Latar Belakang
Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kebutuhannya yang sehat, bersih dan produktif, karena Negara-lah yang menguasai sumber daya air yang tentunya untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya.[1]
Terbersit di dalam pikiran setelah mengutip pernyataan yang tertuang dalam salah satu undang-undang yang berkenaan dengan sumber daya air, disandingkan dengan apa yang dirasakan saat ini secara kenyataan, yang mendorong sebuah pertanyaan besar di dalam pikiran, apa benar bahwa negara telah menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air? Apakah benar bahwa negara telah menjamin air yang diperoleh sehat dan bersih? Dan apakah benar bahwa sumber daya air yang kaya di negeri ini memang diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat? Sudahkah rakyat kita makmur?
Pada umumnya warga menilai bahwa air yang didapat bukanlah sepenuhnya dari negara, tapi diperoleh dari alam yang telah lama ada sebelum adanya negara, diperoleh secara cuma-cuma dan tentunya tanpa pungutan biaya. Akan tetapi bagaimana sekarang senyatanya terjadi, setelah dikelola negara. Hampir semua air yang diperoleh tidak semua bisa didapatkan secara cuma-cuma dan gratis, melainkan berbatas, dibagi dan tentunya semua harus membayar.
Jaminan negara untuk air sehat dan bersih, semua hanya janji. Senyatanya air sehat dan bersih hanya dapat diperoleh dengan cara membeli, yang notabene air sehat cuma dimiliki swasta yang diperoleh melalui air-air kemasan yang diperjualbelikan secara bebas tanpa ada pengendalian dan pengawasan yang ketat dari negara, sumber air permukaan seperti sungai penuh pencemaran dari limbah industri, sehingga mendorong warga masyarakatnya kudu membeli air kemasan bahkan air jerigen untuk kebutuhan sehari-harinya, yang terkadang yakin dan tidak yakin air itu layak dan aman untuk dikonsumsi atau tidak, karena tidak dijamin oleh negara.
Ironisnya, negara yang ada cuma pemberian izin yang sebesar-besarnya bagi pihak swasta, perusahaan milik negara bahkan perorangan, yang justru mendorong eskploitasi besar-besar bagi rakyat untuk memperjualbelikan air, dan tak heran pertumbuhan penjual air kemasan atau isi ulang sudah terus bertumbuh pesat, dan negara seakan tutup mata dengan kenyataan tersebut. Jadi pertanyaannya, rakyat mana yang makmur?
Jika petani harus berebut air demi ladang pertaniannya dengan kepentingan industri, pembangkit energi maupun pertambangan, air tanah semakin berkurang karena pertumbuhan penduduk yang mendorong bertumbuhnya ladang untuk pembangunan permukiman baru berupa perumahan mewah dan apartemen, maupun kaum kapitalis elit yang menguasai air tanah untuk kepentingannya sendiri seperti kolam renang, pencucian kendaran, dsb.
Sebatas air hujanlah harapan untuk kelangsungan rakyat kelak, meskipun tidak menentu tersedia, dan yang tentunya tidak dapat dijamin oleh negara, tapi oleh alam. Dan apabila esok lusa air sudah semakin langka dan sulit diperoleh, barulah negara berperan, yaitu memberikan subsidi untuk air bersih.
Menuntut Akuntabilitas Sosial dalam Pemenuhan Hak atas Air
Negara yang terdiri dari organ politik, birokrasi dan hukum di dalamnya, sebenarnya telah berjanji pada rakyatnya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air, yang di antaranya mencegah terganggunya pemenuhan hak atas air baik langsung maupun tidak langsung, mencegah keterlibatan pihak-pihak lain, dan mengambil langkah untuk mencapai pemenuhan hak atas air bagi warga negaranya. Secara tegas, kata “menjamin” merupakan “janji” negara terhadap warga negaranya yang semestinya dipenuhi.
Lantas, bagaimana bila negara tidak mampu memenuhi hak warga negaranya untuk memperoleh hak mendapatkan dan memperoleh air untuk kebutuhan mereka. Jawabannya adalah dengan cara menagih dan menuntut janji tersebut. Bagaimana bisa?, tentunya bisa, secara tegas undang-undang maupun peraturan pemerintah telah mengatur hak-hak warga negara, yang salah satunya adalah berpartisipasi aktif untuk mengeluarkan pendapat, penilaian, pelaporan dan pengaduan dan tentunya memperoleh informasi publik.
