Apa yang ada di benak kita ketika seseorang menyebut tentang kata pembangunan? Apakah tentang gedung-gedung bertingkat? Tentang jalan-jalan yang luas, lebar, dan halus? Tentang tingginya angka pertumbuhan? tentang rendahnya angka inflasi? Atau mungkin banyak indikator lainnya yang bisa saya munculkan di sini. Tapi pertanyaan yang lebih fundamental krusial untuk dimunculkan, apakah benar itu yang kita maksud dengan pembangunan? Apakah benar pembangunan adalah sesuatu yang hanya sebatas penampakan empirik, sebagaimana yang telah saya kemukakan di atas? Atau pembangunan pada dasarnya adalah sesuatu yang sangat mendasar bagi manusia dan kemanusiaan, khususnya manusia dan kemanusiaan Indonesia, yakni pembangunan penuh potensi manusia itu sendiri (full development of human potential).
Pertanyaan ini, menurut saya sangat krusial untuk dipertanyakan, semenjak aktivitas keseharian saya justru menemui bahwa pembangunan sebagai sebuah termin, di Indonesia khususnya, adalah sebuah proses yang justru menegasikan mayoritas rakyat Indonesia itu sendiri. Jadi, ketika saya berupaya untuk menempatkan indikator-indikator tadi, sulit saya untuk menerimanya secara konsisten. Ketika berbicara mengenai gedung- gedung bertingkat, ternyata ada penggusuran rakyat miskin kota di sana. Ketika topik tingginya angka pertumbuhan dimunculkan, ternyata hal ini berkorelasi dengan kemiskinan dan pengangguran riil. Sebuah kondisi yang jika kita simpulkan adalah terjadinya suatu proses pembangunan di atas penderitaan orang lain.
Mungkin banyak dari kawan-kawan sekalian yang kemudian, khususnya yang berlatar belakang keilmuwan yang ketat, akan bertanya kritis, “Tunjukkan kepada kami angka- angka statistik tentang itu jika memang benar”. Sebuah bentuk keberatan yang bisa saya terima. Akan tetapi pada kesempatan hari ini, saya harus mengambil sebuah posisi yang sama sekali berbeda. Ketika banyak kritisisme atas pembangunan selalu berangkat dari data, walau tidak sama sekali salah, bahkan memiliki keunggulannya sendiri, metode kritisisme semacam ini memiliki kelemahan yang tidak dapat disangkal. Bagaimana mungkin kita menempatkan manusia dalam pembangunan hanya sebagai variabel angka. Ilustrasi sederhananya, apa yang membuat angka kemiskinan 13% adalah baik jika dibandingkan dengan apabila angka kemiskinan 45% dimunculkan? Bisakah kita bayangkan apabila salah satu dari kita berada di angka 13% itu dan mulai menjalani kehidupan keseharian? Tidakkah ini salah satu pertanda bahwa kita secara sengaja memarjinalkan posisi manusia yang pada dasarnya secara riil ada di sekitar kita?
Di sinilah saya akan merisikokan diri untuk mengambil posisi yang saya sebut sebagai posisi ideologis. Ideologi tempat saya akan menempatkan ide yang saya yakini betul kebenarannya bahwasanya logika penindasan sekarang, bahwa keberlanjutan antara penindas dan yang tertindas sebagaimana yang terjadi dalam pembangunan sekarang, bisa teratasi ketika yang tertindas bisa membebaskan dirinya dari ketertindasan. Yang tertindas secara aktif melawan penindasnya untuk merealisasikan apa yang saya sebut sebagai pembangunan penuh potensi manusia tadi.
Secara jujur saya akan memprovokasi anda dengan semua dalam forum ini untuk mulai membicarakan dan memperdebatkan secara serius apa yang sebenarnya kita maksud dengan pembangunan. Karena hanya dengan satu sikap yang tegas dan mantaplah kita bisa lepas dari kebingungan kita mengenai pembangunan. Sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini.
