Penerbitan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) fiktif disebut sebagai modus korupsi di lingkungan pemerintahan yang sudah menjadi rahasia umum. Kelemahan perencanaan anggaran menjadi pangkal persoalan.
“(Modus) SPPD fiktif itu di mana-mana terjadi. Di level daerah atau kementerian sama saja. Pergi dua hari, tanda tangan untuk tiga atau emapat hari. Atau tiba-tiba orang (aparatur sipil negara/ASN) disuruh tanda tangan, lalu dapat amplop, padahal tidak pergi ke mana-mana. Biasa itu,” kata peneliti Perkumpulan Inisiatif, Donny Setiawan.
Menurut Donny, salah satu penyebab utama modus penerbitan SPPD fiktif adalah lemahnya manajemen perencanaan sejak awal proses perumusan anggaran. Banyaknya capaian program yang meleset dari target membuat mereka yang berwenang mengelola anggaran tertekan oleh tuntutan serapan. Pembuatan SPPD fiktif merupakan salah satu jalan pintas paling jamak dilakukan.
“Ukuran keberhasilan lewat serapan anggaran anggaran itu sering kali menekan pengelola anggaran. Kalau serapan rendah, tahun depan, mereka bisa dihukum dengan alokasi dana yang lebih kecil dari tahun sebelumnya. Sistem seperti ini yang kadang juga jadi pemicu,” ucap Donny.
Di lingkungan sekretariat dewan, contohnya, lemahnya perencanaan nampak dalam kegagalan memprediksi kegiatan-kegiatan perjalanan dinas baik di komisi, badan maupun panitia khusus. Yang paling rentan adalah kegiatan sosialisasi, konsultasi dan bimbingan teknis. Menurut Donny, ada permasalahan terkait dengan kapasitas manajemen.
Perencanaan sebaiknya menggunakan skema underestimate, bukan overestimate. Namun, karena kebiasaan penaikan pagu anggaran setiap tahun, pendekatan overestimate yang selalu dipakai. Padahal, proses politik sering mengambil porsi besar dalam berhasil-tidaknya program-program di dewan. Misalnya, pembahasan raperda yang direncanakan 10 dalam satu tahun masa sidang, ternyata hanya bisa dituntaskan tiga atau empat.
“Ada dua kemungkinan pelanggaran SPPD fiktif di lingkungan sekretariat dewan. Yang pertama, ini murni inisiatif orang-orang di sekretariat yang punya kewenangan anggaran. Artinya, anggota dewan tidak ikut-ikutan, sekadar menerima. Tetapi yang kedua, praktik ini juga bisa jadi bancakan,” kata Donny.
Bancakan SPPD fiktif, menurut Donny, membuat korupsi jenis ini terus berulang dari tahun ke tahun. Pengaturannya sudah disiapkan secara matang jauh-jauh hari, bukan karena kemendesakan akibat tuntutan persentase serapan anggaran. Donny yakin, yang terlibat dalam kongkalikong seperti ini ada di level pimpinan. Sulit bagi para anggota untuk memengaruhi pengelolaan anggaran di sekretariat.
Mekanisme Pengawasan
Donny Setiawan menyatakan, pemerintah pusat sudah menerbitkan beberapa aturan yang memperketat pengelolaan perjalanan dinas. Salah satunya adalah regulasi yang menentukan standar perjalanan dinas berdasarkan radius kegiatan, bukan lagi semata-mata berdasarkan wilayah administratif. Pemerintah juga menetapkan batasan-batasan frekuensi jatah perjalanan dinas.
Masing-masing pemerintah daerah juga sudah menjabarkan peraturan pemerintah pusat tersebut. Salah satunya lewat penentuan standar biaya akomodasi dari dan ke daerah bersangkutan. Selain kapasitas pejabat pengelola anggaran, menurut Donny, titik terlemah ada di mekanisme pengawasan.
“Pos anggaran untuk perjalanan dinas itu selalu muncul dalam temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Seolah-olah tidak ada perbaikan. Pengawasan secara internal, yang melekat di Inspektorat, masih terlalu lemah. Harus dicari rumusan yang lebih kuat dan efektif,” katanya.
Khusus untuk kasus yang melibatkan anggota dewan, Donny menyoroti perlunya skema baru pengelolaan dana partai politik. Selama ini para anggota dewan menjadi andalan dari parpol masing-masing untuk memberikan kontribusi lewat iuran. Jumlahnya sering kali tidak sedikit.
“Dengan penghasilan dewan yang relatif tidak mewah, dari mana mereka mendapatkan dana-dana tambahan ? Ya perjalanan dinas ini yang kemudian jadi jalan keluar paling mudah,” ucap Donny. (Tri Joko Her Readi/”PR”)***