Fubertus Ipus, atau lebih akrab disebut Ipur masih menunjukan raut muka yang ragu. Dahinya berkerut, kacamatanya diletakan diatas rambutnya. “Saya tidak yakin kita mampu menghitung berapa potensi kerugian Negara dari dibukanya lahan hutan oleh perusahaan nakal. Hitung menghitung seperti itu pekerjaan orang professional. Tantanganya terlalu berat” begitu ungkap Ipur diawal pelaksanaan program fellowship Perkumpulan Inisiatif di Kalimantan Barat.
Namun cara pandang Ipur berbeda dengan cara pandang Tim Fellowship Perkumpulan Inisiatif (PI). Tim PI justru berpandangan bahwa siapapun termasuk kalangan CSO sebenarnya mampu menghitung besaran kerugian Negara atas pembukaan hutan oleh perusahaan nakal. Pandangan tim Perkumpulan Inisiatif tersebut berasal dari hasil otak atik formulasi penghitungan pendapatan Negara di sector hutan.
Dari kajian tim PI, potensi kerugian Negara dari sector hutan sederhananya dapat dilihat dari komponen Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Komponen ini sangat mungkin dihitung karena pemerintah telah membuat formulasinya dengan jelas. Hanya saja selama ini upaya penghitungan ini selalu dilakukan oleh pemerintah tanpa ada data pembanding lainnya. Padahal sebenarnya kelompok masyarakat sipil mampu menghitungnya juga dengan syarat utama yaitu berupa basis data yang bisa dipertanggungjawabkan.
Walaupun masih dibayangi kemasygulan, Ipur dan tim fellowship lainnya berusaha mencoba saran dari tim Perkumpulan Inisiatif. Karena akurasi data merupakan modal utama, maka harus dipastikan data yang dipakai harus diproduksi sendiri lalu kemudian basis data tersebut dihitung sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka dibentuklah sebuah tim dengan komposisi tim ahli pemetaan udara, wawancara lapangan dan tim hitung data. Tim ahli pemetaan udara ini akan menganalisis tapak berdasarkan peta citra satelit. Sedangkan tim wawancara lapangan bertugas mengkonfirmasi hasil analisis pencitraan peta kepada masyarakat dan melihat kondisi kenyataan lapangan. Terakhir, tim hitung akan mengoperasionalkan rumus-rumus penghitungan PSDH dan DR berdasarkan data yang didapatkan dari analisis pencitraan peta yang sudah dikonfirmasi oleh tim lapangan.
Untuk mempermudah pekerjaan, tim memutuskan memilih salah satu perusahaan saja yang akan dianalisis. Pemilihan perusahaan serta lokasi yang dianalisis berdasarkan hasil kajian data sekunder serta rekam jejak, Elpagar sebagai CSO yang sudah mempunyai sejarah panjang pendampingan masyarakat di Kabupate Sangau yang sekarang dipimpin oleh Ipur. PT MSKA dipilih sebagai objek analisis. Alasan kuatnya karena berdasarkan informasi awal dan kajian data sekunder PT MSKA dipandang sebagai perusahaan yang bermasalah.
Segera setelah itu, tim bergerak serentak. Tim analisis pencitraan mencari data peta dari beberapa sumber untuk kemudian dianalisis menggunakan citra satelit dan dioverlay dengan peta lain yang tersedia untuk kemudian di konfirmasi melalui tim pengumpulan dan survey lapangan.
Setelah bekerja kurang lebih sebulan, tim berhasil menemukan beberapa hal menarik. Berdasarkan hasil analisis citra satelit yang telah diverifikasi serta validasi data lapangan telah terjadi tumpang tindih areal kawasan pengelolaan PT MSKA dengan area hutan produksi. Berdasarkan hasil Analisa tim GIS dari total 10.351 Ha konsesi perkebunan kelapa sawit milik PT. Mitra Sawit Kumala Abadi sekitar 2.103 Ha, atau sekitar 20 persen dari luasan IUP berada pada Kawasan hutan produksi (HP). Hal ini berarti, PT MSKA seharusnya membayar iuran PSDH dan DR untuk lahan yang tumpang tindih seluas 2.103 hektar tersebut. Namun dari hasil penyelusuran lapangan, ada indikasi kuat bahwa PT MSKA tidak punya itikad baik, karena semenjak selesai pembukaan lahan hutan PT MSKA tidak pernah sama sekali mengolah lahan yang sudah dibuka untuk dijadikan sebagai lahan kebun kelapa sawit.