Secara prinsipnya, negara pun tidak sendiri dalam mengimplementasikan amanah yang telah dijanjikannya. Khusus sektor air bersih, negara mendelegasikan amanah tersebut terhadap perangkat-perangkat negara untuk membantu pemenuhan hak atas air bagi masyarakatnya.
Sebagai contoh Negara Indonesia, terdapat beberapa kementerian dan lembaga yang bertanggungjawab untuk mengurusi pemenuhan hak atas air dan menjamin pemenuhan tersebut bagi warga negara untuk mendapatkannya. Jaminan negara tersebut didelegasikan di lintas kementerian yang di antaranya Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kesehatan, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Perumahan Rakyat. Sedangkan lembaga atau setingkat badan pun turut dibentuk, seperti halnya Badan Pengendali Sistem Penyediaan Air Minum (BP-SPAM) serta Balai Besar Pengelolaan Sungai (BBWS) yang tetap berada di bawah koordinasi kementerian Pekerjaan Umum.
Di tingkat pemerintahan daerah, amanah tersebut pun turut ditularkan terhadap lembaga-lembaga yang memiliki hubungan vertikal hanya dibedakan berdasarkan batas wilayah dan kewenangan antara propinsi dan kabupaten/kota. Akan tetapi, khususnya di tingkat kabupaten/kota peran tanggungjawab di dalam pemenuhan hak atas air dibagi kepada Perusahan Daerah Air Minum (PDAM), yang merupakan perusahaan milik daerah, yang berfungsi sebagai mesin anjungan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Banyak sudah lembaga-lembaga pemerintah yang mengemban amanah untuk pemenuhan hak atas air bagi masyarakatnya, tidak menutup kemungkinan bahwa pemerintah pun telah memberikan izin dan menggandeng pihak-pihak swasta bermodal besar untuk meraih keuntungan atas nama pemenuhan hak dan penjaminan kesehatan bagi kehidupan masyarakatnya yang berkelanjutan. Pertanyaannya sudahkah badan-badan publik maupun swasta telah memenuhi hak masyarakatnya untuk menjadi lebih sehat dan produktif?
Ironisnya, semua janji dan jaminan telah dituangkan ke dalam peraturan bahkan perencanaan dan penganggaran pembangunan mulai tingkat nasional sampai tingkat daerah. Anggaran-anggaran yang diperoleh dari rakyat pun telah dialokasikan setiap tahunnya ke dalam program dan kegiatan untuk pemenuhan hak atas air bersih. Kendati demikian, masih banyak warga masyarakat yang justru belum mendapatkan hak mereka semestinya.
Dana-dana pusat yang bersumber dari APBN atau dari hutang-hutang luar negeri yang dikemas ke dalam program nasional untuk pengembangan sistem air bersih maupun air minum, bahkan dana pusat yang digelontorkan ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Alokasi Umum (DAU), bahkan dana yang bersumber dari APBD yang dialokasikan setiap tahunnya belum mampu menepati jaminan yang telah menjadi amanah.
Lantas ke manakah anggaran itu mengalir, seberapa “jernih” anggaran itu disalurkan dan dilaksanakan. Kadang muncul banyak pertanyaan bahwa anggaran publik bagi penyediaan layanan air bersih, tidak sebersih penyaluran dan pelaksanaannya.
Anehnya, masyarakat hanya bisa diam dan bingung dengan sendirinya, karena tidak banyak tahu mengenai anggaran bahkan pelaksanaan anggaran publik bagi program- program penyediaan air bersih, akibat dari tertutupnya keran informasi publik yang semestinya diperoleh oleh masyarakat, khususnya di tingkat kabupaten/kota.
Atas dasar persoalan di atas, maka pondasi akuntabilitas sosial adalah penting, khususnya di dalam penyediaan air bersih. Keterlibatan warga negara, atau dalam hal ini warga biasa dan organisasi masyarakat sipil untuk mampu berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung adalah wajib secara nyata untuk mampu meminta dan menuntut pertanggungjawaban sosial dari negara atau pemerintah yang telah menjanjikan untuk menjamin hak setiap orang untuk memperoleh hak atas air.
Penerapan dan Penggunaan Alat Akuntabilitas Sosial: Studi Kasus di Daerah
Mekanisme akuntabilitas sosial bertujuan untuk memungkinkan warga negara, dalam hal ini warga biasa maupun organisasi masyarakat sipil untuk terlibat didalam proses pembuatan kebijakan, pelayanan, penyusunan anggaran dan analisis, penelusuran belanja publik dan pemantauan kinerja pelayanan publik dengan cara yang mengungkapkan terhadap sisi permintaan (demand side) dan menuntut akuntabilitas dari pemerintah dan penyedia layanan untuk meningkatkan kualitas pelayanannya.