Pembangunan Sebagai Pola Manajerial dalam Kapitalisme
Yang harus kita sepakati terlebih dahulu dari proses diskusi ini adalah pembangunan sebagai sebuah istilah bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Dia muncul dari proses historis peradaban manusia yang dikenal sebagai epos kapitalisme. Semenjak awal kapitalisme memiliki dinamikanya dikarenakan adanya kontradiksi internal di dalam kapitalisme. Dalam Capital jilid III,[1] Marx menyebut bahwa capital (modal) memiliki karakteristik inheren yang berkontradiksi antara satu dengan yang lain. Di satu sisi ia memiliki kemampuan untuk mengembangkan dirinya dengan tidak terbatas. Namun di sisi lain capital memiliki “penyakit bawaan” dimana imperatif dia untuk terus berkembang memaksa untuk dirinya sendiri mati secara perlahan. Argumen ini diterima hampir secara merata oleh semua ekonom baik dari pihak yang memiliki pendekatan ekonomi mainstream maupun dari pihak ekonom yang secara kritis melihat kapitalisme, khususnya ekonom Marxian.
Karakter yang kontradiksi ini jika dibiarkan lebih jauh akan berimplikasi secara negatif terhadap kerja kapitalisme itu sendiri. Hal ini disebabkan kontradiksi yang sebenarnya tertanam dalam proses kapitalisme melalui kerja capital akan selalu menyebabkan krisis. Dan sebagaimana gerak sejarah, krisis selalu mempunyai potensi untuk menghancurkan relasi produksi kapitalisme sendiri, mengingat ekses sosial yang ditimbulkannya akan memunculkan pertanyaan tentang relasi sosial produksi yang tengah terjadi. Implikasi ini tentu saja disadari oleh pihak kapitalis sendiri. Untuk itu diperlukan pola manajerial yang berubah-ubah dan cenderung tentatif untuk menanggulangi implikasi sosial dari krisis yang terjadi.[2]
Pola manajerial kapitalisme inilah yang saya maksud sebagai titik pangkal dari apa yang disebut dengan pembangunan. Jika ditempatkan pada konteks awalnya munculnya istilah ini, Pembangunan muncul sebagai ide dominan justru pada saat pasca Perang Dunia II. Pembangunan sebagai ide dominan setidaknya dapat dilihat pada peralihan logika ekonomi yang berubah-ubah sesuai dengan dinamika dalam relasi ekonomi yang berimplikasi pada realsi politik dalam negara. Seperti kita ketahui, pasca PD II, logika ekonomi yang menjadi tren pada saat itu sangatlah kental dengan pendekatan ekonomi Keynesian.[3]
Karakteristik utama dari pendekatan Keynesian adalah pentingnya intervensi ekonomi yang dilakukan oleh negara untuk mendorong sisi permintaan (demand-side) masyarakat. Hal ini sendiri merupakan respon dari Depresi Besar tahun 1930-an yang salah satu penyebab utamanya disinyalir berasal dari terjadinya kelebihan produksi (over-supply) pasar yang tidak diimbangi dengan permintaan efektif di tingkatan konsumen. Ketimpangan ini harus dientaskan melalui sebuah mekanisme di luar pasar yang memungkinkan permintaan efektif muncul secara berkesinambungan. Kesesuaian antara pendekatan Keynesian dengan pola pikir kapitalis pasca PD II adalah kehancuran masif yang disebabkan oleh akumulasi bersamaan antara depresi besar dan PD II membuat pasar tidak memungkinkan untuk tumbuh sendiri. Diperlukan tangan di luar pasar, yaitu negara, untuk membangun infrastruktur pasar yang hancur tersebut. Tidak heran jika kemudian model ekonomi yang bermunculan pasca PD II sedikit banyak dipengaruhi oleh pendekatan Keynesian. Negara menjadi aktor utama dalam mendesain kerja ekonomi.
