekonomian bangsa dihadapkan pada tantangan yang mencakup upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, percepatan pemerataan dan keadilan, dan keberlanjutan pembangunan. Sementara itu, dalam rangka memperbaiki krisis kepribadian bangsa termasuk intoleransi dihadapkan pada tantangan utama yang mencakup peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pengurangan kesenjangan antar wilayah, dan percepatan pembangunan kelautan. (Buku I Rancangan RPJMN 2015-2019: 11-19)
Tiga masalah pokok bangsa beserta tantangan-tantangannya akan diselesaikan oleh rezim pemerintah sekarang melalui visi TRISAKTI[1]. Visi ini lebih lanjut diuraikan dalam sembilan agenda prioritas pembangunan (NAWACITA[2]) dan sasaran pokok pembangunan pada Sembilan Sektor Pembangunan[3].
Jika dicermati lebih dalam arah kebijakan pembangunan ekonomi ke depan, pembangunan ekonomi di Indonesia tampaknya masih tersandera oleh paradigma dan kebijakan ekonomi yang menitikberatkan pada mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dan investasi skala besar. Di sisi lain, rakyat hanya ditempatkan potensi pasar tenaga kerja yang baik. Sebagai contoh, dalam dokumen tersebut diuraikan bahwa untuk menghilangkan kesenjangan pembangunan yang mampu meningkatkan standar hidup penduduk 40% terbawah dan memastikan bahwa penduduk miskin memperoleh perlindungan sosial di antaranya dengan menciptakan pertumbuhan inklusif dengan memaksimalkan potensi ekonomi dan menyertakan sebanyak-banyaknya angkatan kerja dalam pasar tenaga kerja yang baik (decent work), dan ramah keluarga miskin serta memperbesar investasi padat pekerja dengan investasi baru untuk menyerap kesempatan kerja seluas-luasnya (Buku I Rancangan RPJMN 2015-2019: 17-18).
Sementara itu, arah kebijakan pembangunan ekonomi perdesaan akan dijalankan melalui pengembangan sektor pertanian dengan mendorong penyediaan akses produksi petani. Akses produksi yang dimaksud di antaranya berupa penyediaan sarana dan prasarana perekonomian di daerah pedesaan, akses kredit dan jasa keuangan bagi pelaku ekonomi di pedesaan dan sumber permodalan lainnya serta pemanfaatan riset dan teknologi pertanian. Sementara itu, upaya penyediaan aset produksi petani akan dijalankan dengan penyediaan sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan melakukan redistribusi tanah dan legalisasi aset dan pemberian hak milik atas tanah yang meliputi redistribusi tanah dan legalisasi aset sebanyak 9 juta ha.
Sementara itu jika dicermati lebih dalam Buku III Rancangan RPJMN, kesan MP3EI masih sangat kuat sebagai dasar kebijakan pembangunan kewilayahan. Istilah-istilah koridor pembangunan dan jenis-jenis proyek infrastruktur yang akan dibangun di setiap koridor wilayah masih tampak sama seperti yang tertuang dalam dokumen MP3EI.
Oleh karenanya rezim pemerintah saat ini tampaknya akan sama dengan rezim sebelumnya dalam menjalankan agenda pembangunan ekonomi. Pemerintah masih lebih sigap menyediakan infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan korporat besar, termasuk giat mengembangkan basis-basis produksi berskala besar, ketimbang secara konsisten menerapkan agenda-agenda demokratisasi ekonomi sesuai amanat konstitusi pasal 33 UUD 1945. Suatu amanat yang tegas bahwa negara melalui pemerintahan memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk mengarahkan seluruh kegiatan ekonomi bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama rakyat Indonesia.
Merujuk pada uraian di atas, terdapat beberapa isu strategis yang harus disikapi oleh Perkumpulan INISIATIF sebagai organisasi yang konsisten memperjuangkan nasib rakyat miskin dan marjinal. Isu-isu strategis tersebut di antaranya: Pertama, perlawanan atas praktek liberalisasi ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Indonesia tampaknya masih belum bisa terhindar dari kumparan sistem ekonomi kapitalis global.
Kedua, perlawanan atas rezim penguasa yang populer. Harus diakui bahwa rezim pemerintah saat ini merupakan rezim yang cukup populer di mata khalayak. Setiap bentuk perlawanan terhadap kebijakan apapun yang dibuat oleh rezim ini akan berpotensi mendapatkan antipati dari rakyat, apalagi dari rakyat yang menjadi pendukungnya. Untuk itu diperlukan strategi perlawanan yang tepat untuk mengimbangi popularitas yang dimilikinya.
Ketiga, krisis kepemimpinan nasional yang berasal dari aktivis gerakan rakyat. Krisis kepemimpinan yang dimaksud baik dalam bentuk kepemimpinan “orang” maupun “gagasan”. Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa sekian banyak aktivis gerakan rakyat yang menduduki jabatan di pemerintahan dan parlemen tidak berhasil memproduksi berbagai kebijakan dan tindakan yang menguntungkan rakyat. Mereka seolah-olah tenggelam olah pusaran para oportunis di parlemen dan aparatur pemerintah. Demikian hal pada aspek gagasan. Gagasan dan praktek genuine yang pro rakyat seakan tenggelam oleh gagasan-gagasan global yang mengatasnamakan pembelaan atas hak rakyat miskin dan marjinal.
[1] “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”
[2] Sembian agenda prioritas pembangunan yang disebut NAWACITA adalah: 1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga Negara; 2) Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya; 3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; 4) Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; 5) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; 6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; 7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik; 8) Melakukan revolusi karakter bangsa; dan 9) Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia; (Buku I Rancangan RPJMN 2015-2019: 67-68)
[3] Sembilan Sektor Pembangunan yang disasar dalam RPJMN 2015-2019 adalah: 1) Ekonomi (Makro Ekonomi, Ketahanan Pangan, Ketahanan Energi, Ketahanan Air, Infrastruktur Dasar dan Konektivitas); 2) Lingkungan; 3) Politik; 4) Penegakan Hukum; 5) Tata Kelola dan Reformasi Birokrasi; 6) Pertahanan dan Keamanan; 7) Kesejahteraan Rakyat (Kependudukan dan KB, Pendidikan, Kesehatan); 8) Pembangunan Kewilayahan; dan 9) Pengembangan Ekonomi Maritim dan Kelautan. (Buku I Rancangan RPJMN 2015-2019: 69-72)