Transisi demokrasi di Indonesia telah mengalami gejala pasang surut dengan sedemikian rupa. Sampai dengan sekarang belum pernah ada jawaban yang pasti mengenai arah gerak pasti dan akhir dari transisi demokrasi itu sendiri. Ada sebagian besar pihak yang mengatakan bahwa Negara kita tengah terjebak dalam kondisi transisi demokrasi yang permanen. Namun, dilain pihak dengan ekstrim mengatakan bahwa tidak ada transisi demokrasi di Indonesia sama sekali.
Pertarungan
Secara umum, pihak yang meyakini bahwa transisi demokrasi itu ada memandang bahwa sandungan utama gerakan demokrasi adalah pihak yang anti demokrasi. Dalam konteks demokrasi tersebut, pihak anti demokrasi tersebut adalah pihak yang menghambat terciptanya masyarakat yang sejahtera.
Dalam konteks demikian, batu sandungan tersebut berupa kaum pemodal (baca : kapitalis) yang memasuki ruang-ruang politik. Kaum kapitalis diposisikan sebagai batu sandungan karena, mereka adalah kaum yang mengedepankan pemenuhan kebutuhan individu dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Dalam kontek pertarungan antara kaum prodemokrasi dan anti demokrasi, proses electoral merupakan salah satu medan peperangan untuk mempertaruhkan kepentingan rakyat. Dalam konteks transisi demokrasi, proses electoral tersebut diposisikan sebagai salah satu penentu arah transisi demokrasi tersebut.
Jika kaum prodemokrasi, memenangkan pertarungan pada politik elektoral, maka jalan menuju akhir dari transisi demokrasi tersebut akan semakin dekat. Namun sebaliknya, jika kaum anti demokrasi yang memenangkan pertarungan tersebut, maka jalan menuju akhir transisi demokrasi akan semakin jauh. Pertarungan antara kaum prodemokrasi dengan antidemokrasi menjadi penanda penting bahwa fase transisi demokrasi masih terus berlangsung.
Namun demikian, area politik elektoral bukanlah medan tunggal tarik menarik antara kelompok yang anti demokrasi dengan kelompok demokrasi. Arena lain diluar parlemen, yaitu arena di akar rumput (baca : lokal) juga merupakan medan tempat pertarungan kepentingan itu berlangsung.
Di sudut lain perdebatan tersebut, fakta berkata bahwa proses demokrasi elektoral, diluar kelebihan dan kekurangannya telah berjalan dalam rentetan waktu yang panjang. Tercatat, sejak era reformasi Negara ini telah melaksanakan dua kali proses electoral, yaitu pada tahun 2004, 2009. Dan sebentar lagi kita akan melaksanakan ritual demokrasi electoral ditahun 2014. Dalam konteks perjalanan demokrasi tentu saja ini bukan waktu yang sebentar. Lantas, setelah 2009 dan menjelang 2014, akan dibawa kemana dan akan seperti apa transisi demokrasi di Indonesia tersebut?
Dalam pola pikir demikian, buku berjudul “ Bersatu Membangun Kuasa : Pengembangan Strategu Gerakan Rakyat Pasca Politik Elektoral 2009” diterbitkan oleh Perkumpulan Praxis dan Forum Belajar Bersama (FBB).
Buku tersebut mencoba memberikan potret utuh mengenai proses transisi tersebut. Selain itu, buku tersebut juga berusaha “menebak” bagaimana dinamika transisi demokrasi yang akan terjadi setelah proses electoral ditahun 2009, baik diwilayah elektoralnya itu sendiri atau diluar electoral (baca : akar rumput).
Dua Strategi
Secara umum buku tersebut kedalam tiga bagian. Bagian pertama berisi tentang strategi kaum prodemokrasi dalam mengembangkan gerakan prodemokrasi. Kedua, memotret bagaimana dinamika perjuangan kaum prodemokrasi diakar rumput. Bagian ketiga, memotret perjuangan kaun prodemokrasi secara sektoral, diwilayah Hak Asasi Manusia (HAM).
