Jakarta, 17 Maret 2025 – Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) bersama dengan koalisi PRIMA (Peningkatan Representasi dan Inklusi Perempuan dalam Anggaran) yang terdiri dari Perkumpulan Inisiatif, International Budget Partnership (IBP), dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kebijakan Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan Penyandang Disabilitas”. Acara ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan memberikan rekomendasi terkait kebijakan kesehatan reproduksi yang inklusif bagi perempuan penyandang disabilitas di Indonesia.
FGD ini dilaksanakan sebagai respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi. Menurut WHO (2021), setidaknya terdapat empat kategori hambatan yang dialami penyandang disabilitas, yaitu hambatan sikap, fisik, komunikasi, dan sumber daya. Selain itu, implementasi pemenuhan hak atas kesehatan masih menghadapi berbagai persoalan, mulai dari budaya, keterbatasan pengetahuan petugas kesehatan, hingga sarana dan prasarana yang belum sepenuhnya aksesibel.
Salah satu fokus diskusi adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi, yang dinilai belum sepenuhnya inklusif bagi perempuan penyandang disabilitas. Permenkes ini mengelompokkan perempuan penyandang disabilitas dalam kondisi khusus bersama tahanan, warga binaan, dan individu dalam situasi bencana atau krisis kesehatan. Pendekatan ini dianggap berisiko memperburuk stigma dan menghambat akses terhadap layanan kesehatan yang setara dan berkualitas.
FGD ini juga membahas kesenjangan antara Permenkes tersebut dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak atas pelayanan kesehatan yang setara. Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025–2045 menetapkan bahwa pembangunan sektor kesehatan harus berorientasi pada layanan yang inklusif, berkeadilan, dan berbasis hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya, masih terdapat ketidakjelasan terkait pendanaan, kebijakan teknis, dan koordinasi lintas sektor.
FGD ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk organisasi penyandang disabilitas, organisasi masyarakat sipil, dan beberapa organisasi yang turut serta antara lain Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Persatuan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia (PPDFI), Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Rekomendasi dan Langkah Tindak Lanjut
- Revisi Permenkes No. 2 Tahun 2025 Dengan Syarat Draf Tandingan
Salah satu rekomendasi utama dari FGD ini adalah perlunya revisi terhadap Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi. Permenkes ini dinilai belum sepenuhnya inklusif bagi perempuan penyandang disabilitas karena mengelompokkan mereka dalam kategori “kondisi khusus” bersama tahanan, warga binaan, dan individu dalam situasi bencana. Pendekatan ini dianggap berpotensi memperkuat stigma dan menghambat akses layanan kesehatan yang setara.
Namun, proses revisi Permenkes diprediksi akan memakan waktu yang panjang dan melibatkan berbagai tahapan, termasuk pembahasan di tingkat kementerian, konsultasi publik, dan harmonisasi dengan peraturan lainnya. Oleh karena itu, HWDI dan koalisi PRIMA merekomendasikan agar proses revisi ini dilakukan secara partisipatif, melibatkan organisasi penyandang disabilitas (OPDIS) dan masyarakat sipil sejak awal. Hal ini untuk memastikan bahwa suara dan kebutuhan perempuan penyandang disabilitas benar-benar terakomodasi dalam revisi tersebut.
- Mendorong Tafsir Permenkes yang Sesuai dengan Pandangan OPDIS
Kementerian Kesehatan memberikan tafsir atau penjelasan lebih lanjut terhadap Permenkes No. 2 Tahun 2025 yang sesuai dengan pandangan organisasi penyandang disabilitas (OPDIS). Tafsir ini diharapkan dapat mengklarifikasi pasal-pasal yang dianggap diskriminatif dan memastikan bahwa implementasi Permenkes benar-benar inklusif bagi perempuan penyandang disabilitas.
- Sosialisasi dan Partisipasi Aktif dalam Penyusunan Pedoman Teknis Permenkes dan RIBK
Rekomendasi ketiga adalah perlunya sosialisasi yang lebih masif dan partisipasi aktif organisasi penyandang disabilitas dalam penyusunan pedoman teknis Permenkes serta Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK). Menekankan pentingnya keterlibatan OPDIS dalam setiap tahapan penyusunan kebijakan, mulai dari perencanaan, implementasi, hingga evaluasi.
Sebagai bagian dari rencana tindak lanjut (RTL), HWDI akan mengadakan serangkaian pelatihan dan workshop yang difokuskan pada peningkatan kapasitas HWDI dalam membaca, menganalisis, dan mengadvokasi dokumen anggaran. Pelatihan ini akan melibatkan ahli di bidang penganggaran dan kebijakan publik, serta bekerja sama dengan mitra koalisi PRIMA, termasuk Perkumpulan Inisiatif, International Budget Partnership (IBP), dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
Tentang Koalisi PRIMA
Koalisi PRIMA (Peningkatan Representasi dan Inklusi Perempuan dalam Anggaran) merupakan kolaborasi antara Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Perkumpulan Inisiatif, International Budget Partnership (IBP), dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Koalisi ini bertujuan untuk meningkatkan representasi dan inklusi perempuan, termasuk perempuan penyandang disabilitas, dalam proses penganggaran dan kebijakan publik.

sangat menarik, semoga dapat membantu orang berkebutuhan khusus dengan adanya kegiatan seperti ini.