Setelah mengetahui fakta tersebut, tim penghitungan langsung bekerja. Dari total luasan konsesi PT. MSKA, yang bisa dianalisis hanya hutan dengan jenis hutan lahan kering sekunder, dan hutan rawa sekunder. Berdasarkan hasil perhitungan, sepanjang 10 tahun terakhir sejak 2009 sampai 2019 terjadi kehilangan tutupan hutan di dalam dua kawasan tersebut kurang lebih 57 Hektar. Luas tutupan yang hilang tersebut dihitung dari selisih luas tutupan lahan hutan tahun 2009 yang masih mencapai 69 hektar lalu pada tahun 2019 tersisa hanya 12 hektar. Dengan basis data tersebut, berdasar pada rumus yang sudah disediakan oleh pemerintah maka didapatkan potensi pendapatan Negara dari PSDH sebesar kurang lebih Rp. 565.272.000.00 dan DR mencapai Rp.290.000.000 atau totalnya sekitar Rp. 852.000.000
Jika melihat pada angka rupiah ini terkesan kecil, namun jika dikonfirmasi dengan kondisi lapangan dimana PT MSKA terindikasi “ kabur” maka bisa dipastikan jumlah yang seharusnya dibayarkan PT MSKA tidak akan dibayarkan. Dan bukan tidak mungkin kasus PT MSKA ini terjadi di kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Barat.
Di akhir desember 2021, Setelah berhasil menghitung potensi kerugian Negara tersebut dan mempresentasikannya kepada tim PI raut muka Ipur berbeda dengan ketika dulu pertama kali diskusi tentang kemungkinan masyarakat sipil untuk menghitung potensi kerugian Negara dari PSDH dan DR. Diakhir salah satu pertemuan, Ipur menyatakan bahwa temuan hasil analisis ini sangat menarik danlayak diberitahukan kepada pemerintah Sanggau untuk ditindaklanjuti. Selain itu, Ipur mulai membayangkan jika langkah yang dilakukan oleh tim fellowship Kalbar ini diterapkan di kabupaten-kabupaten yang memiliki kebun sawit di Provinsi Kalimantan, maka gambara besaran potensi kehilangan Negara dapat tergambar dengan jelas dan tentu saja apa yang telah dilakukan oleh tim fellowship Kalbar ini bisa di klaim sebagai contoh baik yang bisa dijadikan sebagai rujukan banyak orang.
Fubertus Ipus, atau lebih akrab disebut Ipur masih menunjukan raut muka yang ragu. Dahinya berkerut, kacamatanya diletakan diatas rambutnya. “Saya tidak yakin kita mampu menghitung berapa potensi kerugian Negara dari dibukanya lahan hutan oleh perusahaan nakal. Hitung menghitung seperti itu pekerjaan orang professional. Tantanganya terlalu berat” begitu ungkap Ipur diawal pelaksanaan program fellowship Perkumpulan Inisiatif di Kalimantan Barat.
Namun cara pandang Ipur berbeda dengan cara pandang Tim Fellowship Perkumpulan Inisiatif (PI). Tim PI justru berpandangan bahwa siapapun termasuk kalangan CSO sebenarnya mampu menghitung besaran kerugian Negara atas pembukaan hutan oleh perusahaan nakal. Pandangan tim Perkumpulan Inisiatif tersebut berasal dari hasil otak atik formulasi penghitungan pendapatan Negara di sector hutan.
Dari kajian tim PI, potensi kerugian Negara dari sector hutan sederhananya dapat dilihat dari komponen Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Komponen ini sangat mungkin dihitung karena pemerintah telah membuat formulasinya dengan jelas. Hanya saja selama ini upaya penghitungan ini selalu dilakukan oleh pemerintah tanpa ada data pembanding lainnya. Padahal sebenarnya kelompok masyarakat sipil mampu menghitungnya juga dengan syarat utama yaitu berupa basis data yang bisa dipertanggungjawabkan.
Walaupun masih dibayangi kemasygulan, Ipur dan tim fellowship lainnya berusaha mencoba saran dari tim Perkumpulan Inisiatif. Karena akurasi data merupakan modal utama, maka harus dipastikan data yang dipakai harus diproduksi sendiri lalu kemudian basis data tersebut dihitung sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka dibentuklah sebuah tim dengan komposisi tim ahli pemetaan udara, wawancara lapangan dan tim hitung data. Tim ahli pemetaan udara ini akan menganalisis tapak berdasarkan peta citra satelit. Sedangkan tim wawancara lapangan bertugas mengkonfirmasi hasil analisis pencitraan peta kepada masyarakat dan melihat kondisi kenyataan lapangan. Terakhir, tim hitung akan mengoperasionalkan rumus-rumus penghitungan PSDH dan DR berdasarkan data yang didapatkan dari analisis pencitraan peta yang sudah dikonfirmasi oleh tim lapangan.