Pada bagian pertama, dipaparkan mengenai strategi dan taktik kaum prodemokrasi dalam melawan kaum anti demokrasi. Secara umum, sejumlah tulisan dibagian pertama ini mengelaborasi strategi dan taktik dalam memenangkan pertarungan.
Dari berbagai tulisan pada bagian pertama tersebut diketahui bahwa strategi yang dikembangkan terbagi kedalam dua bagian. Pertama yang meyakini bahwa jalur electoral adalah jalur ampuh yang harus direbut jika ingin memperbaiki demokrasi (hal 24-25). Kedua, yang meyakini bahwa jalur electoral bukanlah jalur ampuh untuk menyelesaikantransisi demokrasi, sebab akhir dari transisi demokrasi bukanlah akhir dari perjuangan. Kelompok kedua ini meyakni, bahwa demokrasi itu hanyalah alat belaka. Namun demikian , kelompok ini tidak “mengharamkan” jalur parlemen dengan syarat perspektif yang dibangun bukanlah perspektif menyelesaikan semua melalui parlemen (hal 116-117)
Bagian kedua, buku tersebut mendeskripsikan dinamika dan bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan rakyat diakar rumput. Gerakan rakyat diakar rumput ini dipahami sebagai gerakan komunitas-munitas melawan gerakan pemodal dalam mengakumulasikan modalnya.
Dalam konteks strategi pengembangan gerakan, strategi yang dikembangkan oleh komunitas masyarakat tersebut disebut sebagai gerakan diluar jalur elektoral, atau lebih disering disebut dengan gerakan non parlementer.
Bagian kedua tersebut terdiri dari beberapa tulisan beberapa aktivis dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), berbagai aliansi dan front aksi dan komite aksi yang tersebar dibeberapa daerah simpul gerakan rakyat dari mulai pulau ujung timur dan barat Indonesia.
Dari berbagai tulisan tersebut, diketahui bahwa strategi non parlementer yang dikembangkan terbagi kedalam dua bagian besar. Pertama, adalah strategi structural. Kedua, adalah strategi non struktural atau penulis lebih suka menyebutnya dengan strategi budaya.
Dalam prakteknya, strategi struktural mensyaratkan adanya perubahan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Caranya, berbagai kelompok masyarakat mengorganisasikan dirinya dan mendidik dirinya lalu kemudian membangun argument dan mendesakan argument tersebut untuk disetujui oleh pemegang kebijakan. Strategi kultural ini lazim kita temui pada banyak kasus di berbagai pulau di Indonesia.
Sementara itu, strategi kultural berbeda dengan startegi structural. Pada prakteknya strategi kultural ini tidak memperdulikan adanya perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemegang kebijakan. Salah satu contoh penerapan dari strategi ini dilakukan oleh kelompok masyarakat adat di Kalimantan dan Papua. Di Papua, upaya perlawananterhadap gempuran modernitas yang didukung oleh pemerintah dilakukan dengan mendirikan dan melaksanakan pendidikan yang bertujuan meneguhkan identitas kesukuan yang penuh dengan kearifan local. Sementara di Kalimantan Timur, perlawanan budaya dilakukan terhadap dominasi Negara dalam pengaturan pelaksanaan ritual kebudayaan.
Bagian ketiga dari tulisan tersebut, berisi paparan mengenai usaha perlawanan masyarakat sipil mengenai penegakan HAM di Indonesia. Pada bagian ini dipaparkan mengenai upayaupaya dan ide dalam mewujudkan pemenuhan HAM pada masyarakat sekarang serta tuntutan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme formal oleh pemerintah.
Pada prakteknya, upaya perlawanan yang dilalukan oleh masyarakat sipil lebih banyak menuntut pemerintah dan pemberdayaan korban pelanggaran HAM sekarang dan masa lalu. Tuntutan kepada pemerintah disalurkan melalui mekanisme formal yang ada dan juga berusaha membuat jalur formal yang lain sesuai dengan kasus yang ada. Pemberdayaanyang dilakukan adalah dengan mengorganisir korban pelanggaran HAM lalu mendidik dan memajukan mereka serta mendorong mereka untuk mandiri dalam hal pendanaan perjuangan menuntut keadilan HAM.
