Studi Kasus: Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Kota Majalaya secara Partisipatif
Oleh: Sapei Rusin, Donny Setiawan, Ari Nurman, Adenantera Dwicaksono, Diding Sakri
Dalam beberapa tahun belakangan ini dorongan untuk melakukan perubahan paradigma dalam proses perencanaan sektor publik semakin menguat. Situasi ini muncul sebagai akibat- salah satunya- keterbatasan pendekatan proses perencanaan konvensional (tradisional) dalam memberikan kesempatan kepada para stakeholders (multi-pihak yang mempunyai kepentingan, berpotensi mendapat manfaat dan akibat dari sebuah proyek) untuk terlibat secara langsung dalam proses perencanaan dan proses pengambilan keputusan sektor publik. Pendekatan perencanaan masa lalu cenderung menempatkan para perencana -dengan kemampuan teknis dan analitisnya- sebagai pemain tunggal yang menentukan dalam menyusun rencana dan mengeluarkan keputusan-keputusan pengelolaan sektor publik. Kecuali pemerintah, peran dan ruang multi-pihak lainnya dalam proses penyusunan rencana sangat terbatas bahkan bisa dikatakan tidak ada.
Pendekatan perencanaan konvensional yang cenderung melihat proses perencanaan sebagai proses yang bersifat teknis dan analitis ini terbukti mengalami banyak kegagalan di hampir seluruh tempat di Indonesia. Sebagian besar produk-produk rencana yang telah disusun dan disyahkan menjadi Peraturan Daerah tidak bisa diimplementasikan sebagaimana mestinya karena kegagalan untuk menangkap proses sosial-politik-ekonomi yang berkembang dalam masyarakat. Proses penyusunan rencana yang cenderung menempatkan perencana sebagai pemain tunggal, telah mengakibatkan para perencana kurang dapat memahami konteks ekonomi, sosial dan politik yang berkembang serta keterbatasan untuk memahami permasalahan kolektif yang terdapat dalam masyarakat. Sebagai akibatnya, rencana-rencana tersebut kurang sejalan dan kurang mendapat dukungan dari masyarakat luas serta tidak bisa dijadikan sebagai kesepakatan kolektif dalam pengelolaan masalah publik yang bersifat mengikat terhadap multi-pihak.
Kritik-kritik tersebut telah memunculkan keperluan perubahan paradigma dalam perencanaan menuju pada pemahaman perencanaan sebagai proses untuk mencapai kesepakatan kolektif multi-pihak. Dalam pendekatan perencanaan yang lebih mementingkan proses ini, peran para perencana lebih diarahkan sebagai fasilitator dan mediator bagi tercapainya kesepakatan kolektif diantara para stakeholders. Tanpa mengurangi arti penting dimensi teknis dan analitis dalam proses perencanaan konvensional, perencanaan mutakhir ini cenderung melihat proses perencanaan sebagai proses untuk memahami dimensi sosial dan politis yang berkembang di masyarakat. Pemahaman konteks sosial dan politis ini hanya bisa dipahami bila terjadi proses interaksi yang cukup intens antar semua stakeholders, termasuk para perencana. Melalui interaksi yang cukup intens ini para perencana akan memperoleh kesempatan lebih luas untuk memahami konteks sosial dan politik, permasalahan kolektif, peta dan besaran konflik multi-pihak, keterbatasan dan potensi sumber daya kolektif yang mungkin dimobilisir serta rencana-rencana yang akan dilakukan oleh multi-pihak. Pembentukan forum multi-pihak merupakan media yang paling tepat bagi implementasi proses perencanaan yang bersifat partnership. Forum-forum tersebut perlu secara terus menerus disosialisasikan, dibentuk dan dilembagakan sehingga bisa terus berlanjut menjadi media bagi proses perencanaan yang partisipatif.
Pengalaman-pengalaman perencanaan yang partisipatif relatif sangat terbatas, bahkan dalam skala kota/kabupaten/propinsi yang meliputi seluruh sektor pembangunan sangat jarang dilakukan. Perencanaan partisipatif yang terjadi saat ini di Indonesia relatif berada pada skala wilayah yang kecil (desa) dengan sektor tunggal, misalnya perumahan. Sebagai bagian dari proses untuk mecari model-model perencanaan partisipatif pada skala wilayah yang lebih luas dan multi sektor dibutuhkan akumulasi pengalaman dan pengetahun dengan cara melakukan serangkaian uji coba proses perencanaan partisipatif.
Silahkan membaca di sini.