Transisi Minus Substansi
Lebih dari 10 tahun proses transisi demokrasi di Indonesia telah berlangsung. Optimisme tumbuh pada hampir seluruh kalangan. Sebuah optimisme akan berlangsungnya praktik politik dan ekonomi yang lebih menjamin kelangsungan hidup masyarakat secara lebih baik. Berbagai perundang-undangan baru dibuat. Mulai dari amandemen UUD sampai pada petunjuk teknis pada tingkat kementrian atau lembaga. Berbagai lembaga juga didirikan untuk memastikan bahwa skenario transisi demokrasi dapat dikawal dengan baik. Mulai dari pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga-lembaga komisioner di tingkat pusat yang fokus pada bidang tertentu, sampai pada kelembagaan baru yang dibentuk di daerah-daerah. Begitupun ritual demokrasi politik melalui berbagai pemilu telah mendapat sanjungan dari kalangan dunia internasional.
Tapi apa makna itu semua bagi tujuan sesungguhnya dari proses transisi ini? Atau apa tujuan sebenarnya dari didorongnya proses transisi ini? Apakah untuk sebenar-benar peningkatan kesejahteraan rakyat atau sekedar untuk mendapat sanjungan negara- negara donor supaya aliran pinjaman, investasi dan hibah terus terjamin?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena transisi demokrasi yang sangat prosedural tersebut sangat minus substansi. Bahkan pemerintahpun terkesan tidak jujur. HaI ini tercermin dalam statement seperti “fundamen ekonomi kita sangat kuat”. Mahasiswa semester I saja bisa mengkritik, tidak mungkin ada ekonomi yang kuat di atas 45,7 juta orang miskin (BPS). Padahal Joyo Winoto sendiri selaku Kepala BPN mengakui bahwa saat ini 56 persen aset negeri ini hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk (Kompas, 4 Oktober 2010, dikutip Kacung Marijan dalam Kompas, 13 Oktober 2010). Realitas bahwa penguasaan aset berbentuk piramida terbalik seperti itu memang bisa ditemui di berbagai negara. Namun, apa yang ditemukan di sini sungguh mencengangkan. Realitas ini bahkan sulit ditemukan di negara-negara kapitalis sekalipun!
Kenyataan tersebut sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika kita benar-benar merekam secara jujur atas apa yang terjadi dengan praktik dan kultur politik yang berkembang saat ini. Yaitu, praktik politik dagang. Logika dan cara-cara yang dipakaipun tidak ada bedanya dengan praktik berdagang yang semata-mata mengejar keuntungan. Padahal ada perbedaan mendasar antara politik dan dagang, yaitu tanggung jawab pada kepentingan umum.
Seperti halnya dalam dunia perdagangan, praktik politik kita dikuasai oleh sistem oligarki, hitungan untung-rugi yang dinilai oleh mata uang dan percaloan. Bahkan rantai pelakunya pun benar-benar sama. Mulai dari adanya para investor, para pialang, bandar (tengkulak), distibutor sampai pada pengecer. Dampaknya, kepentingan yang bermain adalah pencarian laba, bukan dedikasi pada perubahan kehidupan masyarakat supaya lebih baik.
Dalam situasi seperti itu, kekhawatiran terhadap perubahan yang mengarah pada suatu keadaan yang disebut oleh Sorensen (1993) sebagai frozen democracies atau demokrasi yang membeku -suatu keadaan dimana arus perubahan menuju masyarakat demokratik tiba di satu titik balik atau mengalami pembusukan- menjadi mengemuka.
Titik balik itu dapat terjadi manakala: (a) pemerintahan baru yang berkuasa tidak mampu menjalarkan perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan masyarakat –khususnya yang menyangkut kepentingan kaum miskin; (b) pemerintah yang baru gagal untuk menuntaskan sejumlah warisan permasalahan yang akut yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya, seperti kasus-kasus korupsi dan pelanggaran-pelanggaran HAM; (c) tata tertib dan iklim yang kondusif bagi kelangsungan proses demokratisasi gagal untuk diciptakan; dan (d) konsolidasi demokrasi itu sendiri tidak terjadi -yakni praktik-praktik demokrasi tidak berkembang dan tidak menjadi bagian dari budaya politik (Sorensen,1993).