Secara keseluruhan buku ini sangat menarik. Buku ini berhasil menyajikan dinamika pertarungan yang terjadi dilapangan. Dari berbagai tulisan yang terhimpun, pembaca dapat melihat dengan jelas bagaimana dinamika pertarungan dilapangan.
Dari tulisan tersebut juga pembaca dapat melihat sebesar apa kemampuan dan kapasitas yang dipunyai oleh kalangan prodemokrasi dan anti demokrasi. Dan pada akhirnya, dari rangkaian tulisan tersebut, pembaca diarahkan untuk mampu mengambil kesimpulan sendiri mengenai siapa pemenang pertarungan antara kaum prodemokrasi dan anti demokrasi.
Namun demikian, buku ini tidak dengan gamblang menggambarkan kondisi ideal seperti apa yang diinginkan setelah rangkain politik electoral pada tahun 2009. Seluruh tulisan dalam buku ini hanya menggambarkan bagaimana sikap dan kerja perjuangan yang dilakukan oleh masing-masing organisasi secara detail.
Pada akhirnya, setelah membaca semua tulisan dibuku ini, kita sebagai pembaca diarahkan untuk menterjemahkan berbagai kondisi untuk kemudian mengambil jawaban sendiri atas arah transisi demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia.
Secara pribadi, penulis mengambil kesimpulan bahwa setelah pemilu 2009 dan menjelang 2014 arah transisi demokrasi di Indonesia tidak akan bergerak menuju arah yang lebih baik. Kekuatan anti demokrasi masih bercokol kuat.
Aang Kusmawan, Peneliti di Perkumpulan Inisiatif. Mengajar ekonomi di Madrasah Aliyah (MA) Sukasari Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung.
Judul Buku : Bersatu Membangun Kuasa : Pengembangan Strategi Gerakan Rakyat Pasca Politik Elektoral 2009
Editor : Andi K Yuwono, Raymond J Kusnadi, Sinal Blegur
Penerbit : Perkumpulan Praxis dan Forum Belajar Bersama
Cetakan : Tahun 2010
Tebal : xxx + 486 halaman
Transisi demokrasi di Indonesia telah mengalami gejala pasang surut dengan sedemikian rupa. Sampai dengan sekarang belum pernah ada jawaban yang pasti mengenai arah gerak pasti dan akhir dari transisi demokrasi itu sendiri. Ada sebagian besar pihak yang mengatakan bahwa Negara kita tengah terjebak dalam kondisi transisi demokrasi yang permanen. Namun, dilain pihak dengan ekstrim mengatakan bahwa tidak ada transisi demokrasi di Indonesia sama sekali.
Pertarungan
Secara umum, pihak yang meyakini bahwa transisi demokrasi itu ada memandang bahwa sandungan utama gerakan demokrasi adalah pihak yang anti demokrasi. Dalam konteks demokrasi tersebut, pihak anti demokrasi tersebut adalah pihak yang menghambat terciptanya masyarakat yang sejahtera.
Dalam konteks demikian, batu sandungan tersebut berupa kaum pemodal (baca : kapitalis) yang memasuki ruang-ruang politik. Kaum kapitalis diposisikan sebagai batu sandungan karena, mereka adalah kaum yang mengedepankan pemenuhan kebutuhan individu dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Dalam kontek pertarungan antara kaum prodemokrasi dan anti demokrasi, proses electoral merupakan salah satu medan peperangan untuk mempertaruhkan kepentingan rakyat. Dalam konteks transisi demokrasi, proses electoral tersebut diposisikan sebagai salah satu penentu arah transisi demokrasi tersebut.
Jika kaum prodemokrasi, memenangkan pertarungan pada politik elektoral, maka jalan menuju akhir dari transisi demokrasi tersebut akan semakin dekat. Namun sebaliknya, jika kaum anti demokrasi yang memenangkan pertarungan tersebut, maka jalan menuju akhir transisi demokrasi akan semakin jauh. Pertarungan antara kaum prodemokrasi dengan antidemokrasi menjadi penanda penting bahwa fase transisi demokrasi masih terus berlangsung.
