Oleh : Dedi Haryadi[1]
Aktivis bisa didefinisikan sebagai orang yang melakukan tindakan altruisitik untuk mempromosikan nilai-nilai dan institusi sosial yang dianggap baik dan berguna bagi banyak orang.
Ada dua dimensi penting dalam definisi ini, yaitu pertama, tindakan itu harus altruistik. Secara sosiologis[2] ada tiga jenis tindakan orang yaitu tindakan egoistik, tindakan anomistik dan tindakan altruistik. Tindakan egoistik adalah tindakan yang berpusat, berawal dan berujung pada pemenuhan kepentingan dan kebutuhan diri. Tindakan anomistik adalah tindakan kacau seseorang yang dihadapkan pada situasi ketidakpastian nilai-nilai dalam masyarakat. Tindakan altruistik adalah tindakan yang berpusat pada pemenuhan atau penyelamatan kepentingan dan kebutuhan orang lain, bisa seseorang atau kelompok atau masyarakat. Altruisme itu berderajat, tapi altruisme yang murni itu biasanya tanpa pamrih.
Dimensi kedua adalah mempromosikan nilai-nilai dan pranata sosial yang baik dan berguna bagi banyak orang. Aktivitas mempromosikan itu bisa mempertahankan, merevisi atau mengadakan yang baru. Nilai-nilai dan pranata sosial yang dipromosikan bisa banyak dan beragam. Sebanyak dan seberagam dimensi kehidupan. Misalnya nilai-nilai itu adalah penghormatan dan pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi warga seperti hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan penghidupan yang layak, atau hak sipil dan politik warga; seperti kekebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi, kebebasan informasi, kebebasan pers dan lain; atau nilai-nilai anti kolonialisme dan imperialisme, dan lain-lain.
Yang terkait dengan pranata sosial, misalnya sistem demokrasi, demokrasi ekonomi, sistem banyak partai, pemilihan umum, mekanisme pasar, dan lain-lain. Karena dianggap baik dan berguna bagi banyak orang maka nilai-nilai dan pranata sosial itu diperjuangkan banyak orang baik secara individu maupun kelompok. Misalnya kita bisa menjumpai ada orang atau kelompok orang yang memperjuangkan kesetaraan gender, pemantauan HAM, memperkuat demokrasi, mengajegkan mekanisme pasar dan lain-lain.
Definisi itu siap jadi reflektor yang baik untuk memeriksa adakah para aktivis itu, siapa mereka dari waktu ke waktu, dan apa yang mereka lakukan ?
Musa, Harun dan Muhammad sebagai Aktivis Anti Perbudakan
Para nabi dan rosul itu adalah aktivis. Tidak ragu saya menilai Musa dan Harun adalah aktivis pada zamannya. Musa dan Harun adalah dua bersaudara yang melakukan tindakan altruistik mempromosikan kemurnian monotheisme dan anti perbudakan. Monotheisme Musa dipromosikan untuk menggantikan klaim ketuhanan Firaun. Semangat anti perbudakan Musa dan Harun adalah membebaskan perbudakan rezim pemerintahan Firaun yang mencengkeram Bani Israel. Tentu di sisi koin yang lain dari uang logam yang sama ada aktivis lain juga yang bekerja mempertahankan rezim Firaun dan sistem perbudakan. Saya tidak bisa mengidentifikasi siapa saja aktivis yang bekerja untuk mempertahankan nilai dan pranata sosial ala Firaun.
Tapi dalam konteks kenabian dan kerasulan Muhammad, maka Abu Lahab dan Abu Jahal adalah dua orang aktivis yang berusaha mempertahankan nilai-nilai dan pranata sosial Quraish. Dua aktivis Quraish itu sangat terkenal karena permusuhannya yang sengit terhadap ide yang dibawa Muhammad. Nilai-nilai dan pranata sosial Quraish pada saat itu adalah politeisme yang berpusat pada pemujaan Latta, Uzza dan Manatta. Pranata sosialnya mengakui dan mensahkan perbudakan, mensubordinasi dan superordinasi perempuan. Secara ekonomi juga terjadi monopoli aktivitas bisnis dan kekayaan pada sekelompok elit.
