Sekitar seratus tahun yang lalu, 2 dari 10 orang tinggal di kawasan perkotaan. Pada 1990, kurang dari 40% populasi dunia tinggal di kota, dan sampai pada awal 2010, lebih dari setengah populasi dunia tinggal di kawasan perkotaan. Menurut proyeksi, pada 2030, 6 dari 10 orang di dunia adalah penduduk kota (World Bank, 2016). Ledakan pertumbuhan kota memberi sinyal bahwa secara global, terdapat transisi demografi dari pedesaan (rural) ke perkotaan (urban).
Tidak hanya pertumbuhan dari desa itu sendiri menjadi sebuah kota, tetapi data tersebut juga menunjukkan perpindahan penduduknya. Laju urbanisasi Indonesia misalnya, rata-rata tumbuh sebesar 6% dari tahun 2010 ke tahun 2015, dan diprediksi akan terus meningkat sampai tahun 2035 (Indonesia 2050, 2016). Apakah hal ini menjadi sebuah masalah?
Pertumbuhan kota jelas mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Contohnya, saat ini Indonesia tengah gencar membangun infrastruktur besar yang akan mendorong pertumbuhan perkotaan, seperti melalui pembangunan berorientasi transit (transit oriented development) yang salah satunya dapat kita lihat dari proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Dari segi indikator pertumbuhan ekonomi seperti PDRB daerah, sektor yang cepat berkembang adalah sektor industri ataupun perdagangan dan jasa, yang keduanya merupakan sektor andalan dari kawasan perkotaan.
Tetapi, terlampau tingginya pertumbuhan populasi kota menjadi sebuah masalah ketika urbanisasi terjadi sangat cepat, dan kemampuan pemerintah kota untuk menyediakan perumahan, sanitasi, keamanan publik dan pelayanan lainnya tidak bisa mengimbangi hal tersebut. Dan yang paling penting, pertumbuhan ekonomi tidak dapat terjadi ketika lapangan pekerjaan juga tidak cukup (Ashford dalam Keller, 2000). Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa desa kurang memanfaatkaan sumber dayanya, terlebih sumber daya manusia?
Salah satu penyebab dari perpindahan masyarakat dari desa ke kota adalah rendahnya penyerapan tenaga kerja di desa. Menurut salah satu penelitian dari Unsyiah, disebutkan bahwa faktor terjadinya pengangguran di desa adalah peluang kerja yang homogen (umumnya pertanian) sehingga terjadi kejenuhan yang mengakibatkan rasa enggan untuk bekerja. Hal ini juga didukung oleh lapangan pekerjaan yang dipengaruhi musim, pendidikan yang rendah, dan lahan yang kurang. Selain itu, desa cenderung memiliki tingkat kesuburan (fertility level) yang tinggi, menyebabkan tingginya pertumbuhan populasi desa secara eksponensial.
Maka dari itu, tidak mengherankan bahwa desa juga memiliki kesulitan untuk mampu mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini juga terkadang menjadi peluang bagi pihak ketiga untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada. Dampak lainnya adalah tergerusnya budaya dan kearifan lokal desa.
Memahami Desa dan Pembangunannya
Desa berasal dari bahasa Sansekerta deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Menurut KBBI, desa diartikan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri. Menurut Cambridge English Dictionary, desa atau village diartikan sebagai a group of houses and other buildings that is smaller than a town, usually in the countryside. Sedangkan dalam konteks otonomi daerah, desa diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa (Widjaja, 2003). Menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa desa juga memiliki kewenangan dalam mengatur pembangunannya sendiri, dan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam konstelasi pembangunan nasional. Maka dari itu, dalam pembangunannya, desa serta masyarakatnya memiliki hak—tidak hanya sebagai objek, tetapi—subjek pembangunan, dalam membangun dan mensejahterakan diri mereka.
Terbitnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 juga menjadi peluang yang harus dimanfaatkan. Salah satu isu strategis dari UU Desa adalah desa sebagai subjek pembangunan, yakni terdiri dari konsolidasi program/kegiatan di desa, konsolidasi dan penguatan kelembagaan desa, kesatuan perencanaan dan keuangan desa, dan penguatan mekanisme representasi dan akuntabilitas di tingkat lokal. Mewujudkan hal tersebut, secara teknis UU ini juga menjelaskan mengenai mekanisme perencanaan pembangunan desa melalui penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa.
Meski melimpah, sumber daya yang digunakan desa dalam memenuhi kebutuhan pembangunannya tetaplah terbatas. Sumber daya finansial, salah satunya, berupa sumber pendanaan dari APBN haruslah mampu merata dan sesuai dengan program yang ingin dijalankan. Maka, penting untuk menyoroti prosedur dalam perencanaan pembangunan desa. Sebenarnya hal ini juga diatur dalam UU Desa, yakni dengan mengikutsertakan masyarakat desa, yang membuat Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Kemampuan masyarakat tentunya dipertanyakan dalam urusan mengajukan potensi dan masalah, mewakili dusun atau kampungnya masing-masing. Meskipun nyatanya, masyarakat tersebutlah yang harusnya betul-betul paham mengenai potensi dan masalah pembangunan di lingkungannya. Akumulasi pengetahuan mengenai ilmu perencanaan pembangunan, termasuk tata cara pelaksanaannya, umumnya terbatas pada perangkat pemerintahan desa saja.
Terdapat sebuah hal yang terlewatkan dari proses tersebut, yakni kurangnya kemampuan masyarakat desa dalam mengajukan program pembangunan yang sesuai, dengan berasaskan pengetahuan mengenai tata cara yang mengikuti kaidah yang telah ditetapkan.
Maka dari itu, diperlukan sebuah knowledge transfer atau pemberian pemahaman mengenai hal tersebut pada masyarakat. Hal ini dilakukan melalui mekanisme yang bisa jadi tambahan dalam sistem perencanaan yang seharusnya. Dan apabila tidak memungkinkan, maka diperlukan metode di luar sistem tersebut.
Sekolah Perencanaan Desa sebagai Pengembangan Kapasitas Lokal
Dari latar belakang tersebut, muncullah sebuah insiatif untuk membagikan kemampuan perencanaan pembangunan lokal kepada masyarakat desa, terutama lebih kecil lagi tingkatannya, yakni masyarakat dusun. Program Sekolah Perencanaan Desa hadir di tengah-tengah dinamika pembangunan desa sebagai sebuah pilot project dalam mengentaskan permasalahan di atas.
Target dari sekolah ini, adalah utamanya pemuda-pemuda dusun. Sebagai bibit-bibit aktor pembangunan di skala lokal, Sekolah Perencanaan Desa ingin memanfaatkan potensi pemuda dalam menentukan visi pembangunan dusunnya. Hal ini juga didasari pemahaman mereka mengenai kondisi dan karakteristik dusunnya. Potensi dalam hal kekompakan dan semangat kerja yang tinggi, juga menjadi dasar mengapa pemuda menjadi peserta strategis dalam program ini
Materi yang dibagikan umumnya mencakup pemahaman umum mengenai makna perencanaan, urgensinya, serta teknik-teknik dasar menghasilkan produk perencanaan skala lokal yang akademis. Salah satu poin yang disoroti adalah mengenai pentingnya data sebagai basis perencanaan serta teknik-teknik mengumpulkannya. Data dapat mendukung kepastian dan kesimpulan mengenai pemetaan potensi dan masalah dusunnya.
Menggunakan metode dua arah dan andragogis, Sekolah Perencanaan Desa dikemas secara atraktif. Metode yang dimaksud seperti simulasi tahapan perencanaan dan menonton bersama video mengenai program-program dari desa lain yang telah sukses. Cara ini menyesuaikan karakteristik pemuda yang mudah bosan dan jenuh dengan metode satu arah seperti pendidikan pada umumnya.
