Latar Belakang
Proses demokrasi dalam pilpres 2014 telah menghasilkan kepemimpinan nasional yang dikehendaki oleh mayoritas rakyat Indonesia. Suksesi kepemimpinan dari rezim Presiden SBY kepada Presiden Jokowi telah berlangsung secara damai. Namun demikian, proses pilpres 2014 juga masih menyisakan tanda tanya mengenai prospek demokrasi Indonesia ke depan.
Tanda tanya ini mencuat didasarkan pada fakta yang terjadi baik dalam proses pilpres maupun pasca pilpres. Dalam proses pilpres, terjadi persaingan yang tidak sehat terutama penggunaan simbol-simbol primordial (SARA) dan berbagai manipulasi baik untuk meraih dukungan maupun mempengaruhi hasil pemungutan suara. Kondisi itu tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan dapat mengancam eksistensi demokrasi itu sendiri.
Pada pasca pilpres, efek persaingan yang terjadi dalam proses pilpres masih terus berlanjut dengan pelaku yang sama namun dalam bentuk dan arena yang berbeda. Kelompok elit politik yang kalah dalam persaingan pilpres melanjutkan persaingan tersebut ke arena politik dan legislasi di parlemen dan bahkan mengkistralkannya melalui pembentukan suatu koalisi politik permanen dengan agenda-agenda yang dicurigai direncanakan untuk menghambat berjalannya pemerintahan yang baru. Dalam perspektif demokrasi yang dikembangkan dalam paper ini, praktik seperti itu dapat menjadi ancaman bagi proses demokrasi yang sehat di Indonesia. Melihat praktik elit politik di parlemen pasca pilpres, beberapa studi tentang pilpres 2014 menyatakan kekhawatirannya tentang masa depan demokrasi di Indonesia[1].
Berdasarkan permasalahan tersebut pertanyaannya bagaimana mengembangkan demokrasi Indonesia yang sehat? Untuk menjawab pertanyaan pokok tersebut, dikembangkan beberapa pertanyaan yang lebih rinci sebagai berikut: (1) nilai-nilai apa yang menjadi dasar pengembangan demokrasi Indonesia yang sehat? (2) institusi-institusi seperti apa yang perlu dikembangkan untuk mewujudkan demokrasi Indonesia yang sehat? (3) sumber daya apa saja yang dapat dimobilisasi untuk mendukung pengembangan demokrasi Indonesia yang sehat? Dan (4) strategi seperti apa perlu dikembangkan untuk mewujudkan demokrasi Indonesia yang sehat?
Demokrasi Indonesia yang Sehat
Mengacu kepada praktik demokrasi yang dijalankan dalam proses pilpres 2014, demokrasi bisa dimaknai sebagai upaya perubahan kepemimpinan nasional secara damai melalui proses electoral (pemilihan) secara langsung, bebas, partisipatori, dan persaingan yang penuh intrik dan manipulasi. Namun, batasan demokrasi ini belum mencakup praktik demokrasi yang terjadi pasca pilpres yang fokusnya tidak hanya pada perubahan kepemimpinan nasional di parlemen tetapi juga perubahan kebijakan-kebijakan nasional.
Untuk bisa mencakup praktik demokrasi yang terjadi pada proses pilpres sekaligus pasca pilpres 2014, maka demokrasi dalam paper ini dibatasi sebagai proses perubahan kepemimpinan dan kebijakan nasional secara damai, partisipatori, melibatkan persaingan, oleh rakyat secara langsung maupun melalui perwakilan mereka di parlemen[2]. Tentu saja, pengertian ini juga masih memiliki keterbatasan karena tidak mencakup praktik demokrasi yang terjadi di tingkat lokal atau grassroot. Dalam paper ini, pengertian demokrasi ini dibatasi pada praktik demokrasi pada skala nasional.
Lalu apa arti demokrasi yang sehat? Pengertian sehat dalam konteks ini merujuk kepada nilai-nilai yang menjadi dasar atau nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam konteks pengembangan demokrasi yang sejalan dengan kondisi khas Indonesia. Demokrasi Indonesia yang sehat adalah demokrasi yang dinamis sejalan dengan perkembangan Indonesia baik masyarakatnya maupun alamnya.