Untuk mempermudah pekerjaan, tim memutuskan memilih salah satu perusahaan saja yang akan dianalisis. Pemilihan perusahaan serta lokasi yang dianalisis berdasarkan hasil kajian data sekunder serta rekam jejak, Elpagar sebagai CSO yang sudah mempunyai sejarah panjang pendampingan masyarakat di Kabupate Sangau yang sekarang dipimpin oleh Ipur. PT MSKA dipilih sebagai objek analisis. Alasan kuatnya karena berdasarkan informasi awal dan kajian data sekunder PT MSKA dipandang sebagai perusahaan yang bermasalah.
Segera setelah itu, tim bergerak serentak. Tim analisis pencitraan mencari data peta dari beberapa sumber untuk kemudian dianalisis menggunakan citra satelit dan dioverlay dengan peta lain yang tersedia untuk kemudian di konfirmasi melalui tim pengumpulan dan survey lapangan.
Setelah bekerja kurang lebih sebulan, tim berhasil menemukan beberapa hal menarik. Berdasarkan hasil analisis citra satelit yang telah diverifikasi serta validasi data lapangan telah terjadi tumpang tindih areal kawasan pengelolaan PT MSKA dengan area hutan produksi. Berdasarkan hasil Analisa tim GIS dari total 10.351 Ha konsesi perkebunan kelapa sawit milik PT. Mitra Sawit Kumala Abadi sekitar 2.103 Ha, atau sekitar 20 persen dari luasan IUP berada pada Kawasan hutan produksi (HP). Hal ini berarti, PT MSKA seharusnya membayar iuran PSDH dan DR untuk lahan yang tumpang tindih seluas 2.103 hektar tersebut. Namun dari hasil penyelusuran lapangan, ada indikasi kuat bahwa PT MSKA tidak punya itikad baik, karena semenjak selesai pembukaan lahan hutan PT MSKA tidak pernah sama sekali mengolah lahan yang sudah dibuka untuk dijadikan sebagai lahan kebun kelapa sawit.
Setelah mengetahui fakta tersebut, tim penghitungan langsung bekerja. Dari total luasan konsesi PT. MSKA, yang bisa dianalisis hanya hutan dengan jenis hutan lahan kering sekunder, dan hutan rawa sekunder. Berdasarkan hasil perhitungan, sepanjang 10 tahun terakhir sejak 2009 sampai 2019 terjadi kehilangan tutupan hutan di dalam dua kawasan tersebut kurang lebih 57 Hektar. Luas tutupan yang hilang tersebut dihitung dari selisih luas tutupan lahan hutan tahun 2009 yang masih mencapai 69 hektar lalu pada tahun 2019 tersisa hanya 12 hektar. Dengan basis data tersebut, berdasar pada rumus yang sudah disediakan oleh pemerintah maka didapatkan potensi pendapatan Negara dari PSDH sebesar kurang lebih Rp. 565.272.000.00 dan DR mencapai Rp.290.000.000 atau totalnya sekitar Rp. 852.000.000
Jika melihat pada angka rupiah ini terkesan kecil, namun jika dikonfirmasi dengan kondisi lapangan dimana PT MSKA terindikasi “ kabur” maka bisa dipastikan jumlah yang seharusnya dibayarkan PT MSKA tidak akan dibayarkan. Dan bukan tidak mungkin kasus PT MSKA ini terjadi di kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Barat.
Di akhir desember 2021, Setelah berhasil menghitung potensi kerugian Negara tersebut dan mempresentasikannya kepada tim PI raut muka Ipur berbeda dengan ketika dulu pertama kali diskusi tentang kemungkinan masyarakat sipil untuk menghitung potensi kerugian Negara dari PSDH dan DR. Diakhir salah satu pertemuan, Ipur menyatakan bahwa temuan hasil analisis ini sangat menarik danlayak diberitahukan kepada pemerintah Sanggau untuk ditindaklanjuti. Selain itu, Ipur mulai membayangkan jika langkah yang dilakukan oleh tim fellowship Kalbar ini diterapkan di kabupaten-kabupaten yang memiliki kebun sawit di Provinsi Kalimantan, maka gambara besaran potensi kehilangan Negara dapat tergambar dengan jelas dan tentu saja apa yang telah dilakukan oleh tim fellowship Kalbar ini bisa di klaim sebagai contoh baik yang bisa dijadikan sebagai rujukan banyak orang.