Pola menajerial kapitalis Keynesian pasca PD II seakan-akan menjadi magis untuk kapitalisme itu sendiri. Pihak kapitalis mampu untuk mengakumulasi tingkat keuntungannya pada titik yang maksimum. Pada konteks saat itu kelas pekerja banyak diberikan konsesi, melalui diberikannya asuransi kesehatan dan jaminan pensiun misalnya, oleh pihak kapitalis untuk meredam kontradiksi karena semakin kuatnya eksploitasi. Hal ini kemudian dibarengi dengan munculnya rezim-rezim kekuasaan yang berorientasi korporatis yang memberikan ruang yang terbatas dalam masyarakat kapitalis untuk meredam ekses-ekses kontradiktif dari kapitalis. Sebagai contoh, hal ini setidaknya dapat dilihat pada semakin pentingnya bagi negara untuk concern terhadap aspek kesejahteraan bagi masyarakatnya. Apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam relasi politik saat itu dalam pola manajerial kapitalisme ala Keynesian adalah terciptnya sebuah formasi relasi sosial yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya dimana relasi antara kelas cenderung seimbang dan memberikan ruang yang terbatas dalam negara untuk terjadinya negosiasi antara kelas-kelas yang berkontradiksi.[4]
Namun kondisi ini harus diubah ketika krisis menghantam ekonomi global pada era 1970-an. Krisis ini mengakibatkan diperlukannya pola manajerial baru untuk mengatasi efek-efek buruk yang ditimbulkan oleh krisis. Yang menarik dalam kondisi ini adalah jawaban yang dimunculkan oleh rezim yang berkuasa mengenai penyebab krisis ini. Menurut mereka pada saat itu, krisis disebabkan oleh terlalu intervensionisnya tangan negara dalam mengelola ekonomi. Intervensi ini menyebabkan pasar kehilangan kemampuannya untuk melakukan distribusi dan redistribusi atas output produksi. Untuk itu, alih-alih melihat krisis ditanggulangi melalui pendekatan permintaan seperti sebelumnya, diskursus dominan yang kemudian berkembang dalam menjawab problem 70-an ini adalah diperlukannya pendekatan lain yang berasas pada aspek produksi (supply). Di sinilah kemudian muncul rezim ekonomi politik yang memfokuskan dirinya pada aspek moneter yang bertujuan untuk menunjang proses ekonomi yang berdasarkan pada sisi produksi.
Apa yang terkonsentrasi di ekonomi akan berimplikasi pula pada relasi politik di masyarakatnya. Relasi politik pasca krisis ini pun mengalami metamorfosis. Rezim kekuasaan yang kemudian muncul dikenal sebagai rezim neoliberal atau rezim pro pasar bebas.[5] Dalam rezim ini, negara muncul untuk mendukung kerja akumulasi modal secara lebih masif. Untuk itu segala bentuk keajegan yang membatasi alur gerak modal harus dihancurkan atau direstrustrukturisasi. Jika sebelumnya pada masa rezim Keynesian, Negara banyak mengalokasikan anggaran untuk pengeluaran publik seperti kesehatan, pendidikan, dan perumahan; maka pada rezim neoliberal anggaran belanja negara untuk pengeluaran publik harus dipangkas untuk mencegah terjadinya beban fiskal Negara. Selain itu, alokasi belanja negara yang terlalu besar untuk pengeluaran publik hanya akan membatasi peran swasta untuk melakukan distribusi atas produksi yang telah mereka lakukan. Sebagai contoh, jika negara terlalu banyak mensubsidi masyarakatnya untuk kesehatan melalui pelayanan gratis di RS milik pemerintah, maka keberadaan RS swasta akan kalah bersaing dengan RS milik pemerintah. Hal inilah yang kemudian dipandang oleh ekonom libertarian seperti Milton Friedman[6] sebagai bentuk distorsi pasar yang pada akhirnya akan membelenggu kebebasan peradaban manusia untuk melakukan aktivitas ekonomi yang paling mendasar.
Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa terjadi perubahan ide pembangunan diikuti dengan perubahan pola manajerial kapitalisme yang disebabkan oleh terjadinya krisis di tubuh kapitalisme itu sendiri. Pola manajerial baru ini tentu saja disertai dengan adanya kebutuhan untuk mempercepat proses akumulasi dan prosesnya harus mampu mengatasi secara simultan implikasi sosial dari krisis itu sendiri. Jawaban yang kemudian muncul dari kebutuhan ini adalah diberlakukannya perdagangan bebas dengan neoliberalisme sebagai selubung ideologi yang meliputi kerjanya. Perdagangan bebas ini diiringi pula dengan pengembangan secara lebih lanjut interaksi ekonomi yang telah ada sebelumnya untuk dimasifikasi atas nama proses akumulasi yang disebut dengan finansialisasi.
