Pemkot Bandung Belum Miliki Pengawasan yang Memadai
Pemerintah Kota Bandung belum memiliki sistem yang memadai untuk mengawal dan mengawasi penyaluran dana hibah yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah setiap tahunnya. Ketidaktransparanan pengelolaan terjadi sejak penyeleksian proposal hingga pelaporan pertanggungjawaban.
Melakukan riset selama satu tahun terhadap dana hibah Kota Bandung tahun anggaran 2013 dan 2014, para aktivis Jaringan Inisiatif Parahyangan (Jari Ra Hyang) menemukan banyak pelanggaran. Beberapa di antaranya pencantuman alamat palsu, pemakaian alamat yang tidak lengkap serta penggunaan sekretariat asal-asalan.
Riset tersebut menguatkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Jawa Barat dalam laporan hasil pemeriksaan mereka tahun 2013. Ketika itu BPK mencatat sebanyak sebanyak 266 penerima dana hibah belum memberikan LPJ. Jika dijumlahkan, besaran dana yang tidak disertai LPJ mencapai Rp 27 miliar.
“Pemkot Bandung belum memiliki sistem yang memadai untuk mengawal dan mengawasi penyaluran dana hibah. Selain memicu banyak pelanggaran, hal ini juga membuat warga tidak bisa berpartisipasi aktif dalam pengawasan,” kata Destri Tsunaya, seorang peneliti Jari Ra Hyang, seusai beraudiensi dengan Komisi A DPRD Kota Bandung, Senin (29/6/2015) sore.
Ketiadaan sistem yang memadai terjadi sejak proses sosialisasi dan penyeleksian proposal dari warga. “Tidak ada pemberitahuan yang masif kepada masyarakat terkait dengan pengguliran program hibah. Yang bisa mengakses pada akhirnya adalah mereka yang memiliki jaringan, kenalan dan koneksi,” ujar Destri.
Nida Siti Hamidah, peneliti lainnya, mengungkapkan dari sisi pelaporan pertanggungjawaban, pengelolaan dana hibah juga banyak bermasalah. Tidak adanya petugas khusus membuat mayoritas pemanfaatan dana hibah tidak terawasi.
Nida menjelaskan, salah satu solusi yang mereka tawarkan atas permasalahan ini adalah pembentukan komite pengawas independen. Dengan keberadaan komite ini, dipastikan akan ada orang berkompeten yang mengawasi transparansi pemenfaatan dana hibah serta pertanggungjawabannya.
Anggota Komisi A DPRD Kota Bandung Zaenal Mutaqin sepakat bahwa selama ini hibah masih dijalankan tanpa transparansi dan akuntabilitas yang terukur. Ia bahkan terang-terangan mengaku sebagai satu-satunya anggota dewan yang menolak mata anggaran dana hibah pada pembahasan APBD 2015 lalu.
Menurut Zaenal, hibah menjadi bancakan orang-orang yang punya akses dan kenalan orang dalam pemkot saja. Efektivitas pemanfaatannya juga layak dipertanyakan.
Proporsi
Selain menyoroti transparansi pengelolaan hibah, audiensi selama dua jam antara peneliti Jari Ra Hyang dan Komisi A DPRD tersebut juga menyoal proporsi dana hibah di Pemkot Bandung. Dana yang tersalurkan untuk warga hanya sedikit dibandingkan dengan dana yang diberikan untuk lembaga pemerintahan seperti kepolisian, KPU, Panwaslu, PSSI, KONI, MUI, dan lainnya.
Pada 2013 dari Rp 171 miliar dana hibah, msyarakat serta organisasi kemasyarakatan hanya menerima tidak lebih dari Rp 25 miliar. Sisanya, sekitar Rp 147 miliar, diserahkan kepada lembaga vertikal atas pemerintahan. Pada 2014, pemkot mengucurkan dana hibah sebesar Rp 195 miliar, tetapi hanya sekitar Rp 16 miliar yang dirasakan oleh masyarakat.
“Proporsi ini tidak adil. Mestinya, dana untuk lembaga dan instansi vertikal tidak ditaruh di pos hibah,” kata Nida. (Ag Tri Joko Her Riadi)***
Sumber : Harian Pikiran Rakyat Cetak, 1 Juli 2015, hal.3