BANDUNG – Provinsi Jawa Barat sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Perda yang lahir dari inisiatif DPRD Jawa Barat ini telah diketuk palu 21 Maret lalu. Banyak kalangan menilai perda ini muncul tiba-tiba, tanpa melibatkan partisipasi seluruh masyarakat yang berkepentingan khususnya petani tembakau.
Penilaian tersebut muncul dalam Focus Group Discussion (FGD) ‘Membedah Ruang Partisipasi Publik dalam Menyusun Perda di Jawa Barat’ di Hotel Moxy, Jalan Ir H Djuanda, Bandung, Kamis (11/7/2019).
Diskusi dihadiri para calon anggota legislatif (caleg) yang bakal mengisi kursi DPRD Jawa Barat periode selanjutnya, antara lain caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa Hasim Adnan dan caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rafael Situmorang.
Hadir pula Ketua Komisi Informasi Jawa Barat Dan Satriana, aktivis pemantau anggaran dari Perkumpulan Inisiatif, Wulandari, dan pengamat sosial Budi Rajab.
Bagi Hasim Adnan dan Rafael Situmorang, perda-perda yang dinilai ‘janggal’ tentu menjadi tantangan. Di tangan calon legislatif yang baru, perda tersebut berpeluang mendapat revisi, dicabut, atau tetap dibiarkan meskipun dinilai tidak melibatkan parsitipasi masyarakat secara luas.
Hasim Adnan misalnya menyatakan siap melakukan perubahan di DPRD Jawa Barat, termasuk meninjau perda-perda yang dinilai bermasalah, salah satunya Perda KTR. Ia menyatakan, Perda KTR berpeluang direvisi jika pembuatannya tidak tidak sesuai prosedur.
“Perda KTR sangat mungkin direvisi. Dalam kontek partisipasi masyarakat yang berkepentingan (petani dan pengusaha tembakau). PKB concern soal ini, karena salah satu basis PKB adalah petani,” ungkap Hasim Adnan.
Menurutnya, penyusunan perda harus melibatkan semua pihak. Termasuk dalam membuat Perda KTR, pihak yang pro rokok dan antirokok harus diundang untuk berpartisipasi dan memberi masukan.
Ia menduga, pembuatan Perda KTR tidak melibatkan petani tembakau sejak dalam perencanan. “Kalau tak dilibatkan berarti perda kategorinya maladmministrasi atau malprosesur. Kalau perda tak sesuai harus direvisi,” katanya.
Rafael Sitomorang juga menyatakan penyusunan regulasi perlu melibatkan masyarakat. Hanya saja, dalam hal ini masyarakat sendiri harus aktif memperjuangkannya. Sebagai yang concern di ketenagakerjaan, ia mencontohkan soal Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Di situ ada bentrok kepentingan antara buruh dan pengusaha.
Di sisi lain, suatu peraturan juga tergantung aktor politik. Dalam kasus PP 78, aktor politiknya adalah pembuat regulasi, yakni pemerintah, kemudian ada pengusaha dan buruh. Di sini terjadi pertarungan ideologi antara pengusaha dan serikat pekerja atau buruh. “Sama tembakau juga begitu, ada pertarungan aktivis antirokok dan pro petani tembakau,” kata Rafael.
Untuk itulah, lanjut dia, diperlukan partisipasi masyarakat sipil. Namun masyarakat sipil harus kuat untuk memenangkan suatu regulasi yang berpihak pada kepentingannya. Jadi, partisipasi publik pun harus diperjuangkan.
“Partisipasi tergantung aktor politik dan masyarakat sipilnya. Kalau masyarakat sipilnya kuat, negara akan terbuka. Jadi jangan harap negara membuka sendiri, tetap masyarakat perlu berjuang untuk membuka jalan partisipasi,” ujarnya.
Ketua KI Jabar Dan Satriana melihat setiap penyusunan regulasi seperti undang-undang maupun perda pasti memiliki unsur kepentingan. Misalnya kepentingan politik. Regulasi sendiri merupakan produk politik.
Sama halnya dengan Perda KTR, ada kepentingan tertentu yang melatarbelakanginya. Masalahnya, Perda KTR ini tidak menunjukkan kepentingan siapa saja yang diwakili. Seharusnya siapa yang berkepentingan dibuka selebar-lebarnya sehingga terjadi transparansi.
Perda merupakan satu-satunya produk hukum daerah yang memiliki sanksi, termasuk pidana. Menurut Dan Satriana, karena itu penyusunan perda harus terbuka dan melibatkan masyarakat yang berkepentingan, antara lain petani tembakau.
Dan menyatakan, jangan sampai masyarakat tiba-tiba mendapat sanksi tanpa tahu kapan peraturan tersebut disahkan. Dan mengaku baru tahu ada Perda KTR. “Dalam rokok kelihatan betul kepentingannya ada tapi tak dibuka. Supaya jelas kepentingan siapa maka harus dilakukan di meja yang tebuka,” katanya.
Wulandari dari Perkumpulan Inisiatif menyatakan, masyarakat memang harus aktif dan kritis mengawasi kinerja anggota DPRD. Misalnya mendorong DPRD untuk membuat kebijakan yang memenuhi kepentingan masyarakat luas.
“Penting bagi DPRD untuk terbuka, mengundang kelompok-kelompok masyarakat sipil. Misalnya dalam Perda KTR ini mengundang petani tembakau, apakah diundang atau tidak? Dalam aturan pembuatan perda, masyarakat yang berkepentingan harus diundang,” paparnya.
Pengamat sosial dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Budi Rajab mengamati bahwa Indonesia merupakan negara yang gemar membuat peraturan. Banyak hal yang diperdakan. Beda dengan negara-negara di Erop yang justru antimembuat perda. Masyarakat maju membuat suatu aturan lewat kesepakatan-kesepakatan tak tertulis dan dipatuhi bersama.
Budi juga menyatakan, pembuatan suatu aturan harus memiliki banyak landasan, yakni filosofis, ideologis, hukum, dan sosiologis. “Kalau rokok mau diperdakan, libatkan orang-orang merokok. Serikat petani tembakau diundang tidak. Kalau tidak, salah perdanya,” ujarnya.
(zik)
Sumber : https://jabar.sindonews.com/read/8550/1/perda-kawasan-tanpa-rokok-di-jabar-berpeluang-direvisi-1562900873 (akses 12 Juli 2019)