Namun demikian, area politik elektoral bukanlah medan tunggal tarik menarik antara kelompok yang anti demokrasi dengan kelompok demokrasi. Arena lain diluar parlemen, yaitu arena di akar rumput (baca : lokal) juga merupakan medan tempat pertarungan kepentingan itu berlangsung.
Di sudut lain perdebatan tersebut, fakta berkata bahwa proses demokrasi elektoral, diluar kelebihan dan kekurangannya telah berjalan dalam rentetan waktu yang panjang. Tercatat, sejak era reformasi Negara ini telah melaksanakan dua kali proses electoral, yaitu pada tahun 2004, 2009. Dan sebentar lagi kita akan melaksanakan ritual demokrasi electoral ditahun 2014. Dalam konteks perjalanan demokrasi tentu saja ini bukan waktu yang sebentar. Lantas, setelah 2009 dan menjelang 2014, akan dibawa kemana dan akan seperti apa transisi demokrasi di Indonesia tersebut?
Dalam pola pikir demikian, buku berjudul “ Bersatu Membangun Kuasa : Pengembangan Strategu Gerakan Rakyat Pasca Politik Elektoral 2009” diterbitkan oleh Perkumpulan Praxis dan Forum Belajar Bersama (FBB).
Buku tersebut mencoba memberikan potret utuh mengenai proses transisi tersebut. Selain itu, buku tersebut juga berusaha “menebak” bagaimana dinamika transisi demokrasi yang akan terjadi setelah proses electoral ditahun 2009, baik diwilayah elektoralnya itu sendiri atau diluar electoral (baca : akar rumput).
Dua Strategi
Secara umum buku tersebut kedalam tiga bagian. Bagian pertama berisi tentang strategi kaum prodemokrasi dalam mengembangkan gerakan prodemokrasi. Kedua, memotret bagaimana dinamika perjuangan kaum prodemokrasi diakar rumput. Bagian ketiga, memotret perjuangan kaun prodemokrasi secara sektoral, diwilayah Hak Asasi Manusia (HAM).
Pada bagian pertama, dipaparkan mengenai strategi dan taktik kaum prodemokrasi dalam melawan kaum anti demokrasi. Secara umum, sejumlah tulisan dibagian pertama ini mengelaborasi strategi dan taktik dalam memenangkan pertarungan.
Dari berbagai tulisan pada bagian pertama tersebut diketahui bahwa strategi yang dikembangkan terbagi kedalam dua bagian. Pertama yang meyakini bahwa jalur electoral adalah jalur ampuh yang harus direbut jika ingin memperbaiki demokrasi (hal 24-25). Kedua, yang meyakini bahwa jalur electoral bukanlah jalur ampuh untuk menyelesaikantransisi demokrasi, sebab akhir dari transisi demokrasi bukanlah akhir dari perjuangan. Kelompok kedua ini meyakni, bahwa demokrasi itu hanyalah alat belaka. Namun demikian , kelompok ini tidak “mengharamkan” jalur parlemen dengan syarat perspektif yang dibangun bukanlah perspektif menyelesaikan semua melalui parlemen (hal 116-117)
Bagian kedua, buku tersebut mendeskripsikan dinamika dan bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan rakyat diakar rumput. Gerakan rakyat diakar rumput ini dipahami sebagai gerakan komunitas-munitas melawan gerakan pemodal dalam mengakumulasikan modalnya.
Dalam konteks strategi pengembangan gerakan, strategi yang dikembangkan oleh komunitas masyarakat tersebut disebut sebagai gerakan diluar jalur elektoral, atau lebih disering disebut dengan gerakan non parlementer.
Bagian kedua tersebut terdiri dari beberapa tulisan beberapa aktivis dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), berbagai aliansi dan front aksi dan komite aksi yang tersebar dibeberapa daerah simpul gerakan rakyat dari mulai pulau ujung timur dan barat Indonesia.
Dari berbagai tulisan tersebut, diketahui bahwa strategi non parlementer yang dikembangkan terbagi kedalam dua bagian besar. Pertama, adalah strategi structural. Kedua, adalah strategi non struktural atau penulis lebih suka menyebutnya dengan strategi budaya.
