Oleh Aang Kusmawan
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan merupakan negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim (Nugroho, 2017). Perubahan iklim yang erat kaitannya dengan perubahan suhu, perubahan curah hujan, kenaikan muka air laut secara umum telah menyebabkan banyak bencana bagi masyarakat disekitar pesisir. Bencana tersebut berupa kerusakan infrastruktur, peningkatan bahaya kebakaran, kerusakan ekosistem, gangguan Kesehatan, peningkatan tingkat kerentanan masyarakat, dampak ekonomi dan lainnya telah terjadi di mayoritas pesisir Indonesia tidak terkecuali di Pantai Utara Jawa Tengah.
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang wilayah kota dan kabupatennya sering mengalami rob sebagai dampak dari perubahan iklim. Kota Semarang, Pekalongan, Kabupaten Demak merupakan beberapa wilayah yang sering menjadi langganan banjir rob (masuknya air laut ke daratan)[1]. Dalam konteks Pantai Utara Jawa Tengah indicator perubahan iklim yang dapat dilihat terdiri dari kenaikan muka air laut, perubahan pola angin, perubahan curah hujan, perubahan temperatur air laut (Nugroho, 2017). Perubahan cuaca yang ekstrim dan tingginya gelombang air laur di sepanjang pantai utara jawa tengah telah berdampak nyata terhadap kehidupan nelayan kecil tradisional. Dampak nyata tersebut berupa rusaknya fasilitas melaut nelayan seperti rusaknya perahu, jebolnya tanggul laut, yang pada kesemuanya tesebut menyebabkan kehidupan perekonomian nelayan lumpuh total[2]. Sementara itu, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir penurunan muka tanah di Pantai Utara Jawa Tengah berada pada rentang 0-11 cm setiap tahunnya, atau dalam indicator lain jumlah lahan yang hilang sebagai dampak dari menurunnya muka air tanah ini setara dengan luasan lahan sekitar 7.957,89 hektar. Dari jumlah tersebut luas lahan yang hilang di Kabupaten Demak mencapai 2.218 hektar dan Kota Semarang mencapai 1.919 Hektar[3].
Dalam konteks perencanaan dan penganggaran, dalam dokumen APBD Jawa Tengah 2019, belanja Dinas Perikanan dan Kelautan Jateng mencapai Rp 127 Miliar, namun tidak ada rencana alokasi anggaran untuk program dan kegiatan khusus mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kemudian, dalam APBD Dinas Perikanan dan Kelautan 2020 yang mencapai Rp 135 Miliar, tidak ada rencana alokasi belanja untuk program dan kegiatan mitigasi dan perubahan iklim untuk komunitas nelayan. Namun demikian, hal tersebut masih dalam tahap permukaan. Diperlukan sebuah upaya pemeriksaan yang lebih sistematis untuk mengetahui sejauh apa komitmen kebijakan dan anggaran di Provinsi Jawa Tengah dalam bidang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk komunitas nelayan, dan apakah komitmen kebijakan dan anggaran tersebut telah sesuai dengan kebutuhan komunitas nelayan kecil di Pantai Utara Jawa Tengah.
Perubahan Iklim Menurut Nelayan : Antara Masalah dan Harapan Penyelesaian
Dari pemetaan partisipatif terhadap komunitas didapatkan beberapa data mengenai akar masalah, masalah, dampak, upaya pemerintah serta solusi yang dibayangkan oleh komunitas. Dari tabulasi yang dihasilkan oleh komunitas tersebut, diketahui bahwa terdapat 4 masalah utama dan 17 solusi atas permasalahan tersebut. Permasalahan perubahan iklim yang paling banyak dirasakan adalah berupa abrasi pantai yang menunjukan trend meningkat dari tahun ke tahun yang diperparah oleh aktivitas pembangunan infrsrastruktur yang begitu masif di pesisir pantai utara dalam satu dekade ini. Masifnya abrasi pantai dan eksploitasi sumber daya pantai oleh manusia ini pada prakteknya telah mendorong berbagai masalah turunan yang hampir sama di tiga daerah tempat komunitas nelayan berada. Selain itu, dari pemetaan partisipatif tersebut