Perkumpulan Inisiatif
  • Politik Anggaran
  • Pengetahuan
  • Pengalaman
ID
EN
Perkumpulan Inisiatif
  • Politik Anggaran
  • Pengetahuan
  • Pengalaman
ID
EN
Perkumpulan Inisiatif
  • Politik Anggaran
  • Pengetahuan
  • Pengalaman
Sign In
Notification
Latest News
Alokasikan Pendapatan Energi Untuk Pendanaan Energi Terbarukan Skala Kecil Dan Menengah Di JawaBarat
Kebijakan
Hati-Hati Bertransisi Hak atas Energi, Bencana di Kemudian Hari
Kebijakan
Pelibatan UMKM dalam Optimalisasi Transisi Energi: Analisis Regulasi dan Model Pembiayaan Inklusif
Kebijakan
EBT Melalui KWT Kenanga Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Desa Tanjung
Books
Kisah PLTMH Dari Otot ke Energi
Books
  • Politik Anggaran
  • Pengetahuan
  • Pengalaman
Perkumpulan Inisiatif
Aa
  • Politik Anggaran
  • Pengetahuan
  • Pengalaman
Cari...
  • / Sejarah /
  • / Profil Pegiat /
  • / Laporan Audit Keuangan /
  • / Struktur Organisasi /
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • ID
  • EN
© 2022 Perkumpulan Inisiatif. All Rights Reserved.
Perkumpulan Inisiatif > Terbitan > Article > Mengapa Harus Setuju dengan Dana Untuk Pendidikan?
Article

Mengapa Harus Setuju dengan Dana Untuk Pendidikan?

Diding Sakri
Last updated: 2015/02/20 at 4:50 AM
Diding Sakri
6 Min Read

Pembaca akan tahu bahwa penulis termasuk pihak yang pro terhadap alokasi 20% APBD untuk pendidikan. Suatu “kedaulatan anggaran pendidikan” yang baru terwujud setelah menunggu beberapa tahun pasca-Amandemen ke-4 UUD’45 dan pemberlakuan UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003.

Meskipun, agak bijak, tulisan ini juga harus menyampaikan sebuah “disclaimer” bahwa dalam tataran implementasinya, pemanfaatan anggaran 20% APBD untuk pendidikan masih harus terus disempurnakan.

Pertanyaannya sekarang adalah mengapa saya dan warga Kota Bandung (dan juga seluruh rakyat Indonesia) harus setuju dengan 20% APBD untuk pendidikan, walaupun harus “mengorbankan” 150 km jalan rusak dan hanya 45 km yang bisa mulus (Tribun Jabar edisi 26 Februari 2009). Sesungguhnya ada beberapa alasan yang dapat disampaikan.

Alasan pertama lebih berupa “pertanyaan investifigatif” kepada Pemerintah Kota Bandung bagaimana pemkot dapat mempertanggungjawabkan keefektifan dari APBD selama ini, terutama sebelum krisis ekonomi, yang selalu mayoritas untuk infrastruktur dan “mengorbankan” sektor pendidikan ?

Kita tahu bahwa pembangunan awal infrastruktur, khususnya jalan, adalah termasuk kategori  belanja  modal dan investasi.  Artinya  sekali  dibelanjakan,  maka  semestinya untuk jangka waktu tertentu, katakanlah sependek pendeknya lima tahun, publik hanya tinggal merasakan manfaat dari jalan yang dibangun.

Tentu saja di sepanjang waktu pasca-pembangunan awal, akan diperlukan biaya pemeliharaan yang relatif lebih kecil daripada pembangunan awal.

Mestinya ada siklus, yaitu pada tahun tertentu alokasi anggaran cukup besar karena untuk investasi dan modal pembangunan awal, kemudian selama beberapa tahun biaya akan menurun karena hanya diperlukan untuk pemeliharaan  ringan, naik lagi untuk rehab berat, dan naik lagi untuk rehab total.

Singkat kata, ada hubungan antara naik-turunnya biaya dengan umur “produktif” dari suatu infrastruktur.

Kalau mau lebih tegas, ada sinikal di kalangan masyarakat tentang pembangunan jalan. “jalan di urang mah, ayeuna diaspal esukan ge ruksak” atau “sok ngahaja pamarentah mah, mun ngaspal jalan sok keur usum hujan, ngarah ruksak, tuluy taun hareup aya deui proyek“, dan sederet sinikal lain yang menunjukkan ketidakpuasan atas kondisi jalan. Semua itu telah lama dirasakan jauh sebelum 20% APBD telah dialokasikan untuk pendidikan.

Alasan kedua, hasil studi para ahli pembangunan PBB baru-baru ini kembali menegaskan kesimpulan bahwa pembangunan sosial (seperti pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial) harus lebih  menjadi prioritas pembiayaan  yang bersumber dari dana publik (APBD, APBN) karena akan lebih memberikan jaminan akses kepada segenap warga, terutama masyarakat miskin, menjadi modal pembangunan yang hakiki dan memampukan warga untuk bersaing di era global (Ortiz, 2007).

Kita tahu membiarkan pendidikan didominasi oleh pembiayaan swasta dan iuran orang tua murid hanya akan menjadikan pendidikan sebagai barang mewah tak terjangkau warga miskin.

Pada gilirannya akan semakin memperlebar jarak kesenjangan sosial antara si kaya yang mampu sekolah dan si miskin yang “tidak boleh” sekolah.

