Implementasi Kebijakan Pajak Rokok
Di tahun 2014, kebijakan desentralisasi fiskal difokuskan pada penguatan kemampuan keuangan daerah, di sisi pendapatan asli daerah (PAD) yang salah satunya melalui implementasi pajak rokok. Implementasi pajak rokok mulai diterapkan sejak 1 Januari 2014[1], dengan mekanisme bagi hasil kepada pemerintah provinsi yang pemungutannya dilakukan oleh pemerintah pusat dengan mengenakan tambahan pajak pada rokok, meskipun sudah dikenakan cukai, selanjutnya bagian pemerintah provinsi tersebut akan dibagihasilkan kembali kepada kabupaten/kota.
Kebijakan pajak rokok selain bertujuan untuk meningkatkan PAD, juga bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok, mengendalikan peredaran rokok ilegal, serta melindungi masyarakat atas bahaya merokok. Penerapan pajak rokok sebesar 10%[2] dari cukai rokok dimaksudkan juga untuk memberikan peran yang optimal bagi pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan kesehatan masyarakat. Pemda diberikan tugas dan tanggungjawab untuk turut serta dalam menjaga kesehatan masyarakat dari bahaya rokok dan melakukan pengawasan terhadap rokok di daerah masing-masig termasuk peredaran rokok ilegal.
Akan tetapi, sejauhmana penerapan pajak rokok yang telah dipungut oleh pemerintah pusat, yang kemudian dibagihasilkan kepada pemerintah provinsi dan selanjutnya diteruskan pembagiannya kepada kabupaten/kota, apakah telah mengindahkan ketentuan penggunaan dana bagi hasilnya atau justru sebaliknya?
Faktanya dana yang diperoleh dari pajak rokok tidaklah mulai berlaku di tahun 2014 saja, melainkan aliran dana bagi hasilnya telah berjalan pada tahun-tahun sebelumnya.
Realisasi Penerimaan Pajak Rokok 2014 dan Implementasinya
Target penerimaan cukai hasil tembakau di tahun 2014 diperkirakan sekitar Rp.9,6 triliun, meski di dalam APBN-P telah menetapkan alokasi target penerimaan sebesar Rp.114,3 triliun. Namun demikian sepertinya target tersebut tidak mampu dicapai, jika melihat kondisi penerimaan pajak rokok per Desember 2014 dengan total mencapai Rp.7,3 trilliun, yang diperoleh dari 33 provinsi.
Kontribusi pajak rokok terbesar di tahun 2014 adalah Provinsi Jawa Barat, dengan besaran kontribusi pajak rokok yang disetor sebesar 18,30 persen atau setara dengan 1,3 triliun, yang diikuti oleh Jawa Timur sebesar 15,39 persen dan Jawa Tengah sebesar 13,14 persen. Sementara 30 provinsi lain berkontribusi dengan besaran yang variatif dari 0,34 persen sampai 5,39 persen. Kontribusi terendah terdapat di Papua Barat, yaitu sebesar 0,34%.
Sumber: Diolah dari Setoran Pajak Rokok Triwulanan – Ditjen Perbendaharaan dan Perimbangan Keuangan 2014
Di tahun yang sama, yakni 2014, pemerintah pusat pada dasarnya telah menyalurkan DBH CHT ke pemerintah daerah, dengan perhitungan didasarkan pada penerimaan pajak rokok di tahun 2013 yaitu sebesar 103,57 triliun. Sementara pengalokasian besaran alokasi definitif DBH CHT tahun 2013 adalah sebesar dua persen dari penerimaan negara atau setara dengan Rp. 2,2 triliun lebih.
Adapun total alokasi DBH CHT bersumber dari penerimaan pajak rokok/cukai rokok oleh pemerintahan pusat , disalurkan ke Rekening Keuangan Umum Daerah (RKUD) di 16 provinsi saja, dengan ketentuan pelaksanaan dana sebesar 30 persennya diperuntukkan bagi pemerintah provinsi, sementara 70 persen di antaranya dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dengan syarat dari 70 persen yang dibagihasilkan ke kabupaten/kota, 40 persen di antaranya diperuntukkan bagi kabupaten/kota penghasil tembakau dan cukai tembakau. Mekanisme pembagian per kabupaten/kota diatur oleh gubernur.
Melihat alokasi definitif DBH CHT tahun 2013 yang dilaksanakan pada tahun 2014 di daerah, Provinsi Jawa Timur mendapatkan alokasi sebesar 52 persen, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah 22 persen, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat serta Jawa Barat yang masing-masing sebesar 10 persen. Sedangkan 12 provinsi lainnya di bawah dari satu persen.
Sumber: Diolah dari PMK 181/PMK.07/2013 tentang Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2013
Di masa pergantian pemerintahan dan di tengah isu anggaran nasional yang semakin menipis, pemerintahan Susilo Bambang Yudhono telah mengalokasikan dalam RAPBN 2015 untuk alokasi DBH CHT sebesar Rp.2.411.143.800 (2,4 triliun)[3], dengan asumsi perkiraan penerimaan pajak di tahun 2014 mencapai 114,3 triliun, atau setara dengan 2 (dua) persennya[4]. Dengan kondisi penerimaan pajak rokok yang disetor dari pemerintah provinsi yang mencapai Rp.7,3 triliun, dengan dasar perhitungan yang tetap sebesar 2 persen, seharusnya besaran alokasi dana yang disalurkan sebesar Rp. 143 miliar lebih.