juga diketahui solusi-solusi yang dibayangkan oleh komunitas. Dari pemetaan partisipatif yang dilakukan diketahui bahwa mayoritas solusi yang diharapkan masyarakat berupan solusi pembangunan fisik seperti pembangunan tembok pantai, pemecah ombak, dan lainnya. Namun demikian ada juga komunitas yang mengusulkan solusi yang sifatnya non fisik seperti pengadaan air bersih, pemberdayaan ekonomi dan penanganan masalah kesehatan. Hasil ringkasan pemetaan partisipatif yan dilakukan oleh komunitas nelayan dapat dilihat melalui tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1 Ringkasan Hasil Pemetaan Partisipatif Kebutuhan Nelayan dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim
Masalah |
Dampak |
Solusi |
Daerah |
Banjir/Rob |
§ Wabah penyakit. § Air menggenang area pemukiman dan rumah warga § Kekurang air bersih |
Bantuan kesehatan |
Semarang, Demak |
Bantuan air bersih |
Semarang, Demak, Pekalongan |
||
Penggerukan sungai dangkal |
Semarang, Pekalongan, Pemalang |
||
Pembuatan/renovasi drainase |
Semarang, Pekalongan |
||
Pembangunan tanggul laut/pemecah ombak |
Semarang, Pekalongan, Pemalang, Demak |
||
Sumur resapan |
Pekalongan |
||
Relokasi perumahan warga |
Demak |
||
Bantuan kendaraan untuk transportasi |
Demak |
||
Cuaca yang berubah-ubah |
§ Ekonomi rendah/menuru n/ macet. § Susah menjual ikan. § Ikan langka/sulit melaut |
Koperasi Nelayan/Badan keuangan lain |
Semarang, Demak, Pekalongan |
pelatihan untuk kualitas produk olahan |
Semarang |
||
Budiaya ikan |
Pekalongan |
||
Bantuan sosial |
Pekalongan |
||
Adanya kalender musim |
Pekalongan |
||
Erosi dan Abrasi Pantai |
§ Hilangnya sebagaian besar daratan karena terkikis ombak |
Program penanaman mangrove |
Demak, Pekalongan |
Adanya tanggul laut buatan |
Demak, Pekalongan, Semarang |
||
Angin/Badai |
§ Perumahan rusak § Ikan semakin langka |
Budidaya ikan |
Demak, Pekalongan |
Adanya rumah ikan dekat pantai |
Demak, Pekalongan |
Sumber : Hasil Penelitian, data diolah
Tonton video pendek tentang dampak perubahan iklim bagi kelompok nelayan di pantai utara Provinsi Jawa Tengah https://bit.ly/KampungyangTenggelam
Program Pemerintah Dalam Menghadapi Perubahan Iklim : Penilaian Komunitas
Setelah dibandingkan dengan dokumen perencanaan penganggaran yaitu dokumen RKPD di tingkat provinsi tahun 2021 diketahui bahwa solusi yang disusun oleh komunitas tersebut ada yang sudah diadopsi dan ada juga yang belum. Dari 17 solusi yang disusun oleh komunitas, 10 diantaranya sudah diadopsi dalam dokumen RPKD Provinsi Jawa Tengah Tahun 2021. Namun setelah ditelusuri lebih lanjut, solusi yang diadopsi tersebut ada yang diadopsi dengan label perubahan iklim dan ada yang tidak diadopsi dengan label perubahan iklim. Dari 10 solusi yang sudah diadopsi ada 6 yang diadopsi dengan label perubahan iklim dan 4 diadopsi tidak dengan label perubahan iklim. Solusi yang paling banyak diadopsi dalam RKPD tahun 2021 adalah solusi untuk mengatasi banjir/rob. Dari 8 solusi yang diharapkan 5 masuk ke dalam program dan kegiatan dalam RKPD. Dari 5 solusi ini, 4 solusi dilabeli dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan 1 solusi tidak dilabeli perubahan iklim. Untuk masalah cuaca yang berubah-ubah, dari 5 solusi yang diharapkan ada 2 solusi yang ada dalam program dan kegiatan pada RKPD tahun 2021. 2 solusi ini tidak dilabeli perubahan iklim. Pada masalah abrasi dan erosi pesisir, 2 solusi yang diharapkan sudah tercantum dalam program dan kegiatan RKPD tahun 2021. Pada masalah angin/badai, dari 2 solusi yang diharapkan 1 solusi sudah masuk ke dalam program dan kegiatan dalam RKPD tahun 2021. Meskipun kegiatan budidaya ikan tawar dalam RKPD tahun 2021 tidak secara spesifik menyebut nelayan sebagai salah satu kelompok sasaran.