Indonesia telah memiliki seperangkat nilai yang menjadi dasar keberadaannya yang terangkum dalam 5 nilai dasar Pancasila, yaitu keberagamaan (religiositas), kemanusian, persatuan, musyawarah dan mufakat, dan keadilan sosial. Dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak kemerdekaan hingga runtuhnya rezim authoritarian Soeharto, nilai persatuan (sila ke-3 Pancasila) telah mendominasi dan melegitimasi praktik demokrasi Indonesia. Dominasi nilai persatuan terhadap nilai-nilai Pancasila yang lain justru telah melahirkan rezim dan praktik-praktik yang tidak demokratis. Demokrasi yang sehat dalam pandangan saya adalah demokrasi yang menerapkan sekaligus mengembangkan kelima nilai Pancasila tersebut secara simultan dalam seluruh praktik demokrasi.
Institusionalisasi Demokrasi
Institusi di sini dimaknai sebagai seperangkat aturan yang berjalan (the working rules)[3] yang digunakan untuk menentukan siapa yang layak untuk mengambil keputusan di arena tertentu, tindakan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, aturan-aturan apa yang akan digunakan, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang harus atau tidak harus disediakan, dan imbalan yang diberikan kepada para pelaku sesuai dengan tindakan-tindakannya. Seperti halnya masyarakat, institusi juga bersifat dinamis, mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke waktu seiring perkembangan masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, proses perubahan institusi (institusionalisasi) merupakan proses yang berlanjut.
Dalam konteks pilpres 2014, institusi demokrasi yang dikembangkan telah berhasil membimbing masyarakat Indonesia menuju perubahan kepemimpinan nasional secara damai. Tetapi apakah proses dan hasil demokrasi pilpres 2014 tersebut telah merefleksikan nilai-nilai demokrasi Indonesia yang sehat yaitu kelima nilai Pancasila secara simultan, hal ini masih menjadi pertanyaan apalagi ditengah upaya sekelompok elit politik yang ingin mengembalikan demokrasi Indonesia ke model “demokrasi” rezim Orde Baru.
Insitusi demokrasi pilpres 2014 secara garis besar bisa dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu aturan tentang pemilihan presiden, aturan pembentukan pemerintahan, dan aturan pembentukan kebijakan. Aturan tersebut ada yang bersifat formal (tertulis), ada tidak tertulis dalam bentuk konvensi, maupun aturan yang bersifat informal (bukan merupakan aturan formal maupun konvensi).
Institusi demokrasi dalam proses pemilihan presiden utamanya mengacu kepada berbagai regulasi yang mengatur tentang pemilihan presiden, mulai dari UUD, UU Pilpres, sampai peraturan-peraturan yang dikeluarkan lembaga-lembaga penyelenggara pilpres. Di samping aturan formal tersebut, terdapat insitusi-insitusi baru yang terbentuk sepanjang proses pilpres sebagai respon terhadap dinamika yang terjadi. Beragam institusi baru terbentuk dengan dorongan dan tujuan yang berbeda-beda, seperti memenangkan persaingan, pengawalan hasil pemilu, dan pengawalan terhadap demokrasi itu sendiri dari kekuatan anti-demokrasi.
Institusi dalam pembentukan pemerintahan yaitu pembentukan struktur organisasi di parlemen dan kepresidenan juga mengacu kepada regulasi-regulasi yang ada. Namun ada juga konvensi dan aturan informal yang terlibat dalam proses ini. Selain itu, ada juga aturan baru yang dibuat untuk menggantikan aturan yang lama. Secara umum, pengembangan institusi dalam proses pembentukan pemerintahan ini juga merupakan dampak dari proses persaingan pilpres sebelumnya.
Contoh yang sangat nyata dalam pembentukan struktur organisasi di parlemen. Dalam konvensi yang lama, partai pemenang pemilu, yaitu partai dengan suara terbanyak biasanya otomatis menjadi pimpinan (ketua) DPR. Tetapi konvensi ini kemudian digantikan dengan aturan formal baru yang didorong oleh kelompok partai politik yang kalah dalam persaingan politik di pilpres.
Contoh lain dalam pembentukan kabinet pemerintah baru, Presiden Jokowi menerapkan aturan baru (informal) dalam proses seleksi menteri dengan melibatkan KPK dan PPATK untuk menelusuri rekam jejak dan integritas serta komitmen terhadap praktik anti-korupsi. Sebaliknya aturan seleksi formal untuk mengecek kesehatan calon menteri justru tidak dilakukan.