Nabi dan Rosul Muhammad adalah seorang aktivis yang bekerja secara altruis dan multi sektor untuk memperbarui bangunan teologis dari politeisme ke monoteisme, membangun relasi laki-perempuan yang lebih egaliter, menghapuskan perbudakan, memecahkan problem monopoli ekonomi dan lain-lain.
Jadi seorang aktivis yang mumpuni sebenarnya bisa bergerak di beberapa isu secara bersamaan. Hanya gejala sekarang-sekarang ini saja aktivisme itu seolah terspesialisasi, ada aktivis perburuhan, aktivis pertanahan, aktivis usaha skala kecil dan menengah, aktivis keseteraaan gender dan lain-lain. Malah dalam isu perburuhan sendiri segmentasi dan fragmentasi aktivis itu kelihatan cukup jelas; ada aktivis buruh anak, aktivis buruh migran, aktivis buruh perempuan, aktivis buruh difabel dan lain-lain.
Ada yang berargumen aktivisme Muhammad tidak bisa dirujuk atau dijadikan contoh bagi aktivis kontemporer karena kekuatan supranatural yang mendukungnya. Dalam setiap advokasi yang dilakukannya Muhammad selalu di-backing oleh Allah dan puluhan bahkan ribuan malaikat. Muhammad mendapat dukungan dan backing dari Allah dan para malaikat sebenarnya bukan sesuatu yang istimewa karena backing dan dukungan yang sama juga bisa didapatkan oleh para aktivis sekarang. Tinggal serius meminta saja. Untuk apa kisah profetik itu diabadikan dan diceritakan lagi oleh para pendakwah kalau bukan untuk ditiru langkah-langkahnya dan diambil hikmahnya ?
Sukses Memobilisasasi Sumberdaya Lokal
Salah satu hikmah penting yang perlu diambil dari aktivisme Muhammad adalah kesuksesannya dalam memobilisasi sumberdaya lokal. Aktivismenya pada saat itu berada di antara dua kekaisaran yang menjadi super power pada zamannya yaitu Persia dan Bizantium. Saya tidak pernah mendengar sahabat-sahabat terbaik Muhammad menyusun dan mengirimkan proposal memohon dana hibah atau kredit lunak (soft loan) kepada kedua kekaisaran itu.
Semua aktivitas pelatihan, pendampingan masyarakat dan bahkan perang pun sepenuhnya menggunakan sumberdaya lokal yang ada di tangan umat. Umatnya yang memiliki tanah nyumbang tanah, yang punya korma nyumbang korma, yang punya kuda nyumbang kuda, yang punya unta nyumbang unta, yang punya tenaga nyumbang tenaga, yang punya panah nyumbang panah, yang punya pedang nyumbang pedang, yang punya doa nyumbang doa.
Di sini tampak bahwa aktivisme yang altrustik itu bukan hanya tanpa pamrih, tapi lebih jauh adalah mereka mau dan ikhlas mencurahkan sumberdaya terbaiknya untuk perubahan yang diinginkannya. Pengerahan sumberdaya lokal itu tak sia-sia, selain kohesivitas dan platform masyarakat terbentuk juga musuh-musuhnya berhasil dikalahkan.
Konteks dan semangat para aktivis kita saat ini agak berbeda. Selain kurang visioner dan kurang istiqomah (serius menekuni) juga bermentalitas gampangan. Dilihat dari segi basis sumberdaya para aktivis kita saat ini sangat tergantung pada hibah dari dua “kekaisaran” utama yaitu Amerika dan Uni Eropa. Mereka lebih sibuk, gesit dan terampil menyusun proposal (naratif dan keuangannya) plus laporannya nanti daripada substansi gerakannya (inisiatifnya) itu sendiri. Oleh karena itu benar juga adanya sinyalemen yang menyatakan bahwa: ”there is no social movement, the one being exist is proposal movement”. Tidak ada gerakan sosial, yang ada hanyalah gerakan proposal.