Tabel 2 Rekap Adopsi Solusi Dampak Perubahan Iklim Komunitas dalam Dokumen RKPD Provinsi Jawa Tengah Tahun 2021
Masalah |
Jumlah Solusi Komunitas |
Diadopsi dalam RKPD 2021 |
Diadopsi dengan Label Perubahan Iklim |
Diadopsi bukan dengan label perubahan iklim |
Banjir |
8 |
5 |
4 |
1 |
Cuaca yang berubah |
5 |
2 |
n/d |
2 |
Erosi dan abrasi |
2 |
2 |
2 |
|
Angin/Badai |
2 |
1 |
n/d |
1 |
Rekap Total |
17 |
10 |
6 |
4 |
Sumber : Hasil penelitian, data diolah
Komitmen Kebijakan dan Anggaran Perubahan Iklim di Pantura
Komitmen Kebijakan Cukup Kuat
Isyu perubahan iklim menjadi salah satu isu yang masuk Dokumen RPJMD Provinsi Jawa Tengah tahun 2018-2023 mengenai Keberlanjutan Pembangunan Dengan Memperhatikan Daya Dukung Lingkungan dan Kelestarian Sumber Daya Alam. Namun dalam indikator kinerja yang tertera sama sekali tidak spesifik berbicara tentang nelayan. Selanjutnya, hal yang berkaitan dengan perubahan iklim ditemukan dalam bagian program pembangunan daerah yang spesifik berbicara tentang pengelolaan sungai pantai dan pengendalian banjir. Dalam point program pembangunan daerah ini, terdapat indikator kinerja yang juga spesifik berbicara tentang persentase luasan daerah bebas genangan banjir dan presentase darurat banjir yang tertangani. Masih dalam bagian ini, upaya spesifik yang berkaitan dengan pesisir dan kelautan terdapat dalam point program pembangunan daerah mengenai pengelolaan ruang pesisir dan laut dengan indikator kinerja beruapa prosentase peningkatan luas kawasan mangrove yang di rehabilitasi dari tahun sebelumnya dan prosentase kawasan konservasi yang ditata menuju pengelolaan yang efektif.Kebijakan program adaptasi dan mitigasi bencana dalam RPJMD 2018-2023 diturunkan ke dalam dokumen RKPD. Dalam dokumen RKPD Provinsi Jawa Tengah Tahun 2021 upaya yang berkaitan dengan perubahan iklim dan nelayan menjadi salah satu program dari prioritas daerah berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup dengan, nama Program Pengelolaan Ruang Pesisir dan Laut. Mengacu pada paparan diatas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah mempunyai komitmen dalam hal perubahan iklim. Namun demikian, komitmen kebijakan perubahan iklim tersebut masih bersifat umum, belum spesifik berbicara tentang perubahan iklim untuk nelayan.
Komitmen Anggaran Masih Lemah
Dari hasil identifikasi, terdapat lima dinas yang terindikasi mempunyai program untuk mengatasi perubahan iklim, yaitu : Dinas Pusdataru, Dinas ESDM, Sekretariat BPBD, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan dan Perikanan.
Alokasi anggaran program dan kegiatan yang teridentifikasi di lima dinas tersebut menunjukan trend peningkatan signifikan selama tiga tahun berturut-turut. Pada tahun 2019 alokasi anggaran di lima dinas mencapai 349 M atau setara dengan 1,29 % dari total belanja daerah. Lalu mengalami peningkatan di tahun 2020 menjadi 381 M atau sekitar 1,31 % dari toral belanja daerah. Lalu di tahun 2021 mencapai 723 M atau sekitar 2,71 % dari total belanja daerah. Perlu dicatat bahwa alokasi anggaran untuk perubahan iklim tersebut belum terlalu banyak menyentuh problem dampak perubahan iklim untuk nelayan secara spesifik. Pada tahun 2019, alokasi anggaran yang teridentifikasi menyentuh langsung sector pesisir nelayan hanya mencapai 59 M atau sekitar 17 % dari total belanja perubahan iklim, lalu 63 M atau sekitar 16 % pada tahun 2020 dan terakhir di tahun 2021 mencapai 6 persen.
Tabel 3 Ringkasan Komitmen Anggaran Perubahan Iklim Level Provinsi Jawa Tengah
Komitmen Anggaran |
2019 |
2020 |
2021 |
Anggaran Perubahan Iklim |
349 |
381 |
722 |
Prosentase belanja perubahan iklim terhadap total belanja langsung SKPD |
1,29 % |
1,31 % |
2,71 % |
Anggaran perubahan iklim sector pesisir |
59 |
63 |
42 |
Prosentase anggaran perubahan iklim untuk sector pesisir terhadap total belanja perubahan iklim |
17 % |
16, 69 |
6 |
Sumber : hasil penelitian, data diolah
Di level kabupaten jumlah dinas yang teridentifikasi memiliki program dan kegiatan terkait perubahan iklim tidak lebih dari empat. Nama dinas yang mempunyai program terkait perubahan iklim terdiri dari dinas DPU-PR, DLH, BPBD, dinas Perikanan. Namun perlu digaris bawahi bahwa mayoritas SKPD tidak mempunyai program dengan penamaan khusus mengenai perubahan iklim untuk sector nelayan dan pesisir.
