Luasnya laut, panjangnya pantai, ribuan pulau-pulau kecil yang Indonesia miliki, tidak lantas berdampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir yang kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya ikan. Data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2017 menunjukkan bahwa nelayan adalah salah satu profesi paling miskin di Indonesia. Sebanyak 11,34% orang di sektor perikanan tergolong miskin, lebih tinggi dibandingkan sektor pelayan restoran (5,56%), konstruksi bangunan (9,86%), serta pengelolaan sampah (9,62%). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah 4% atau berjumlah 10,86 juta jiwa dari tingkat angka kemiskinan nasional yang masih sebesar 10,14% atau sebanyak 27,54 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin ekstrem sebesar 10,86 juta jiwa, 12,5% atau 1,3 juta jiwa diantaranya berada di wilayah pesisir.
Hampir 85% nelayan di Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil yang beroperasi di sekitar perairan pantai. Kontribusi nelayan skala kecil sangat besar dalam produksi perikanan tangkap, namun nelayan skala kecil pada umumnya hidup dibawah garis kemiskinan.
Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah salah satu komponen penting dalam kegiatan usaha penangkapan ikan. Biaya yang dikeluarkan nelayan untuk BBM diperkirakan mencapai 50-70% dari total biaya operasional melaut, sehingga penyediaan BBM yang memadai, baik dari sisi kuantitas maupun harga, sangat di butuhkan oleh nelayan kecil.
Kebijakan subsidi BBM pada usaha perikanan dimaksudkan untuk membantu nelayan agar dapat membeli BBM sesuai kebutuhannya dengan harga lebih murah sehingga produktivitas dan pendapatan nelayan meningkat. Prinsip dasar pemberian subsidi BBM kepada nelayan adalah harus tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat jumlah, sesuai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Namun, nelayan kecil dan tradisional dengan bobot kapal kurang dari 30 GT masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan subsidi BBM jenis solar. Sehingga mereka membeli BBM jenis solar dari pengecer dengan harga lebih mahal, diluar harga resmi pemerintah. Hasil sosial audit yang dilakukan oleh Perkumpulan Inisiatif bersama Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada bulan April-Mei 2021, dengan jumlah responden
4.687 orang nelayan, menunjukkan bahwa 82,08% nelayan kecil tidak memiliki akses terhadap subsidi BBM.
Atas kondisi itulah maka kami dari Perkumpulan Inisiatif melakukan penelitian kredibilitas anggaran subsidi BBM solar untuk nelayan, yang merupakan tindak lanjut dari sosial audit yang sudah dilakukan. Penelitian kredibilitas anggaran mengkaji potret kuota dan realisasi BBM solar untuk nelayan, potret anggaran subsidi BBM solar untuk nelayan yang ditetapkan dengan yang direalisasikan, potret kebutuhan subsidi BBM solar berdasarkan wawancara dengan nelayan, potret jumlah nelayan, dan alur proses bisnis subsidi BBM solar untuk nelayan serta peran aktor yang berwenang dalam memutuskan kebijakan subsidi BBM solar. Data penelitian ini diambil dari tahun 2016-2020.
Dengan demikian, secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menilai sejauh mana proses perencanaan, penganggaran, pendistribusian dan pengawasan subsidi BBM solar untuk nelayan telah memenuhi prinsip-prinisip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam tata kelola Public Financial Management (PFM) serta kerangka analisis yang mengacu pada Public Expenditure and Financial Accountability (PEFA).
Anggaran yang kredibel mencerminkan kemampuan pemerintah untuk memberikan pelayanan publik sebagaimana tertuang dalam kebijakan pemerintah. Transparansi dan akuntabilitas adalah komponen penting dari serangkaian reformasi belanja publik yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas belanja publik.
Harapan kami, semoga hasil penelitian ini mampu memberikan dorongan yang kuat kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan tata kelola dalam proses perencanaan, penganggaran, pendistribusian dan pengawasan subsidi BBM solar untuk nelayan sehingga nelayan bisa mudah mengakses subsidi BBM solar.