Nabi dan rosul itu pasti aktivis. Tapi tidak semua aktivis itu nabi dan rosul. Allah sudah berhenti mengirimkan nabi dan rosul tapi percayalah Allah akan tetap mengirimkan para aktivis. Pewahyuan melalui nabi dan rosul sudah berakhir. Tapi percayalah ilham dan inspirasi akan tetap berjalan melalui para aktivis. Di setiap zaman dan kecamuk masalah kehidupan maka Allah akan memproduksi dan mengirimkan aktivis terbaiknya.
Diponegoro, Dewi Sartika, Kartini, Soekarno dan Hatta sebagai Aktivis
Sekarang kita masuk ke dalam lanskap sosial politik dan ekonomi Nusantara dan Indonesia untuk melihat kiprah sejumlah aktivis. Pangeran Diponegoro adalah seorang aktivis yang menentang kolonialisme Belanda. Paduan nilai-nilai islam dan Jawa yang dianggap luhur menggerakan Pangeran Diponegoro untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Dewi Sartika di tanah Pasundan adalah seorang aktivis perempuan yang memperjuangkan kesetaraan jender. Dia memperjuangkan nilai bahwa perempuan harus berdaya supaya bisa hidup bermartabat. Sekolah Kautamaan Istri adalah salah satu artefak perjuangan Dewi Sartika dalam memajukan posisi dan martabat perempuan. Dewi Sartika percaya mengakuisisi keterampilan, keahlian dan ilmu adalah jalan menuju pembebasan dan kesetaraan. Raden Ajeng Kartini adalah aktivis perempuan lain yang juga peduli pada isu kesetaraan jender.
Dalam kasus Musa, Harun, Diponegoro, Muhammad ada orang atau sekelompok orang yang menjadi penguasa yang menyebabkan adanya ketidakadilan atau ketidakpatutan berprilaku. Kehadiran mereka jelas menjadi anti tesis terhadap penguasa tersebut. Tapi kemunculan aktivis tidak harus selalu demikian. Dalam kasus Dewi Sartika atau Kartini, sosok penguasa sebagai tesis yang dholim atau otoriter tidak begitu menonjol. Yang menonjol adalah tradisi atau kebiasaan yang menempatkan dan memperlakukan perempuan sebagai kelas kedua. Dan yang memperlakukan itu adalah kaum pria. Dewi Sartika dan Kartini menjadi anti tesis terhadap tradisi dan kebudayaan itu.
Boedi Utomo merupakan entitas politik pertama di daerah jajahan Belanda. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Dr Wahidin Soedirohoesodo adalah dua aktivis dan aktor intelektual penting dalam organisasi itu. Awal aktivismenya adalah memajukan pendidikan bagi pribumi tapi lambat laun juga masuk ke ranah politik, industri dan perdagangan. Aktivis lain seperti R.M Tirtoadisuryo, H. Samanhudi dan H.O.S Cokroaminoto instrumental dalam membidani dan membesarkan Syarekat Dagang Islam (SDI). Dua organisasi ini penting dalam masa-masa pembentukan identitas diri bangsa dan pergerakan nasional. Periode berikutnya sejarah mencatat Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai aktivis politik yang berperan sangat penting dalam pembentukan identitas bangsa dan Negara Indonesia.
Transformasi kekuasaan pemerintahan tahun 1966 dari Orde Lama ke Orde Baru memunculkan sejumlah orang yang disebut sebagai aktivis 66 atau eksponen 66. Bersama militer dan komponen yang lain mereka ikut ambil bagian penting dalam menjatuhkan pemerintah Orde Lama. Mereka melakukan kerja-kerja media, kebudayaan dan politik untuk peralihan kekuasaan tersebut. Sebagian aktivis secara sadar masuk dan diserap oleh institusi Negara Baru yang berlabel Orde Baru.
Sebagian lagi tetap memilih di luar menjadi aktivis seumur hidup. Peristiwa yang sama namun beda alasan dan konteks terjadi pada tahun 1998. Peralihan kekuasaan terjadi dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Lagi peristiwa peralihan kekuasaan ini memunculkan sejumlah aktivis. Adegannya juga hampir sama, ada sebagian aktvis masuk dan diserap ke dalam institusi Negara baru yang berlabel Orde Reformasi. Ada juga yang tetap memilih sebagai aktivis. Lanskap sosial politik di tanah air pada tahun 1978 juga menghasilkan sejumlah aktivis meskipun tidak menyebabkan terjadinya peralihan kekuasaan.