Perjuangan Politik Rakyat Pekerja sebagai Syarat Pembangunan
Apa yang menjadi intensi saya dari elaborasi sedikit atas perubahan manajerial kapitalisme yang menjadi basis atas ide tentang pembangunan itu bukan untuk mengulang perdebatan apakah Negara atau apakah pasar yang harus menjadi penentu ekonomi. Bagi saya perdebatan seperti itu adalah sesuatu yang sekunder jika kita tidak terlebih dahulu memahami apa yang membuat termin Pembangunan bisa ada, bertahan, dan bahkan bertransformasi maknanya, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya.
Apa yang menjadi garis merah dari proses transformasi ide pembangunan adalah pembangunan selalu menjadi monopoli kelas kapitalis yang menguasai ruang politik Negara. Ketika kapitalisme menyebabkan krisis yang berimplikasi luas pada pengrusakan tatanan kemasyarakatan, maka para kapitalis akan menjadikan Negara sebagai instrument politik mereka untuk membersihkan kerusakan yang telah dilakukannya. Begitu juga sebaliknya, ketika efek destruksi dari kapitalisme telah bisa diminimalisir oleh Negara, maka pihak kapitalis akan memunculkan dirinya sebagai entitas yang tidak membutuhkan Negara. Walau jika diperiksa secara lebih lengkap justru Negara muncul secara lebih kuat dan kokoh untuk menjamin aspirasi dari kelas kapitalis ini.[7] Di sinilah pemaknaan atas pembangunan berubah-ubah sesuai dengan kepentingan kapitalis dalam konfigurasi ruang politik Negara.
Namun, bukan berarti pembangunan itu sendiri menjadi selesai dengan sendirinya semenjak sebagai sebuah ide, pembangunan hanya akan berjalan secara efektif di bawah kelas kapitalis dengan dukungan Negara. Ketika para kapitalis mengusung ide pembangunan yang menjustifikasi bahwa pembangunan ini berlaku untuk semua orang di masyarakat, maka ide pembangunan menciptakan keretakan yang sangat besar atas ide pembangunan itu sendiri! Ketika hal ini terjadi, maka tiap orang akan terbuka matanya bahwa adalah suatu kebohongan pembangunan tengah berlangsung untuk semua. Keretakan ini makin menganga ketika Negara dilihat sebagai ruang politik yang memiliki kontestasi di dalamnya, sehingga terbuka kemungkinan kelas lain yang memiliki politik dan kepentingan politik yang sama sekali berbeda dengan kelas kapitalis yang selama ini memonopoli kekuasaan politik Negara.
Dalam konteks keretakan inilah saya melihat bahwa pembangunan sebagai sebuah ide penting untuk diperjuangan dan direbut pemaknaannya. Dengan proses pemaknaan seperti ini maka pembangunan berarti menciptakan suatu kekuatan politik ideologis yang berbasis pada mereka yang selama ini justru dipinggirkan dalam pembangunan, namun keringat dan darahnya adalah bagian inheren dari pembangunan. Yang mana saya akan secara sengaja menyebut posisi ini sebagai rakyat pekerja. Baik mereka yang berada di sektor informal maupun di sektor formal, mereka sama-sama berada dalam penghisapan dan penindasan atas nama pembangunan. Hanya dengan menciptakan suatu kekuatan politik berdasar pada kepemipinan kelas pekerja, maka kita akan mampu mengatasi keterbatasan pembangunan, yang hanya dimonopoli oleh kelas kapitalis, menjadi pembangunan yang sejati untuk seluruh manusia.
Anwar ”Sastro” Ma’ruf adalah Anggota Perkumpulan INISIATIF dan Ketua Nasional Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP). Makalah ini disampaikan pada Diskusi Bulanan di Kantor Perkumpulan INISIATIF , 10 November 2010
[1] Karl Marx (1978), Capital ,Vol III, London: Penguin Press
[2] Samir Amin (2000), Capitalism in the Age of Globalization: The Management of Contemporary Society, London: Pluto Press
[3] John Maynard Keynes (1985), The General Theory of Employment, Interest, and Money, New York: Cambridge University Press
[4] Niall Ferguson, (2006), The War of the World: History’s Age of Hatred, London: Allen Lane
[5] Daniel Yergin and Joseph Stanislaw (2003), The Commanding Heights: The Battle for the World Economy, New York: MIT Press
[6] Milton Friedman (1962), Capitalism and Freedom, New York: Penguin Press
[7] Barry K. Gills (Ed) (2000), Globalization and the Politics of Resistance, New York: St. Martin Press