Kota Semarang merupakan wilayah yang mempunyai alokasi anggaran dampak perubahan iklim lebih besar daripada dua wilayah lainnya. Rata-rata alokasi anggaran dampak perubahan iklim mencapai 19 milyar. Namun besaran alokasi tersebut tidak berbanding lurus dengan prosentase terhadap belanja langsung SKPD di setiap wilayah. Wilayah dengan rata-rata prosentase paling tinggi pertama, adalah Kota Pekalongan lalu Kabupaten Demak dan terakhir adalah Kota Semarang.
Tabel 4 Ringkasan Komitmen Anggaran Perubahan Iklim Level Kabupaten
Komitmen Anggaran |
Kota Pekalongan |
Kota Semarang |
Kabupaten Demak |
||||||
2019 |
2020 |
2021 |
2019 |
2020 |
2021 |
2019 |
2020 |
2021 |
|
Anggaran Perubahan Iklim |
14 |
10 |
6 |
12 |
23 |
23 |
24 |
14 |
24 |
Prosentase belanja perubahan iklim terhadap total belanja langsung SKPD |
15 % |
10% |
9% |
5 % |
9% |
8% |
9% |
8% |
6% |
Hasil Penelitian, data diolah
Catatan Penutup
Hampir setengah usulan solusi program dan kegiatan yang disusun oleh nelayana telah diadopsi dalam dokumen RKPD Provinsi Jawa Tengah. Namun demikian, rata-rata proporsi belanja anggaran perubahan iklim hanya mencapai 2 % dari total belanja langsung SKPD. Selain itu trend proporsi anggaran belanja perubahan iklim untuk nelayan mengalami penurunan signifikan dari tahun 2019 sampai tahun 2021. Dari paparan tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa dalam tataran komitmen kebijakan, Pemerintah Provinsi terbukti mempunyai komitmen, namun hal ini tidak berbanding lurus dengan komitmen penganggaran program-program tersebut. Selanjutnya, komitmen kebijakan dan anggaran di level kabupaten berbeda dengan dilevel provinsi. Dari hasil identifikasi tidak ditemukan sama sekali alokasi anggaran untuk program dan kegiatan mengatasi dampak perubahan iklim bagi nelayan.
Berdasar keterangan yang dihimpun dari setiap dinas melalui serangkain wawancara dan diskusi terfokus, minimnya, komitmen kebijakan dan anggaran baik di level provinsi atau kabupaten hal ini terkait dengan dua hal penting. Pertama, mengenai kewenangan penanganan urusan perubahan iklim. Mengacu pada UU Pemerintah Daerah No 23 Tahun 2014 tentang pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sama sekali tidak menyebut mengenai kewenangan dalam penanganan dampak perubahan iklim. Adapun kebijakan yang bisa dirujuk dalam konteks perubahan iklim yaitu, Permendagri No.86 Tahun 2007 yang memberikan penegasan bahwa upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dapat dilakukan oleh pemerintah pusat sampai dengan pemerintah provinsi. Dengan demikian, pemerintah kabupaten sama sekali tidak mempunyai kewenangan atau dasar hukum dalam menyusun program dan kegiatan perubahan iklim atau lebih jauhnya lagi dalam konteks perencanaan dan penganggaran, isyu perubahan iklim tidak bisa dijadikan sebagai salah satu isyu strategis daerah. Kedua, dalam hal alokasi anggaran untuk belanja program dan kegiatan mengatasi perubahan iklim. mengacu pada regulasi yang ada, setiap pembelanjaan atas kegiatan dalam sebuah program harus mengacu pada daftar belanja yang sudah diatur. Dalam konteks penganggaran, daftar belanja tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 90 tahun 2019 tentang klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan daerah. Dari hasil penyelusuran dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah ditingkat kabupaten sama sekali tidak mempunyai nomenklatur belanja untuk mengatasi dampak perubahan iklim secara umum apalagi nomenklatur khusus belanja program untuk mengatasi dampak perubahan iklim diwilayah kabupaten. Ketiadaan nomenklatur belanja untuk perubahan iklim secara umum dan perubahan iklim untuk nelayan merupakan konsekuensi lanjutan atas pembagian kewenangan pada UU Pemerintah Daerah No.23 Tahun 2004.
Catatan Kaki
[1] https://bisnis.tempo.co/read/1414257/cuaca-ekstrem-knti-desak-pemerintah-lindungi-nelayan
[1] https://www.mongabay.co.id/2021/12/11/abrasi-di-jawa-tengah-capai-7-957-hektar/