Pembaca akan tahu bahwa penulis termasuk pihak yang pro terhadap alokasi 20% APBD untuk pendidikan. Suatu “kedaulatan anggaran pendidikan” yang baru terwujud setelah menunggu beberapa tahun pasca-Amandemen ke-4 UUD’45 dan pemberlakuan UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003.
Meskipun, agak bijak, tulisan ini juga harus menyampaikan sebuah “disclaimer” bahwa dalam tataran implementasinya, pemanfaatan anggaran 20% APBD untuk pendidikan masih harus terus disempurnakan.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa saya dan warga Kota Bandung (dan juga seluruh rakyat Indonesia) harus setuju dengan 20% APBD untuk pendidikan, walaupun harus “mengorbankan” 150 km jalan rusak dan hanya 45 km yang bisa mulus (Tribun Jabar edisi 26 Februari 2009). Sesungguhnya ada beberapa alasan yang dapat disampaikan.
Alasan pertama lebih berupa “pertanyaan investifigatif” kepada Pemerintah Kota Bandung bagaimana pemkot dapat mempertanggungjawabkan keefektifan dari APBD selama ini, terutama sebelum krisis ekonomi, yang selalu mayoritas untuk infrastruktur dan “mengorbankan” sektor pendidikan ?
Kita tahu bahwa pembangunan awal infrastruktur, khususnya jalan, adalah termasuk kategori belanja modal dan investasi. Artinya sekali dibelanjakan, maka semestinya untuk jangka waktu tertentu, katakanlah sependek pendeknya lima tahun, publik hanya tinggal merasakan manfaat dari jalan yang dibangun.
Tentu saja di sepanjang waktu pasca-pembangunan awal, akan diperlukan biaya pemeliharaan yang relatif lebih kecil daripada pembangunan awal.
Mestinya ada siklus, yaitu pada tahun tertentu alokasi anggaran cukup besar karena untuk investasi dan modal pembangunan awal, kemudian selama beberapa tahun biaya akan menurun karena hanya diperlukan untuk pemeliharaan ringan, naik lagi untuk rehab berat, dan naik lagi untuk rehab total.
Singkat kata, ada hubungan antara naik-turunnya biaya dengan umur “produktif” dari suatu infrastruktur.
Kalau mau lebih tegas, ada sinikal di kalangan masyarakat tentang pembangunan jalan. “jalan di urang mah, ayeuna diaspal esukan ge ruksak” atau “sok ngahaja pamarentah mah, mun ngaspal jalan sok keur usum hujan, ngarah ruksak, tuluy taun hareup aya deui proyek“, dan sederet sinikal lain yang menunjukkan ketidakpuasan atas kondisi jalan. Semua itu telah lama dirasakan jauh sebelum 20% APBD telah dialokasikan untuk pendidikan.
Alasan kedua, hasil studi para ahli pembangunan PBB baru-baru ini kembali menegaskan kesimpulan bahwa pembangunan sosial (seperti pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial) harus lebih menjadi prioritas pembiayaan yang bersumber dari dana publik (APBD, APBN) karena akan lebih memberikan jaminan akses kepada segenap warga, terutama masyarakat miskin, menjadi modal pembangunan yang hakiki dan memampukan warga untuk bersaing di era global (Ortiz, 2007).
Kita tahu membiarkan pendidikan didominasi oleh pembiayaan swasta dan iuran orang tua murid hanya akan menjadikan pendidikan sebagai barang mewah tak terjangkau warga miskin.
Pada gilirannya akan semakin memperlebar jarak kesenjangan sosial antara si kaya yang mampu sekolah dan si miskin yang “tidak boleh” sekolah.
Sejalan dengan ini, mencermati tren dunia, negara miskin maupun kaya, mereka telah memiliki alokasi belanja pendidikan yang lebih besar daripada Indonesia. Sebagai contoh pada tahun 2006, ketika total APBN/APBD untuk sektor pendidikan kita baru 17,2%.
Malaysia, Thailand dan Filipina telah jauh meninggalkan kita (28%), dan itu terjadi sudah sejak lama, ketika alokasi pendidikan Indonesia baru di bawah 5%.
Malaysia dulu sama-sama miskin dengan kita. Bedanya, sebagai “bapak” yang bijak, pemerintahnya lebih mengedepankan biaya pendidikan daripada biaya “kecantikan”.
Alasan ketuiga, sesungguhnya saya “tidak percaya” bahwa dana publik “terbatas”. Saya lebih yakin bahwa kitalah yang membatasi diri. Ada banyak kemungkinan mekanisme yang ditempuh pemkot untuk mengatasi tantangan ini. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya saya menawarkan solusi kepada Pemkot Bandung.
Pertama, dalam aspek pembiayaan infrastruktur, pemkot sebaiknya segera mengembangkan skema pembiayaan kerja sama antara pemkot dan sektor swasta. Semestinya sebagai kota yang memiliki daya tarik investasi di sektor bisnis perkantoran, jasa dan pariwisata, gagasan kerja sama pembiayaan adalah sesuatu yang layak.
Bahkan pemkot juga dapat mengembangkan mekanisme obligasi publik sebagai alternatif pembiayaan lainnya. Hal ini mungkin ditempuh dan dapat menarik minat golongan ekonomi menengah-ke atas di Kota Bandung.
Dari sisi belanja APBD, pemkot perlu terus meningkatkan efisiensinya. Studi yang kami lakukan di 14 daerah di Indonesia (Inisiatif, 2008), termasuk Bandung, menunjukkan ada beberapa modus pemborosan belanja APBD, seperti dublikasi belanja, mark up harga atas Keputusan Kepala Daerah mengenai Standar Harga, belanja makan minum yang berlebihan, perjalanan dinas yang tidak perlu, bantuan sosial yang berulang dan tidak efektif, dan seterusnya.
Menghilangkan modus-modus di atas dapat menghemat APBD hingga miliaran rupiah dan kemudian dapat dialokasikan untuk belanja yang lebih penting, misalnya pemeliharaan jalan.
Dari sisi proses penyusunan kebijakan, perencanaan dan anggaran, pemkot perlu segera mengembangkan partisipasi warga. Kasus di berbagai daerah, dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa partisipasi yang disertai dengan transparansi atas situasi keuangan dapat meningkatkan kontribusi warga dalam pembangunan.
Dengan kata lain, pemeliharaan jalan mungkin saja pada akhirnya dikelola oleh komunitas. Tentu saja sepanjang ada transparansi, akuntabilitas dan profesionalisme dari pemkot sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab dan wewenang.
Sebagai kesimpulan, perlu ditegaskanbahwa memang faktanya sumber daya (APBD) adalah tidak tak terbatas, pemberian prioritas alokasi atas pendidikan (atau sektor lain) akan mengurangi atas sektor lain (misalnya jalan).
Kunci untuk “selamat” dari situasi ini adalah (1) memastikan bahwa sektor prioritas adalah sektor yang paling penting bagi publik kini dan nanti; (2) Pemkot yang kreatif dalam pengelolaan anggaran ( pendapatan, belanja dan pembiayaan); dan (3) Pemkot yang transparan atas informasi anggaran sehingga warga mau berkontribusi posistif dalam pembangunan.
Sumber : Harian Tribun Jabar, Senin, 2 Maret 2009