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.07/2015 tentang Rincian Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota TA 2015 adalah sebesar Rp. Rp.2.411.143.800. Berarti DBH CHT tahun 2015 tetap merujuk pada asumsi penerimaan pajak tahun 2014 yang ditargetkan mencapai 114,3 triliun, sementara pada kenyataannya penerimaan pajak rokok tahun 2014 hanya mencapai Rp.7,3 triliun saja atau setara denan 6,3 persen dari penerimaan yang ditargetkan. Artinya, di era pemerintahan Jokowi-JK boleh jadi harus menutupi kekurangan alokasi DBH CHT sekitar Rp.107,2 triliun.
Penyaluran alokasi DBH CHT tahun 2015, disalurkan kepada 17 provinsi. Dengan kata lain, terdapat satu provinsi tambahan yang mendapatkan alokasi dan dari tahun sebelumnya yaitu Provinsi Kalimantan Tengah. Adapun besaran tertinggi disalurkan ke Provinsi Jawa Timur sebesar 51,9 persen, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah sebesar 22,6 persen, Provinsi Jawa Barat sebesar 11 persen dan Nusa Tenggara Barat sebesar 8,4 persen. Sementara, 13 provinsi lainnya, dialokasikan pada kisaran 0,2 persen sampai 0,9 persen.
Sumber: Hasil Analisis dari PMK 25/PMK.07/2015 tentang Rincian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2015
Dari analisis di atas dapat disimpulkan, bahwa terdapat 4 provinsi di Indonesia yang mendapat alokasi dana bagi hasil cukai tembakau yang relatif besar, dan kondisi tersebut tidak terjadi pada tahun 2015 saja, melainkan berlaku pada tahun-tahun sebelumnya. Keempat provinsi itu merupakan provinsi yang berlangganan DBH CHT terbesar setiap tahunnya, yang turut diikuti dengan tiga provinsi tambahan lainnya seperti D.I. Yogyakarta, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, seperti yang disajikan pada tabel berikut:
Tabel Perbandingan DBH-CHT 2013-2015
Sumber: Hasil Analisis 2015
Dilihat dari pemungutan dan penyetoran pajak rokok tahun 2014, terdapat 7 (tujuh) provinsi penyumbang pajak rokok tertinggi, yang bila diurutkan dari posisi tertinggi di antaranya Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, Jawa tengah, Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan. Sedangkan, dari pengalokasian besar kecilnya DBH CHT yang disalurkan tidak selalu diukur dari jumlah setoran pajak rokok yang diterima negara dari provinsi, sebagai contoh selama tiga tahun terakhir Provinsi Banten dan DKI Jakarta justru tidak mendapatkan alokasi DBH CHT, melainkan DI. Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat.
Merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2009 tentang Cukai, bahwa pagu alokasi DBH CHT dibagikan kepada provinsi penghasil cukai tembakau dan provinsi penghasil tembakau, sebesar 2 (dua) persen dari penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.[5] Artinya subjek provinsi penerima DBH CHT adalah penghasil cukai dan penghasil tembakau. Artinya boleh jadi, Provinsi Jawa Barat dengan penyumbang setoran pajak rokok tertinggi, tetapi jumlah produksi tembakaunya rendah, sehingga besaran alokasi DBH CHT yang disalurkan mendudukkan Jawa Barat di posisi ketiga dibanding Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan, Provinsi Banten dan DKI Jakarta yang memiliki peran dalam kontribusi pajak rokok relatif tinggi, namun bukan merupakan provinsi sentra penghasil tembakau mampu digeser oleh Provinsi DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat.
Simpulan
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :
- Tahun anggaran pengalokasian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tahun 2015 merujuk pada asumsi realisasi pendapatan pajak rokok, bukan didasarkan pada kondisi nyata penerimaan pajak rokok dari setiap provinsi di tahun 2014.
- Siklus pengalokasian DBH CHT dalam satu tahun, berlaku juga dengan pelaksanaan anggaran DBH CHT pada tahun yang sama. Sebagai contoh, di tahun 2014 setiap provinsi telah menerima alokasi DBH CHT tahun anggaran 2013, yang dilaksanakan tahun 2014. Dan pada tahun yang sama, setiap provinsi turut pula dipungut dan menyetor pajak rokoknya yang dijadikan sebagai penerimaan negara, dan untuk dialokasikan pelaksanaannya di tahun 2015.
- Dasar penentuan besar dan kecilnya alokasi DBH CHT tidak selalu dihitung dari besaran penyetoran pajak rokok di daerah, melainkan didasarkan pula apakah provinsi tersebut merupakan daerah penghasil tembakau atau bukan.
- Selama tiga tahun terakhir alokasi DBH CHT hanya dialokasikan bagi 16 provinsi dari total 33 provinsi di Indonesia, dan di tahun 2015 terdapat penambahan provinsi menjadi 17 provinsi. Artinya, hasil pajak rokok dari 16 provinsi lainnya turut disumbangkan bagi 17 provinsi pelanggan DBH CHT di tahun 2015.
- Provinsi Jawa Barat merupakan kontributor pajak rokok tertinggi di tahun 2014, tetapi menempati posisi ketiga dalam besaran DBH CHT yang dibagikan, kondisi tersebut boleh jadi dipengaruhi oleh rata-rata produksi tembakau di Provinsi Jawa Barat yang menurun dari 4 (empat) kabupaten sentra tembakau yakni Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Majalengka.
[1] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK 07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok
[2] Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
[3] Peraturan Presiden Nomor 162 Tahun 2014 tentang Rincian APBN TA 2015, Lampiran 10.
[4] Pasal 66A ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
[5] Pasal 66A ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan Putusan Mahkamah Konsitusi RI Nomor 54/PUU-VI/2008 tanggal 14 April 2009 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945