Secara umum, hasil dari sekolah ini mampu menciptakan pemuda desa yang memiliki pemahaman mengenai pentingnya membangun desa serta visi dan bagaimana mewujudkan visi tersebut. Beberapa dari peserta menyatakan keinginan yang kuat dalam membangun dusunnya. Sebagian kecil bahkan menyatakan keinginannya untuk menjadi perangkat desa yang jujur dan berkompetensi.
Meskipun begitu, masih terdapat evaluasi baik substansi maupun teknis. Secara substansial, masih terdapat kekurangan dalam pendalaman materi, akibat terbatasnya waktu dan sumber daya manusia. Secara teknis, masih terdapat kekurangan dalam hal pendekatan awal, penyesuaian waktu, dan kekurangan infrastruktur penunjang kegiatan.
Harapan Besar untuk Sekolah Perencanaan Desa
Terlepas dari hal tersebut, dari perspektif seorang pemateri sekaligus inisiator kegiatan, saya berharap program ini mampu menjadi awal terbentuknya masyarakat desa yang mampu secara mandiri dan bertanggung jawab membangun desanya. Menyesuaikan dengan materi dan metode, target peserta bisa diperluas tidak hanya untuk pemuda saja, tetapi juga kelompok lain, terutama para perempuan.
Selain itu, dengan mengintensifkan waktu dan tenaga, pihak penyelenggara harusnya dapat turut serta membantu merencanakan program pembangunan. Beberapa tahapan seperti analisis data, kurang strategis untuk dibagikan kepada peserta karena terlampau sulit. Jika program ini, ke depannya mampu menghasilkan produk perencanaan seperti dokumen akademis serta peta rencana, maka siapapun yang akan menyelenggarakan kembali sekolah ini harus mampu mengorbankan tenaga serta waktu yang lebih.
Pada akhirnya, berbagai usaha dalam mengatasi masalah ketimpangan pembangunan bukanlah kesia-siaan, jika dilakukan dengan niat yang baik dan tulus. Saya pribadi, sebagai mahasiswa tingkat akhir, banyak belajar dari pengalaman saya menyelenggarakan sekolah yang seadanya ini. Rasa lelah terbayarkan menyaksikan pemuda yang semangat mengikuti sekolah ini. Jika pada akhirnya, hasil dari sekolah ini dianggap belum maksimal, setidaknya terdapat hal-hal kecil yang bermanfaat bagi mereka. Rasa memiliki (sense of belonging) pemuda-pemuda tersebut terhadap dusun atau desanya, harus mampu dikembangkan menjadi suatu kumpulan modal dalam membangun desanya. Sehingga, isu pengangguran di desa serta arus urbanisasi yang tinggi setidaknya dapat dientaskan secara perlahan.
Lebih jauh lagi, terdapat harapan besar bagi pengembangan program ini. Kembali pada pemaparan di awal tulisan, desa harus menjadi bagian penting yang berkontribusi dalam pembangunan nasional. Desa juga harus mampu dipertahankan sebagai akar kebudayaan Indonesia, dengan berbagai kearifan lokal yang dimilikinya. Tekad pemerintah dalam menerbitkan UU Desa serta pengimplementasiannya, patut didukung berbagai pihak yang merasakan hal sama. Tindakan besar atau kecil, sebentar atau lama, sepatutnya menjadi katalis dalam mewujudkan pembangunan yang adil dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Daftar Pustaka:
Keller, John W. 2000. The Importance of Rural Development in The 21st Century-Persistence, Sustainability, and Futures. Kansas State University.
Anonim. Analisis Tingkat Pengangguran di Desa Alurmas Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan. Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Universitas Syiah Kuala.
Republik Indonesia. 2014. Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sekretariat Negara. Jakarta.
http://data.worldbank.org/indicator/SP.URB.GROW?end=2015&start=1961&view=chart&year_low_desc=false
http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/village
http://www.indonesia2050.info/populasi/laju-urbanisasi/#