Arahan untuk Agenda Aksi
Menghadapi sejumlah situasi yang tengah dihadapi tersebut, tidak hentinya saya mengajak, sesungguhnya apa yang patut kita jawab bersama-sama : Apa yang hendak diperbuat aktor-aktor gerakan sosial di tengah-tengah proses transisi ini?
Pertanyaan ini memiliki relevansi setidak-tidaknya pada dua hal. Pertama, dalam konteks waktu dimana saat ini kita sedang berada di tengah-tengah proses tansisi menuju demokrasi dengan dihadapkan pada kenyataan-kenyataan : berkembangnya ketidakpercayaan politik, skeptisisme, dan sikap apatis yang berhubungan erat dengan pengalaman panjang masyarakat yang hidup di tengah-tengah kediktaktoran, sejarah kekacauan dan keterputusan hubungan-hubungan politik, ingatan-ingatan atas perilaku manipulatif dan suatu transmisi nilai-nilai apolitis yang sistematik. Kedua, secara subyektif dari posisi kita sebagai bagian dari gerakan sosial, sadar betul bahwa budaya gerakan massa yang dapat melahirkan gerakan-gerakan sosial yang berumur panjang telah hilang dalam kehidupan sebagian besar rakyat di negeri ini.
Secara umum, ada tiga agenda penting yang harus menjadi arah strategis tindakan kita. Pertama adalah mempertahankan dan merebut kembali negara untuk menjadi pembela hak-hak rakyat denganmemastikan negara untuk menjaga dan melindungi hak ekonomi, budaya, dan sosial. Kedua, terus menerus melakukan protes sosial untuk mengubah kebijakan Negara dan mencermati kesepakatan negara dengan pasar bebas dan kebijakan neoliberal. Ketiga, pekerjaan rumah terbesar dan tersulit yang mesti dihadapi setiap gerakan sosial adalah melakukan pengembangan kapasitas counter discourse and hegemony atas dominasi diskursus neoliberal terhadap demokratisasi, good governance, dan civil society.
Karena itu, secara khusus upaya-upaya kita sudah semestinya tidak hanya sekedar mengembangkan sejumlah tindakan teknis yang diperlukan untuk kerja-kerja advokasi bagi perubahan kebijakan semata dengan segala aksi-aksi kolektif pendukungnya. Melainkan, yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan kapasitas berpolitik dari rakyat atau kelompok-kelompok rakyat yang selama ini terpinggirkan.
Jadi, gerakan rakyat tidak lagi sekedar diletakkan sebagai upaya untuk mendorong perubahan kebijakan publik atau sekedar terlibat di dalam proses pembentukan kebijakan publik, tetapi menjadi bagian dari manuver-manuver politik ideologis untuk menggeser kekuasaan. Atau, tegasnya dapat disebut sebagai ruang-ruang perebutan kekuasaan. Ini artinya prinsip-prinsip pengelompokan dan prinsip-prinsip organisasi harus menjad sumber utama kekuatan aksi politik secara kolektif.
Dalam konteks agenda-agenda politik yang kita jalankan, tingkat kesuksesannya harus didefinisikan dalam bentuk tanggung jawab sistem politik pada terwujudnya keadilan dan kesejateraan bagi rakyat. Pencapaiannya dapat dilakukan setahap demi setahap.