Dalam prakteknya, strategi struktural mensyaratkan adanya perubahan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Caranya, berbagai kelompok masyarakat mengorganisasikan dirinya dan mendidik dirinya lalu kemudian membangun argument dan mendesakan argument tersebut untuk disetujui oleh pemegang kebijakan. Strategi kultural ini lazim kita temui pada banyak kasus di berbagai pulau di Indonesia.
Sementara itu, strategi kultural berbeda dengan startegi structural. Pada prakteknya strategi kultural ini tidak memperdulikan adanya perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemegang kebijakan. Salah satu contoh penerapan dari strategi ini dilakukan oleh kelompok masyarakat adat di Kalimantan dan Papua. Di Papua, upaya perlawananterhadap gempuran modernitas yang didukung oleh pemerintah dilakukan dengan mendirikan dan melaksanakan pendidikan yang bertujuan meneguhkan identitas kesukuan yang penuh dengan kearifan local. Sementara di Kalimantan Timur, perlawanan budaya dilakukan terhadap dominasi Negara dalam pengaturan pelaksanaan ritual kebudayaan.
Bagian ketiga dari tulisan tersebut, berisi paparan mengenai usaha perlawanan masyarakat sipil mengenai penegakan HAM di Indonesia. Pada bagian ini dipaparkan mengenai upayaupaya dan ide dalam mewujudkan pemenuhan HAM pada masyarakat sekarang serta tuntutan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme formal oleh pemerintah.
Pada prakteknya, upaya perlawanan yang dilalukan oleh masyarakat sipil lebih banyak menuntut pemerintah dan pemberdayaan korban pelanggaran HAM sekarang dan masa lalu. Tuntutan kepada pemerintah disalurkan melalui mekanisme formal yang ada dan juga berusaha membuat jalur formal yang lain sesuai dengan kasus yang ada. Pemberdayaanyang dilakukan adalah dengan mengorganisir korban pelanggaran HAM lalu mendidik dan memajukan mereka serta mendorong mereka untuk mandiri dalam hal pendanaan perjuangan menuntut keadilan HAM.
Secara keseluruhan buku ini sangat menarik. Buku ini berhasil menyajikan dinamika pertarungan yang terjadi dilapangan. Dari berbagai tulisan yang terhimpun, pembaca dapat melihat dengan jelas bagaimana dinamika pertarungan dilapangan.
Dari tulisan tersebut juga pembaca dapat melihat sebesar apa kemampuan dan kapasitas yang dipunyai oleh kalangan prodemokrasi dan anti demokrasi. Dan pada akhirnya, dari rangkaian tulisan tersebut, pembaca diarahkan untuk mampu mengambil kesimpulan sendiri mengenai siapa pemenang pertarungan antara kaum prodemokrasi dan anti demokrasi.
Namun demikian, buku ini tidak dengan gamblang menggambarkan kondisi ideal seperti apa yang diinginkan setelah rangkain politik electoral pada tahun 2009. Seluruh tulisan dalam buku ini hanya menggambarkan bagaimana sikap dan kerja perjuangan yang dilakukan oleh masing-masing organisasi secara detail.
Pada akhirnya, setelah membaca semua tulisan dibuku ini, kita sebagai pembaca diarahkan untuk menterjemahkan berbagai kondisi untuk kemudian mengambil jawaban sendiri atas arah transisi demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia.
Secara pribadi, penulis mengambil kesimpulan bahwa setelah pemilu 2009 dan menjelang 2014 arah transisi demokrasi di Indonesia tidak akan bergerak menuju arah yang lebih baik. Kekuatan anti demokrasi masih bercokol kuat.
Aang Kusmawan, Peneliti di Perkumpulan Inisiatif. Mengajar ekonomi di Madrasah Aliyah (MA) Sukasari Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung.
Judul Buku : Bersatu Membangun Kuasa : Pengembangan Strategi Gerakan Rakyat Pasca Politik Elektoral 2009
Editor : Andi K Yuwono, Raymond J Kusnadi, Sinal Blegur
Penerbit : Perkumpulan Praxis dan Forum Belajar Bersama
Cetakan : Tahun 2010
Tebal : xxx + 486 halaman