Dalam proses pembentukan kebijakan di parlemen, institusi pengambilan keputusan di parlemen saat ini sangat dipengaruhi oleh dinamika elit politik yang bersaing antara dua kubu di parlemen yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dua koalisi yang melanjutkan persaingan mereka dari proses pilpres ke parlemen. Jika Jokowi mengandalkan KIH untuk menggolkan kebijakan-kebijakannya maka bisa diprediksi banyak kebijakannya akan digagalkan oleh KMP, seperti halnya dia akan kalah dalam persaingan pilpres hanya mengandalkan KIH sebagai partai pendukungnya. Dalam pilpres, Jokowi berhasil mengembangkan institusi relawan dan mengantarkannya pada kedudukannya saat ini. Dalam konteks persaingan politik di parlemen, insitusi apa yang bisa dia kembangkan untuk memenangkan atau menggolkan kebijakan-kebijakannya?
Dari semua institusi demokrasi pilpres tersebut, sejauhmana semua itu kompatibel dengan upaya mengembangkan demokrasi Indonesia yang sehat, demokrasi yang berlandaskan kelima nilai Pancasila dan demokrasi yang mewujudkan kelima nilai tersebut secara simultan? Proses evaluasi terhadap insitutisi demokrasi yang sedang berjalan harus dilakukan dan ini menjadi bagian dari strategi yang inheren dalam proses pengembangan demokrasi Indonesia yang sehat.
Sumber-Sumber Perubahan
Perubahan menuju demokrasi Indonesia yang sehat dilakukan melalui perubahan institusi-institusi demokrasi seperti yang dijelaskan di atas. Dalam kasus demokrasi pilpres 2014 dapat dilihat beberapa kasus perubahan insitusional baik yang mengarah kepada demokrasi Indonesia yang lebih sehat atau sebaliknya justru mengarah kepada kemunduran demokrasi. Contoh perubahan institusi demokrasi yang lebih sehat bisa dilihat dari munculnya institusi kerelawanan yang telah berhasil menyelamatkan demokrasi Indonesia dari kekuatan oligarki politik yang mendorong demokrasi ke arah kemunduran. Dalam konteks ini, relawan dengan kekuatan moralnya telah menjadi sumber perubahan institusi demokrasi.
Peran relawan sebagai sumber perubahan juga tidak lepas dari peran sumber perubahan yang lain yaitu teknologi informasi dan komunikasi. Peran berbagai aplikasi media sosial seperi facebook dan twitter tidak bisa diabaikan perananya sebagai sumber perubahan. Demikian juga dalam kasus kawalpemilu.org tidak mungkin hal itu terjadi jika KPU tidak menerapkan aplikasi teknologi informasi yang memungkinkan data hasil pemungutan suara dari tingkat yang paling rendah (formulir C1 di TPS) hingga tingkat yang nasional. Dengan teknologi ini, masyarakat bisa melakukan pengawalan dan koreksi terhadap hasil pemilu dan terhindar dari upaya-upaya manipulasi hasil pemilu oleh kelompok-kelompok yang berharap memenangkan persaingan dengan cara yang tidak fair.
Sumber perubahan Demokrasi Indonesia ke depan tentu saja adalah nilai-nilai Pancasila. Komitmen nasional terhadap Pancasila sebagai sumber rujukan nilai dalam berdemokrasi perlu dikembangkan dalam bentuk yang lebih konkrit dan operasional. Upaya ini perlu diawali dengan interpretasi yang kreatif terhadap nilai-nilai Pancasila. Seperti halnya proses evaluasi institusi, proses interpretasi nilai-nilai Pancasila juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam strategi pengembangan demokrasi Indonesia yang sehat.
Strategi Perubahan
Mengapa perlu perubahan dalam demokrasi Indonesia? Demokrasi pilpres 2014 telah menghasilkan kepemimpinan nasional yang baru dan selanjutnya memproduksi kebijakan-kebijakan nasional yang baru pula. Dalam konteks pengembangan demokrasi Indonesia yang sehat, apakah situasi demokrasi yang terjadi dalam proses pilpres dan sesudahnya merupakan situasi yang diinginkan? Apakah perilaku-perilaku, tindakan-tindakan, dan hasil-hasil demokrasi yang terjadi saat ini merupakan perilaku, tindakan, dan hasil yang diinginkan atau dibutuhkan untuk mengembangkan demokrasi Indonesia yang sehat?