Aktivisme dan Usia Demografis Seseorang
Ada dua model hubungan aktivisme dengan usia demografis seseorang. Pertama, terkenal dengan ungkapannya “over thirty there is no revolutionary”. Kalau sudah di atas umur 30 tahun tidak ada semangat revolusioner, melakukan kritik sosial, atau memperjuangkan perbaikan kondisi sosial politik. Orang pada usia itu ada dalam zona nyaman sehingga tak mungkin mengorbankan kenyamananannya untuk melakukan aktivisme mendorong perubahan sosial politik.
Itulah mengapa kita bisa paham, para mahasiswa yang kritis dan militan pada saat menjadi mahasiswa kemudian lembek dan kompromistis setelah umurnya melampaui 30 tahun. Apa pun posisinya, sebagai birokrat, politisi, pengusaha dan bahkan aktivis sendiri, kalau sudah ada dalam zona nyaman akan cenderung konservatif dan mungkin permisif.
Kebanyakan orang ada pada model ini. Sehingga sering kali kita mendengar ucapan klise dari seorang aktivis di atas usia 30 tahun : ”Ah sekarang aing konsentrasi neangan duit, supaya dapur tetap ngebul”. Atau ungkapan seorang aktivis yang sudah menjadi ayah dari seorang anak yang lucu dan suami dari istri yang cantik dan bahenol: “Urang geus boga budak jeung pamajikan euy, moal mungkin milu protes”[3], dan lain-lain ungkapan sejenis.
Model kedua, terkenal dengan ungkapannya: ”activism begin at forty”. Berdasarkan model ini seseorang jadi aktivis dan terlibat intensif dalam aktivisme justru dimulai dimulai pada saat umur usia 40-an tahun. Dalam kitab perjanjian lama ada informasi langitan yang bunyi dan terjemahan populernya kira-kira begini : ”Tuhan Yahweh akan mengirim seorang aktivis dari Gunung Paran”. Menjadi perdebatan para ulama (Yahudi, Nashoro dan Islam) siapa gerangan aktivis yang dimaksud dan di mana Gunung Paran itu berada. Akhirnya sepakat, utamanya ulama Islam, aktivis yang dimaksud adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib. Sementara Gunung Paran adalah Mekah. Sebelum usia 40 tahun Muhammad adalah seorang bapak, seorang suami dan pedagang. Ada keistimewaan dalam dirinya dibandingkan suami, ayah dan pedagang yang lain. Dari sejak kecil ia terkenal akhlaknya baik terutama kejujurannya.
Kebiasaan, budaya dan religi masyarakatnya pada zaman itu justru menjadi pusat pemikiran dan keprihatinannya ketika ia bertahanuts di Gua Hira. Tahanuts itu istilah atau bahasa agamanya. Istilah dan bahasa elsemnya adalah kontemplasi. “Mengapa anak perempuan dikubur hidup-hidup ?”, “Mengapa kekayaan dan kegiatan ekonomi memusat di segelintir elit Qraish?”, “Mengapa Latta, Uzza dan Manatta, patung buatan mereka sendiri, disembah dan diminta petunjuk dan pertolongannya?”
Pada usia 40-an itulah Muhammad memulai “karir”nya sebagai aktivis yang visi utamanya adalah memperbaiki bangunan teologis monotheisme yang sudah ditanamkan oleh aktivis-aktivis sebelumnya seperti Isa, Musa, Nuh, dan Ibrahim. Muhammad adalah contoh aktivis model kedua yang paling baik dan sempurna. Sampai meninggalnya pun ia tetap seorang aktivis. Dengan model kedua ini, maka sebenarnya umur, punya anak, punya istri bukan uzur atau halangan menjadi aktivis, atau alasan untuk berhenti menjadi aktivis.