Meskipun di tingkat pemerintahan pusat, banyak ragam program-program berplatform nasional digulirkan ke tingkat daerah untuk penyediaan air bersih maupun sanitasi yang berbasis masyarakat, akan tetapi belum menjadi komitmen pemerintah di daerah, khususnya tingkat kabupaten/kota untuk mampu mengadopsi sepenuhnya.
Beberapa praktik akuntabilitas sosial lebih banyak didorong oleh organisasi masyarakat sipil, untuk menggerakkan sisi permintaan dari bawah ke atas (bottom–up). Terdapat beberapa alat pendekatan yang umum dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil sebagai cara untuk menuntut akuntabilitas sosial terhadap janji-janji pemerintah maupun janji politik di dalam pemenuhan hak –hak dasar warga negara melalui pendekatan penelitian sebagai basis bukti.
Sebagai contoh, Perkumpulan INISIATIF bersama jaringan kelompok masyarakat di Kabupaten Bandung dan Garut pada tahun 2012 melakukan akses informasi publik yang dibarengi dengan kegiatan survey penelusuran belanja publik atau public expenditure tracking survey (PETS) berkenaan dengan program–program penyediaan air bersih yang merupakan program PDAM maupun Dinas Cipta Karya.
Berdasarkan hasil survey penelusuran, kelompok masyarakat dapat memetakan aktor-aktor yang terlibat di dalam penentuan anggaran, sumber anggaran program penyediaan air bersih, mekanisme dan periode pelaksanaan anggaran sampai ke tingkat masyarakat penerima manfaatnya. Hasil survey tersebut pun menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk program-program penyediaan air bersih di tingkat daerah, khususnya di tingkat kabupaten/kota lebih banyak disokong melalui anggaran pusat melalui dana alokasi khusus (DAK) maupun dana alokasi umum (DAU), dan sedikit sekali jumlahnya anggaran yang dialokasikan melalui APBD.
Alat akuntabilitas sosial lain yang dilakukan adalah Kartu Laporan Warga atau Citizen Report Card (CRC). Dari penelitian yang menitikberatkan pada survey rumah tangga tersebut, menghasilkan bahwa sebagian besar pelayanan program penyediaan air bersih dirasakan belum optimal, dari sudut pandang rumah tangga pengguna PDAM maupun penerima manfaat dari program melalui Dinas Cipta Karya.
Hal tersebut sangatlah timpang, apabila dari pandangan rumah tangga maupun masyarakat penerima layanan air bersih, menilai bahwa pemenuhan hak mereka atas air belumlah sepenuhnya optimal, sementara kucuran dana dari pusat dan daerah hampir setiap tahun dialokasikan dan dialirkan ke dalam bentuk program dan kegiatan pengembangan sistem penyediaan air bersih, lantas pertanyaannya seberapa efektifkah anggaran tersebut dilaksanakan, toh pada masyarakat masih menilai pemenuhan atas akses air bersih , masih lebih dominan dipenuhi oleh pihak swasta, dengan cara membeli air-air kemasan dan isi ulang.
Tak cukup sampai di situ, pembuktian lainnya, yaitu masyarakat menilai bahwa keberadaan program dan kegiatan penyediaan air bersih pun terkadang tidak jelas siapa sasarannya, lokasi dibangunnya serta jumlah anggaran yang dilaksanakan untuk sebuah pembangunan prasarana air bersih. Karena senyatanya tak jarang bahwa pelaksanaan pembangunan lebih banyak dilakukan oleh pihak kontraktor, yang tidak semua masyarakat tahu kredibilitas penyedia jasa kontruksi tersebut, serta tidak semua tahu bagaimanakah proses penentuan penyedia jasa tersebut.
Kondisi yang digambarkan di atas, merupakan hasil kegiatan audit sosial yang dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri, masyarakat yang merupakan penerima manfaat langsung dari program pelayanan air bersih. Sebagai contoh, masyarakat pada umumnya menilai bahwa kualitas air yang diperoleh dari PDAM, berbau kaporit. Yang tentunya, mereka enggan untuk mengkonsumsi langsung dari sumber tersebut, disebabkan mereka tidak yakin bahwa kandungan kaporit yang terdapat pada air yang mereka konsumsi sehat dan aman.