Beberapa studi dan pemberitaan[4] menyatakan demokrasi Indonesia pada pilpres 2014 telah diselamatkan (survived) namun demikian masa depan demokrasi Indonesia masih sangat rentan terhadap ancaman-ancaman kelompok anti demokrasi. Pernyataan ini menyiratkan adanya ancaman yang serius terhadap demokrasi Indonesia. Dengan kata lain perilaku, tindakan, dan hasil demokrasi yang dicapai pada proses pilpres 2014 belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan pengembangan demokrasi Indonesia yang sehat. Terpilihnya Jokowi sebagai presiden mengindikasikan harapan bagi demokrasi Indonesia yang sehat akan tetapi dominannya kekuatan politik pendukung Prabowo di parlemen menyiratkan kekhawatiran akan kemunduran demokrasi Indonesia.
Situasi tersebut adalah hasil dari pengembangan institusi demokrasi yang saat ini berjalan (existing institutions). Jika tidak ada perubahan institusi demokrasi saat ini maka perilaku, tindakan, dan hasil yang sama akan terjadi di masa yang akan datang. Demokrasi Indonesia akan terus berada dalam ancaman kekuatan anti demokrasi jika institusi demokrasi yang sama terus dipertahankan. Perubahan insitusi demokrasi (democratic institutional change) merupakan keharusan untuk mengembangkan demokrasi Indonesia yang sehat.
Perubahan institusi demokrasi di sini dilihat sebagai perubahan inkremental terhadap institusi demokrasi yang telah ada. Secara garis besar, strateginya dapat dikembangkan melalui evaluasi dan refleksi secara simultan dan berkelanjutan dari institusi demokrasi saat ini dengan mengidentifikasi perilaku, tindakan, dan hasil-hasil demokrasi dengan standar nilai-nilai demokrasi Indonesia yang sehat. Pengembangan standar nilai demokrasi tersebut juga dapat dilakukan secara simultan dengan proses evaluasi dan refleksi yang dimaksud di atas.
Pengembangan standar nilai demokrasi
Asumsi dasar dari pengembangan nilai demokrasi Indonesia yang sehat adalah kenyataan bahwa Indonesia dibangun dalam keragaman agama, etnis, budaya, dan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Atas kenyataan itu pula, Pancasila dijadikan dasar negara yang mampu mewadahi keragaman tersebut. Kelima nilai Pancasila (religiositas, kemanusian, persatuan, musyawarah-mufakat, dan keadilan sosial) adalah sumber pengembangan nilai demokrasi selain relevan untuk konteks perkembangan dan dinamika demokrasi pada skala global juga bisa menjadi standar nilai demokrasi yang khas Indonesia.
Pengembangan standar nilai demokrasi ini dilakukan dengan mengembangkan berbagai interpretasi yang kreatif terhadap nilai-nilai Pancasila. Pengembangan interpretasi ini harus bersifat terbuka dan dicegah dari monopoli interpretasi oleh kelompok manapun. Dalam konteks ini, peran negara adalah memfasilitasi proses pengembangan interpretasi. Negara mengundang semua elemen bangsa untuk ikut aktif dalam pertukaran gagasan secara egaliter. Tidak ada interpretasi yang dinilai buruk, yang ada adalah interpretasi yang paling rasional, operasional, kontekstual, dan memiliki resonansi yang kuat dari berbagi aktor yang terlibat pengembangan interpretasi.
Untuk bisa dijadikan panduan operasional dalam berdemokrasi, negara melembagakan interpretasi dalam bentuk regulasi yang mengatur perilaku, tindakan, hasil demokrasi yang sejalan dengan prinsip demokrasi yang sehat. Suatu saat regulasi ini dapat dibongkar lagi ketika muncul interpretasi baru yang lebih sesuai dengan perkembangan Indonesia. Interpretasi baru ini kemudian dilembagakan kembali untuk dapat diimplementasikan secara luas. Demikian seterusnya.
Evaluasi institusi demokrasi
Simultan dengan proses interpretasi nilai-nilai Pancasila, proses evaluasi institusi demokrasi yang eksiting juga terus dilakukan. Evaluasi dimulai dengan mengidentifikasi perilaku, tindakan, dan hasil demokrasi yang terbentuk dari institusi yang dijalankan. Standar nilai demokrasi yang sehat yang bersumber dari interpretasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi acuan dalam proses evaluasi.