Click Activisme
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, maka arena advokasi para aktivis sekarang berdimensi ganda bukan hanya dunia rill tapi juga dunia maya (virtual). Aktivisme di dunia maya makin menemukan bentuknya setelah berkembangnya media sosial seperti facebook, twitter, dan lain-lain. Media itu digunakan secara ekstensif untuk penyadaran dan merajut dukungan publik. Media mainstream dan media sosial sekarang menjadi kekuatan yang cukup efektif untuk penyadaran, mendesakkan permintaan dan merajut dukungan publik.
Sukses advokasi Koin untuk Prita tidak terlepas dari kerja-kerja advokasi/kampanye di dunia maya. Dalam tempo singkat Prita mendapatkan simpati dan dukungan publik (dan sumberdaya) uang yang melimpah untuk melakukan perlawanan terhadap rumah sakit yang menuduhnya melakukan pencemaran nama baik.
Dimenangkannya pertarungan Cicak (KPK) versus Buaya (Polisi/Politisi) jild I dan Jilid II, sehingga KPK tetap eksis sampai sekarang, tak lepas dari peran yang dimainkan sebagaian aktivis di dunia maya. Kalangan aktivis merajut dukungan publik dan media (mainstream dan sosial media) untuk mencegah polisi dan para politisi mengamputasi kewenangan dan eksistensi KPK.
Click aktivisme bukan hanya sekedar mengklik mouse (tetikus) untuk memberikan dukungan pada suatu petisi tertentu. Aktivisme dan aktivis dalam dunia maya atau akses terhadap dunia maya juga memiliki dinamikanya sendiri. Dunia maya juga menghasilkan sejumlah aktivisnya. Ashoka misalnya menobatkan Ono W. Purbo sebagai salah satu fellow yang dianggap berjasa memperbaiki akses masyarakat (literasi) luas terhadap internet. Ada aktivis lain yang mempromosikan berinternet sehat, dan lain-lain.
Penutup: Kesimpulan, Tipologi dan Jalan Keluar
Jadi aktivis bisa didenifisikan sebagai seorang yang mempromosikan nilai dan pranata sosial tertentu yang baik dan berguna bagi banyak orang dengan mencurahkan energi dan sumberdaya terbaik yang dikuasainya tanpa pamrih.
Dengan definisi ini maka ada beberapa tipe aktivis. Pertama, aktivis full. Dia punya nilai dan pranata sosial yang ajeg dan jelas untuk diperjuangkan. Dia bersedia mencurahakan energi dan sumberdaya terbaik yang dikuasainya untuk memperjuangkan nilai dan pranta sosial itu tanpa pamrih.
Kedua, aktivis setengah full. Dia punya nilai dan pranata sosial yang jelas dan ajeg untuk diperjuangkan. Dia bersedia mencurahkan sumberdaya terbaik yang dikuasainya dengan pamrih.
Bagi mereka yang kecewa karena setelah di-framing dengan definisi ini ternyata tidak termasuk sebagai aktivis padahal sudah berbilang tahun menjadi “aktivis” dan dipersepsi oleh publik sebagi “aktivis” maka saya menyediakan dua jalan keluar.
Pertama, buat definisi dan framing sendiri sehingga lebih sesuai dengan selera dan kondisi sekarang. Yang ini akan melahirkan aktivis kajajaden (artifisial). Kedua, lakukan reposisioning, yaitu rumuskan kembali nilai dan pranata sosial apa yang baik dan berguna yang ingin diperjuangkan. Setelah itu perbaiki dan luruskan niat: bersedia mencurahkan energi dan sumberdaya terbaiknya tanpa pamrih.***
Dedi Haryadi adalah alumnus Sosek Pertanian Unpad (S1) dan Studi Pembangunan (S2). Aktif dalam kegiatan advokasi transparansi anggaran dan anti korupsi. Dia merupakan pendiri Budget Advocacy Group (BAG). Saat ini menjadi Deputi Sekretaris jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII).
[1] Pendiri Budget Advocacy Group
[2] Saya terinsipirasi Emile Durkheim ketika dia menjelaskan tentang gejala sosial bunuh diri egoistic, anomistik dan altruistik. Saya menggunakannya di sini bukan untuk bunuh diri tetapi untuk mengaktegorikan setiap tindakan sosial seseorang.
[3] “Saya sudah punya anak dan pasangan (istri-red), tak mungkin ikut gerakan protes”