Di sisi lain, program dan kegiatan penyediaan prasarana air bersih yang difasilitasi melalui Dinas Cipta Karya, yang bersumber dari anggaran pusat maupun daerah, masyarakat masih menemukan, selain lokasi dan jumlah sasaran yang tidak jelas, ada hal-hal lain yang selalu luput dari pengawasan pemerintah pada khususnya, yakni menyangkut soal aset prasarana yang dibangun. Umumnya tidak jelas secara kepemilikan, serah terima prasarana serta hak dan kewajiban pengelolaan semakin tidak jelas, dan prasarana yang malfungsi.
Di samping itu, indikasi kecurangan dalam memainkan spesifikasi barang pun kerap sekali terjadi, yang ditandai adanya perubahan pelaksanaan pembangunan prasarana, tanpa masyarakat tahu tentang alasan mendasar dari perubahan pelaksanaan teknis pembangunan tersebut, yang senyatanya pada umumnya masyarakat hanya dilibatkan sebagai pekerja di dalam pembangunannya. Informasi berkenaan dengan desain teknis, perubahan teknis pelaksanaan, anggaran pelaksanaan, sangatlah jarang dapat diakses oleh masyarakat, dan cenderung terkunci rapat. Padahal, masyarakatlah yang ke depan terbebani untuk memelihara prasarana tersebut.
Kesimpulan dan Pembelajaran
Sekilas beberapa praktik yang disampaikan di atas, merupakan upaya-upaya warga masyarakat atau organisasi masyarakat sipil untuk memainkan peran di dalam pengawasan yang sekaligus menuntut akuntabilitas/pertanggungjawaban sosial berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh sesuai dengan kenyataan yang tentunya dialami oleh masyarakat itu sendiri.
Peran masyarakat secara aktif di dalam upaya pengawasan sangatlah penting, mengapa demikian? Karena tidak semua upaya pengawasan yang dilakukan oleh badan dan lembaga pemerintah mampu mengawasi secara utuh kinerja program dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri. Tak heran, banyak hal yang selalu luput dari pengawasan di dalam program penyediaan air bersih. Oleh karenanya, masyarakat sepatutnya perlu dilibatkan secara utuh pada setiap langkah kegiatan.
Alat–alat akuntabilitas sosial yang umum diterapkan merupakan upaya di dalam mengukur kinerja pelayanan publik, yang salah satu contohnya adalah di dalam penyediaan air bersih. Dari sisi kegunaan, masyarakat sangat mudah untuk menerapkannya, dan di samping itu pendekatan di atas pun merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat yang semestinya dapat dijalankan secara berkelanjutan dan konsisten.
Apabila badan maupun lembaga pemerintah benar-benar sadar, dari sejumlah peraturan yang mencantumkan tentang peran masyarakat di dalam perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan, terkadang jauh dari apa yang diimplementasikan. Kini, dengan pendekatan di atas sedikitnya masyarakat dimampukan untuk berani menuntut apa yang semestinya mereka terima, dan mampu menilai apa yang sebenarnya mereka terima selama ini dengan menggunakan beberapa alat yang telah disampaikan di atas.
Pemerintah pada prinsipnya akan sangat diuntungkan, dengan adanya peran aktif masyarakat, masukan maupun koreksi tidak hanya turun dari badan-badan publik yang kompeten, seperti BPK, BPKP dan inspektorat yang senyatanya belum mampu mengukur dan mengawasi seluruh program dan kegiatan di sektor publik. Akan tetapi, dengan alat dan pendekatan akuntabilitas sosial, masyarakat mampu menyampaikan pendapat, pengaduan dan pelaporan berdasarkan bukti-bukti yang mereka alami serta dapat dipertanggungjawabkan.
Hanya, ke depan tinggal bagaimana pemerintah itu sendiri mampu menerima pendekatan tersebut. Toh faktanya, peran masyarakat yang aktif dan hasil-hasil yang diperoleh melalui alat akuntabilitas sosial tersebut selalu dinilai sebagai “serangan”. Bukannya dipandang sebagai sebuah masukan yang bermanfaat untuk meningkatkan kinerja layanan mereka, tetapi malah sebaliknya. Maka tak heran, sebenarnya partisipasi masyarakat, khususnya dalam program penyediaan air bersih masih terkesan tekstual. Komitmen pemerintah khususnya di daerah masih sangatlah rendah untuk benar-benar melibatkan dan mengakomodasi semua input dari masyarakatnya.
Kondisi demikian, mendorong terusnya upaya-upaya penuntutan hak masyarakat untuk mendapatkan hak-nya sesuai dengan yang telah dijamin oleh pemerintah, sampai pemerintah benar-benar sadar bahwa ke depan masyarakat sudah semakin cerdas dan berdaya.
[1] Dikutip dari UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 5 dan Pasal 6.