Seperti halnya proses interpretasi, proses evaluasi juga perlu dilakukan secara terbuka dan bebas dari dominasi dan monopoli. Setiap elemen bangsa difasilitasi untuk memberikan evaluasinya. Negara berperan membuka ruang dan memfasilitasi proses evaluasi yang egaliter dan partisipatori. Hasil-hasil evaluasi tersebut melengkapi hasil-hasil interpretasi selanjutnya dilembagakan kembali dalam regulasi untuk dijadikan pedoman dalam praktik demokrasi sehari-hari.
Refleksi kritis nilai-nilai demokrasi
Nilai-nilai Pancasila lahir dari pergulatan pemikiran pendiri bangsa dalam merespon situasi dan konteks yang dialami bangsa Indonesia dalam zaman yang berbeda dengan saat ini maupun zaman yang akan datang. Oleh karena itu, secara fundamental nilai-nilai Pancasila bukan sesuatu yang tidak dapat diubah. Situasi lingkungan atau alam Indonesia yang dari waktu ke waktu terus mengalami degradasi bisa menjadi satu contoh yang belum mendapatkan respon yang nyata dari nilai-nilai Pancasila yang ada saat ini. Kelima nilai Pancasila jika dilihat dari sudut pandang ekologi (ekosentris) belum mencerminkan adanya sikap terhadap perkembangan kondisi lingkungan. Pancasila masih bersifat antroposentris. Indonesia tentu saja tidak hanya terdiri dari manusia tetapi juga alam dan berbagai ekosistemnya yang memiliki hak yang sama untuk dilindungi dan dilayani.
Kesimpulan
Bagaimana relasi perubahan institusi demokrasi dengan masyarakat yang terlibat dalam proses demokrasi. Perubahan institusi demokrasi akan berdampak pada perilaku dan tindakan masyarakat dalam berdemokrasi dan pada gilirannya mempengaruhi hasil dari proses demokrasi. Sebaliknya perkembangan masyarakat seperti yang ditunjukkan oleh kelompok relawan juga akan mempengaruhi perubahan institusi demokrasi. Pertautan yang dinamis antara masyarakat dan berbagai institusi demokrasi dan dipandu dengan standar nilai demokrasi yang sehat akan melahirkan proses berdemokrasi yang kreatif dan genuine.
Lebih jauh, untuk mengembangkan demokrasi Indonesia yang sehat melalui perubahan institusi yang berkelanjutan diperlukan sebuah kerangka kerja (framework) perubahan institusi demokrasi yang mewadahi semua unsur atau variabel institusi demokrasi Indonesia yang sehat. Dimensi nilai Pancasila hanya merupakan salah satu unsur dari berbagai kemungkinan unsur yang ada. Unsur-unsur yang lain bisa dikembangkan dengan merujuk kepada sejauhmana kemungkinan dukungan yang akan diberikan masyarakat terhadap perubahan institusi tersebut. Secara sederhana masyarakat akan menanyakan apa keuntungan atau kerugian yang akan didapatkan dengan perubahan institusi tersebut. Selain itu, framework ini juga harus mempertimbangkan seberapa besar biaya (cost) yang perlu dikeluarkan untuk melakukan perubahan institusi tersebut. Sumber daya apa aja dan berapa besarnya yang harus dimobilisasi untuk mendukung perubahan tersebut serta bagaimana caranya.
[1] Lihat Aspinall dan Mietzner (2014) misalnya tentang Democracy’s Close Call yang menyimpulkan praktik kelompok Prabowo di parlemen sebagai upaya menghambat reformasi demokrasi dan ingin mengembalikannya ke system authoritarian era Orde Baru.
[2] Dari kajian literatur, tidak ditemukan batasan demokrasi yang rigid, tunggal, dan universal. Pengertian demokrasi seringkali tergantung pada pendekatan yang digunakan (misalnya normative atau empirik) maupun asumsi yang menjadi fokus atau penekanan dari fenomena yang dikaji.
[3] Merujuk kepada pengertian institusinya Elinor Ostrom (1990).
[4] Lihat TEMPO (Edisi 15-21 Desember) yang melaporkan secara khusus tentang peran relawan dalam pilpres 2014.