Sejalan dengan ini, mencermati tren dunia, negara miskin maupun kaya, mereka telah memiliki alokasi belanja pendidikan yang lebih besar daripada Indonesia. Sebagai contoh pada tahun 2006, ketika total APBN/APBD untuk sektor pendidikan kita baru 17,2%.

Malaysia, Thailand dan Filipina telah jauh meninggalkan kita (28%), dan itu terjadi sudah sejak lama, ketika alokasi pendidikan Indonesia baru di bawah 5%.

Malaysia dulu sama-sama miskin  dengan  kita. Bedanya, sebagai “bapak” yang bijak, pemerintahnya lebih mengedepankan biaya pendidikan daripada biaya “kecantikan”.

Alasan ketuiga, sesungguhnya saya “tidak percaya” bahwa dana publik “terbatas”. Saya lebih yakin bahwa kitalah yang membatasi diri. Ada banyak kemungkinan mekanisme yang ditempuh pemkot untuk mengatasi tantangan ini. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya saya menawarkan solusi kepada Pemkot Bandung.

Pertama, dalam aspek pembiayaan infrastruktur, pemkot sebaiknya segera mengembangkan skema pembiayaan kerja sama antara pemkot dan sektor swasta. Semestinya sebagai kota yang memiliki daya tarik investasi di sektor bisnis perkantoran, jasa dan pariwisata, gagasan kerja sama pembiayaan adalah sesuatu yang layak.

Bahkan pemkot juga dapat mengembangkan mekanisme obligasi publik sebagai alternatif pembiayaan lainnya. Hal ini mungkin ditempuh dan dapat menarik minat golongan ekonomi menengah-ke atas di Kota Bandung.

Dari sisi belanja APBD, pemkot perlu terus meningkatkan efisiensinya. Studi yang kami lakukan di 14 daerah di Indonesia (Inisiatif, 2008), termasuk Bandung, menunjukkan ada beberapa modus pemborosan belanja APBD, seperti dublikasi belanja, mark up harga atas Keputusan Kepala Daerah mengenai Standar Harga, belanja makan minum yang berlebihan, perjalanan dinas yang tidak perlu, bantuan sosial yang berulang dan tidak efektif, dan seterusnya.

Menghilangkan modus-modus di atas dapat menghemat APBD hingga miliaran rupiah dan kemudian dapat dialokasikan untuk belanja yang lebih penting, misalnya pemeliharaan jalan.

Dari sisi proses penyusunan kebijakan, perencanaan dan anggaran, pemkot perlu segera mengembangkan partisipasi warga. Kasus di berbagai daerah, dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa partisipasi yang disertai dengan transparansi atas situasi keuangan dapat meningkatkan kontribusi warga dalam pembangunan.

Dengan kata lain, pemeliharaan jalan mungkin saja pada akhirnya dikelola oleh komunitas. Tentu saja sepanjang ada transparansi, akuntabilitas dan profesionalisme dari pemkot sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab dan wewenang.

Sebagai kesimpulan, perlu ditegaskanbahwa memang faktanya sumber daya (APBD) adalah tidak tak terbatas, pemberian prioritas alokasi atas pendidikan (atau sektor lain) akan mengurangi atas sektor lain (misalnya jalan).

Kunci untuk “selamat” dari situasi ini adalah (1) memastikan bahwa sektor prioritas adalah sektor yang paling penting bagi publik kini dan nanti; (2) Pemkot yang kreatif dalam pengelolaan anggaran ( pendapatan, belanja dan pembiayaan); dan (3) Pemkot yang transparan atas informasi anggaran sehingga warga mau  berkontribusi posistif dalam pembangunan.

Sumber : Harian Tribun Jabar, Senin, 2 Maret 2009

You Might Also Like

Tetap Bersinar Terangi Hati Kami

Ketika Remaja Era Digital Berempati

Kisah inspiratif peserta didik tunanetra yang bersemangat berjuang hidup mandiri

Anaku, Pahlawanku!

Maret 4, 2009
Share this Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Telegram Copy Link
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
By Diding Sakri
Diding Sakri saat ini merupakan Peneliti Senior Inisiatif dengan minat riset pada topik desentralisasi, tata pemerintahan, pembangunan perdesaan, pengelolaan keuangan daerah, dan akses terhadap layanan dan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Sebelumnya merupakan Ketua Badan Pelaksana Perkumpulan Inisiatif 2005-2006 dan 2006-2009. Bisa dihubungi di dsakri@inisiatif.org atau diding96@gmail.com
Previous Article Membuat Jejak Kesehatan di Daerah
Next Article Penguatan Masyarakat Sipil untuk Memperdalam Praktik Demokrasi di Indonesia
Leave a comment Leave a comment

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Terbitan

  • Inisiatif di media
  • Article
  • News
  • Books
  • Module
  • Penelitian
  • Galeri Foto
  • Galeri Video
  • Press Release
  • Editorial
  • Experiment

Tentang Perkumpulan Inisiatif

  • / Sejarah /
  • / Profil Pegiat /
  • / Laporan Audit Keuangan /
  • / Struktur Organisasi /

Kantor

Jl. Suryalaya XVIII No.23, Cijagra, Kec. Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat 40265
Telepon: (022) 7331105

Kontak Kami

Telepon: (022) 7331105
E-mail: inisiatif@inisiatif.org

Follow Us

  • perkumpulan.inisiatif
  • inisiatif_org
  • INISIATIFI_01
  • perkumpulan.inisiatif
  • inisiatif
  • inisiatif

Platform

© 2022 Perkumpulan Inisiatif. All Rights Reserved.

Removed from reading list

Undo