Sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di tahun 2010 tuntutan pembentukan lembaga pelaksana UU ini banyak disuarakan oleh organisasi masyarakat sipil dan masyarakat umum. Ada 2 lembaga yang penting dibentuk untuk menjamin pemenuhan hak atas informasi melalui undang-undang ini, yaitu Komisi Informasi dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi.
Di Indonesia Komisi Informasi yang menjadi amanat UU, yaitu Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Provinsi telah ada di hampir seluruh provinsi, yaitu sebanyak 26 provinsi, termasuk 2 yang terakhir. Terakhir yang terbentuk adalah Komisi Informasi Sumatera Barat dan Kalimantan Barat. Di Jawa Barat sendiri, selain Komisi Informasi provinsi juga telah terbentuk Komisi Informasi Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon. Komisi Informasi adalah lembaga independen yang menyelesaikan sengketa informasi publik terkait hak mengakses dan menggunakan informasi yang dikuasai Badan Publik.
Permasalahan Komisi Informasi yang mengganjal hingga saat ini adalah kemandirian sekretariat. Berbeda dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jabar yang sekretariatnya mempunyai nomenklatur tersendiri setara dengan Organisasi Perangkat Daerah, KI Jabar sekretariatnya dilekatkan pada Dinas Komunikasi dan Informatika Jabar.
Jabatan sekretaris KI Jabar pun dirangkap oleh Kepala Bidang Sarana Komunikasi Diseminasi Informasi, Diskominfo. Ini tentu saja rentan menimbulkan konflik kepentingan, terutama jika para pihak yang diadili Komisi Informasi Jabar melibatkan pihak Pemprov Jabar.
Di samping lembaga quasi pengadilan sengketa informasi Komisi Informasi, kelembagaan pemenuhan hak atas informasi yang paling penting adalah Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang ada di setiap Badan Publik. Badan Publik sendiri adalah semua lembaga eksekutif, legislative, yudikatif dan badan lain yang tugasnya terkait penyelenggaraan negara yang sebagian/seluruh anggarannya bersumber dari APBD/N atau organisasi non pemerintah yang sebagian/seluruh anggarannya bersumber dari APBD/N, sumbangan masyarakat atau luar negeri. Ke PPID inilah tempat pertama para warga negara pemohon informasi mendapatkan pelayanan pemenuhan hak atas informasi.
Pengukuran kinerja PPID seringkali diukur dari bagaimana menanggapi permintaan informasi publik dari warga negara. Namun hal itu kurang lengkap karena hanya memotret kewajiban passive disclosure dari PPID.
Yang tak kalah penting menjadi kewajiban PPID adalah mengerjakan active disclosure melalui berbagai media, misalnya website dan pengumuman di media massa. Di UU KIP hal ini disebut sebagai kewajiban menyediakan informasi publik secara berkala, setiap saat dan serta merta. Oleh karenanya sangat krusial menempatkan PPID untuk mempunyai kendali isi atas website.
Penyakit mengelola website yang jamak terjadi adalah banyak template web yang telah dibuat namun tidak diisi, diisi dengan informasi yang salah dan tidak mengkinikan informasi yang telah terisi. Usaha inovatif Pemerintah Kota Bandung yang mengumumkan naskah perjanjian hibah dan bantuan sosial melalui web sabilulungan.bandung.go.id masih menderita persoalan update informasi, karena naskah perjanjian yang ditampilkan bukanlah naskah final.
Informasi di naskah draft sulit menjadi pegangan, baik bagi pengaju proposal untuk kepastian besaran dana yang diterima maupun publik yang mau mengetahui seberapa besar dana yang digelontorkan melalui hibah dan bantuan sosial dan siapa saja yang menerimanya.
Usaha progresif Pemerintah Provinsi Jawa Barat menampilkan informasi anggaran dicederai dengan menempatkan informasi yang salah di template tertentu. Di template Transparansi Pengelolaan Anggaran di bagian ringkasan Dokumen Pelaksanaan Anggaran-Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPASKPD) ternyata diisi dengan informasi lampiran APBD. Hal tersebut kurang tepat dan menyesatkan, karena di ringkasan DPA-SKPD terdapat informasi jadwal pencairan dana setiap triwulan.
Berdasarkan pemantauan Direktorat Komunikasi Publik-Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika 1 Juli 2014, tinggal Kabupaten Cianjur, Kabupaten Karawang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Sumedang yang belum menunjuk PPID di lingkungan mereka. Jika Kabupaten Pangandaran dihitung, maka ada satu lagi pemerintah kabupaten yang belum menunjuk PPID. Sedangkan Kabupaten Majalengka terpantau masih mengerjakan draft penunjukkan PPID.
Pemerintah kabupaten terlihat mempunyai komitmen lebih rendah secara nasional dibandingkan kota dan provinsi. Tercatat pemkab yang membentuk PPID hanya 42,11% (total 399 pemkab). Sedangkan pemkot sebanyak 61,22% (total 98) dan pemprov 88,24% (total 34).
Penyakit Keterlambatan dan Perlawanan PPID
Jika dihitung, maka sudah lebih dari 3 tahun pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia. Namun keterlambatan seakan menghantui pelaksanaan Undang-Undang ini yang sebenarnya mengoperasionalkan pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Keterlambatan pembentukan PPID bisa dimaknai sebagai birokrasi kita yang masih nyaman bekerja dalam ruang-ruang gelap yang luput dari pengawasan masyarakat. Keterlambatan sudah dimulai ketika Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 dikeluarkan pada tanggal 23 Agustus 2010. Padahal menurut UU KIP, PP ini harus sudah ditetapkan pada saat pemberlakuan undang-undang, 30 April 2010. Lebih parah lagi peraturan pemerintah ini melegitimasi pengunduran penunjukkan PPID hingga paling lambat 23 Agustus 2011.
Selain keterlambatan pembentukan lembaga yang berkait dengan pemenuhan hak atas informasi, di Jabar berkembang kecenderungan baru berupa perlawanan PPID. Pada tanggal 12 Desember 2013, saat pembentukan forum komunikasi PPID Jawa Barat, Asisten Administrasi Setda Jabar, Iwa Karniwa mengungkapkan rencana uji materi terkait legal standing pemohon informasi. Ia menyoroti kepentingan pemohon mengajukan permintaan informasi.
Jika membaca baik-baik Undang-Undang KIP, maka di sana disebutkan bahwa pemohon informasi harus menyebutkan tujuan mengajukan informasi public. Penyebutan ini diperlukan PPID sebagai bahan mencari tahu apa sebenarnya informasi yang dibutuhkan.
Tidak ada kebutuhan mencari kepentingan pemohon informasi, karena hak atas informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia. Kepentingan pemohon sudah terang, yaitu memperoleh pemenuhan hak atas informasi yang harus disediakan dan dilindungi oleh Negara.
Tantangan kelembagaan pemenuhan hak atas informasi ternyata tidak hanya sekedar pembentukan, tetapi juga komitmen orang yang mengisinya dan pemahamannya atas hak informasi sebagai bagian hak asasi manusia.