Terimakasih saya ucapkan kepada seluruh rekan-rekan di Perkumpulan Inisiatif yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk melakukan penelitian kredibilitas anggaran. Kepada Adenantera Dwicaksono dan Saeful Muluk yang telah memberikan mentoring dan coaching kepada saya dalam penelitian ini. Kepada International Budget Partnership (IBP) yang telah mendukung penelitian kredibilitas anggaran. Kepada Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang telah bersinergi dengan kami untuk mengkonsolidasi nelayan kecil dan tradisional dalam proses penelitian in
Silahkan membaca di sini. (Jika mau mendapatkan softcopy-nya, silahkan mengajukan permintaan ke inisiatif@inisiatif.org)
Luasnya laut, panjangnya pantai, ribuan pulau-pulau kecil yang Indonesia miliki, tidak lantas berdampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir yang kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya ikan. Data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2017 menunjukkan bahwa nelayan adalah salah satu profesi paling miskin di Indonesia. Sebanyak 11,34% orang di sektor perikanan tergolong miskin, lebih tinggi dibandingkan sektor pelayan restoran (5,56%), konstruksi bangunan (9,86%), serta pengelolaan sampah (9,62%). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah 4% atau berjumlah 10,86 juta jiwa dari tingkat angka kemiskinan nasional yang masih sebesar 10,14% atau sebanyak 27,54 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin ekstrem sebesar 10,86 juta jiwa, 12,5% atau 1,3 juta jiwa diantaranya berada di wilayah pesisir.
Hampir 85% nelayan di Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil yang beroperasi di sekitar perairan pantai. Kontribusi nelayan skala kecil sangat besar dalam produksi perikanan tangkap, namun nelayan skala kecil pada umumnya hidup dibawah garis kemiskinan.
Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah salah satu komponen penting dalam kegiatan usaha penangkapan ikan. Biaya yang dikeluarkan nelayan untuk BBM diperkirakan mencapai 50-70% dari total biaya operasional melaut, sehingga penyediaan BBM yang memadai, baik dari sisi kuantitas maupun harga, sangat di butuhkan oleh nelayan kecil.
Kebijakan subsidi BBM pada usaha perikanan dimaksudkan untuk membantu nelayan agar dapat membeli BBM sesuai kebutuhannya dengan harga lebih murah sehingga produktivitas dan pendapatan nelayan meningkat. Prinsip dasar pemberian subsidi BBM kepada nelayan adalah harus tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat jumlah, sesuai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Namun, nelayan kecil dan tradisional dengan bobot kapal kurang dari 30 GT masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan subsidi BBM jenis solar. Sehingga mereka membeli BBM jenis solar dari pengecer dengan harga lebih mahal, diluar harga resmi pemerintah. Hasil sosial audit yang dilakukan oleh Perkumpulan Inisiatif bersama Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada bulan April-Mei 2021, dengan jumlah responden
4.687 orang nelayan, menunjukkan bahwa 82,08% nelayan kecil tidak memiliki akses terhadap subsidi BBM.
Atas kondisi itulah maka kami dari Perkumpulan Inisiatif melakukan penelitian kredibilitas anggaran subsidi BBM solar untuk nelayan, yang merupakan tindak lanjut dari sosial audit yang sudah dilakukan. Penelitian kredibilitas anggaran mengkaji potret kuota dan realisasi BBM solar untuk nelayan, potret anggaran subsidi BBM solar untuk nelayan yang ditetapkan dengan yang direalisasikan, potret kebutuhan subsidi BBM solar berdasarkan wawancara dengan nelayan, potret jumlah nelayan, dan alur proses bisnis subsidi BBM solar untuk nelayan serta peran aktor yang berwenang dalam memutuskan kebijakan subsidi BBM solar. Data penelitian ini diambil dari tahun 2016-2020.
Dengan demikian, secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menilai sejauh mana proses perencanaan, penganggaran, pendistribusian dan pengawasan subsidi BBM solar untuk nelayan telah memenuhi prinsip-prinisip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam tata kelola Public Financial Management (PFM) serta kerangka analisis yang mengacu pada Public Expenditure and Financial Accountability (PEFA).
Anggaran yang kredibel mencerminkan kemampuan pemerintah untuk memberikan pelayanan publik sebagaimana tertuang dalam kebijakan pemerintah. Transparansi dan akuntabilitas adalah komponen penting dari serangkaian reformasi belanja publik yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas belanja publik.
Harapan kami, semoga hasil penelitian ini mampu memberikan dorongan yang kuat kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan tata kelola dalam proses perencanaan, penganggaran, pendistribusian dan pengawasan subsidi BBM solar untuk nelayan sehingga nelayan bisa mudah mengakses subsidi BBM solar.
Terimakasih saya ucapkan kepada seluruh rekan-rekan di Perkumpulan Inisiatif yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk melakukan penelitian kredibilitas anggaran. Kepada Adenantera Dwicaksono dan Saeful Muluk yang telah memberikan mentoring dan coaching kepada saya dalam penelitian ini. Kepada International Budget Partnership (IBP) yang telah mendukung penelitian kredibilitas anggaran. Kepada Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang telah bersinergi dengan kami untuk mengkonsolidasi nelayan kecil dan tradisional dalam proses penelitian in
Silahkan membaca di sini. (Jika mau mendapatkan softcopy-nya, silahkan mengajukan permintaan ke inisiatif@inisiatif.org)