Pertama, capaian ‘akses’ yaitu kesediaan pemerintahan untuk mendengarkan apa yang menjadi concern kita. Kedua, capaian pada tingkatan agenda yaitu kesediaan pemerintaban untuk menempatkan agenda-agenda yang kita desakkan meniadi agenda- agenda politiknya. Ketiga, capaian kebijakan yaitu pemerintahan mengadopsi kebijakan baru yang mencerminkan sebagai tuntutan kita. Keempat, capaian pada level output yaitu pemerintahan secara efektif mengimplementasikan kebijakan baru tersebut. Kelima, capaian pada level impact yaitu implementasi kebijakan baru tersebut memberikan dampak pada perbaikan kehidupan, khususnya bagi kelompok-kelompok rakyat marjinal yang terlibat dalam gerakan sosial. Keenam, capaian pada level sistem politik yaitu rakyat memiliki kontrol terhadap praktik kekuasaan bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Rekomendasi
Dalam menjalankan pilihan dan tindakan-tindakan politik kita, tidak bisa dipungkiri aspek sumber daya organisasi, yang terdiri dari sumber daya manusia (kader dan basis pengorganisasian) dan sumber daya finansial merupakan masalah terbesar. Dalam aspek sumber daya manusia, persoalan yang dihadapi mulai dari persoalan minimnya proses internalisasi ideologi yang termanifestasi sampai pada tataran praksis, kesadaran kolektif yang masih lemah sampai pada masih terbatasnya skill-skill khusus yang dibutuhkan.
Kelemahan pada aspek sumber daya manusia (SDM) ini juga menyebabkan organisasi tidak bisa bekerja secara optimal dan menjadikan organisasi resisten terhadap berbagai perubahan. Dalam hal ini yang penting adalah mengintegrasikan kebutuhan pengembangan SDM dengan rencana strategis jangka panjang organisasi sehingga pengembangan SDM tidak dilihat sebagai proses yang terpisah (piece-meal), pragmatis dan insidentil sifatnya dari pengembangan organisasi itu sendiri.
Sumber daya finansial atau basis ekonomi produktif adalah masalah utama lainnya dalam membangun keberlanjutan dan kontinuitas agenda-agenda strategis organisasi. Sejauh ini organisasi masih bergantung pada pihak eksternal, yaitu lembaga donor. Kebiasaan ini dengan sendirinya akan memunculkan ketergantungan yang tinggi terhadap pihak luar dalam pembiayaan organisasi. Padahal dukungan lembaga donor pasti mempunyai batasan baik dari segi jumlah maupun jangka waktu, sehingga dukungan itu harus dilihat sebagai dukungan yang komplementer bukan dukungan yang utama seperti yang terjadi pada saat ini.
Oleh karenanya, organisasi harus segera mulai memikirkan bagaimana mengembangkan sumber daya pembiayaan organisasi di luar dukungan lembaga donor yang nantinya akan menjadi sumber utama pembiayaan organisasi. Mobilisasi sumber daya lokal melalui penumbuhan unit-unit ekonomi produktif berbasis potensi sendiri merupakan langkah penting untuk mendiversifikasi sumber-sumber daya finansial.
Kesimpulannya, saya merekomendasikan 3 (tiga) program stategis yang mendesak. Pertama, menyusun dan menyepakati panduan ideologis organisasi yang menjadi sumber rujukan, sistem alarm sekaligus batasan ruang gerak kita. Di dalamnya penting untuk kita tegaskan analisa, pandangan serta sikap politik-ekonomi organisasi. Tentunya proses ini tidak dilakukan secara singkat dan terburu-buru, melainkan melalui proses yang sistematis dan berkelanjutan.
Kedua, mengembangkan dan menjalankan proses pendidikan kader secara lebih sistematis. Hakikat kader adalah mereka yang akan memastikan tetap menyala atau berkobarnya ideologi organisasi dari masa ke masa. Untuk ini, kita bisa mulai merumuskan panduan pendidikan, kurikulum dan sistem operasional pendidikan kader secara lebih sistematis. Sebuah panduan pendidikan yang tidak hanya fokus pada isu tertentu, tapi panduan pendidikan secara lebih mendasar yang menempatkan prosesnya sebagai bagian dari peneguhan ideologi, kesadaran dan solidaritas.
Ketiga, pengembangan basis ekonomi produktif organisasi. Dapat dimulai membangun basis pengetahuannya, mengembangkan jaringan ekonomi dengan berbagai inisiatif yang sama sampai pada percobaan pengembangan demo plot-demo plot.. Semua ini kalau kita jalankan secara serius, saya yakin organisasi ini akan memiliki umur yang lebih paqiang dan kontibusi yang lebih nyata bagi perubahan.
Tulisan ini disampaikan pada Rapat Tahunan Anggota Perkumpulan INISIATIF di Puri Bali, Baleendah, 16-17 Oktober 2010