Apa yang harus dilakukan adalah counter discourse. Wacana yang berkembang dan apa yang terjadi sampai hari ini adalah mendekati desa dari kacamata sektoral. Misal, dari sector ketahanan pangan, sector informasi publik dan sector-sektor yang lain. Memandang desa dari sudut sektoral rentan menjadikan desa sebagai barang dagangan. Muncullah desa tematik seperti desa wisata,desa TI (Teknologi Informasi), desa budaya dan lain-lain.
Demikian garis besar pandangan dan pengamatan Sutoro Eko yang mengemuka di diskusi Konsorsium Peduli Desa yang diadakan di kantor IKA (Indonesia untuk Kemanusiaan), Jl. Cikini Raya No.43, Jakarta, 30 Juni 2015. Diskusi ini sengaja mengundang Sutoro Eko yang merupakan pelaku penting dalam penyusunan Undang-Undang Desa sekaligus perancang kelembagaan Kementerian Desa, untuk memberikan masukan terkait agenda advokasi terkait desa.
Sutoro mengamati setidaknya ada 22 Kementerian/Lembaga yang mempunyai program di desa. Mereka memandang desa dari luar, sektoral. Yang luput adalah bagaimana desa memandang program yang datang tersebut. Sekali lagi ini menyangkut perubahan perspektif.
Ia menawarkan cara untuk mengubah perspektif tersebut, yaitu dengan beranjak dari kewenangan desa. Berbagai program dan agenda yang akan mengarusutamakan ini atau itu harus memulainya dengan melihat kewenangan desa terlebih dahulu.
Menyangkut karakteristik desa yang ada saat ini, Sutoro Eko membaginya menjadi 4 jenis, yaitu desa adat (asli), desa parokial, desa korporatis dan desa inklusi. Desa adat memiliki kearifan lokal kuat, yang intinya mengejar kecukupan dan keseimbangan dengan alam. Desa parokial adalah desa hanya mau melihat dirinya sendiri saja. Basisnya bisa bermacam-macam, misalnya agama sendiri, kerabat sendiri. Desa korporatis menempatkan diri sebagai kepanjangan tangan. Wataknya menunggu perintah, serba seragam dan selalu berpikiran : aturannya seperti apa.
Jenis desa terakhir ialah desa inklusi. Desa dipandang sebagai arena publik, tempat warga membicarakan hal-hal publik. Perencanaan dipandang sebagai arena mengambil keputusan bersama untuk hidup bersama. Menurut Sutoro Eko, desa terakhir inilah agenda yang harus dikerjakan terkait isu desa karena memungkinkan tradisi berdesa berkembang, yaitu tradisi bermasyarakat dan bernegara dengan basis desa.
Berbagai cara bisa ditempuh. Salah satunya soal bagaimana mendidik kepala desa. Pendekatannya bukan melatih kepala desa menyadari bahwa ia punya kekuasaan ini atau itu (argumentasi membangun power/cara pandang pembinaan) dengan kehadiran Undang-Undang Desa. Yang bisa melatih kepala desa hanyalah institusi pemerintah. Pendekatan yang justru harus dikedepankan adalah empowerment, bagaimana menempatkan kepala desa sebagai pemimpin masyarakat.