Pembentukan program revitalisasi dalam rangka mempertahankan status quo kepemilikan SHGU PTPN VIII di afdeling Cikembang Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Program revitalisasi merupakan sebuah program yang dibuat oleh PTPN VIII sebagai jalan tengah dalam menangani konflik lahan dengan para petani penggarap di afdeling Cikembang. Sebelum adanya program ini, para petani melakukan pembabatan pohon kina yang sudah tidak produktif. Aktivitas tersebut membuat PTPN VIII bereaksi untuk terus mempertahankan status quo terhadap lahan di Afdeling Cikembang dengan luas lahan kurang lebih seluas 960 Ha. PTPN VIII berdalih memiliki kuasa penuh atas lahan tersebut karena masih memiliki SHGU. Meski pada faktanya, sampai saat ini masyarakat ataupun aparat Desa belum pernah melihat bukti SHGU tersebut.
Petani di wilayah Afdeling Cikembang mengelola lahan garapan milik PTPN VIII seluas 27 Ha pada blok Pajagalan. Lahan tersebut kurang lebih digarap oleh 30 orang petani penggarap dengan jumlah luas lahan yang berbeda-beda dengan jenis tanaman holtikultura seperti wortel, kubis, dan kentang. Menurut informasi dari beberapa petani, sulitnya akses terhadap modal merupakan salah satu kesulitan yang dihadapi oleh para petani. Hal tersebut dikarenakan pengeluaran pada proses masa tanam hingga panen tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapatkan.
Seperti yang disampaikan oleh Pak Endang, seorang petani yang menggarap di wilayah Afdeling Cikembang dengan luas lahan seluas 5 patok atau sekitar 1500 m2 yang ditanami oleh tanaman kentang sebagai komoditi utama. Jika kita rata-ratakan keuntungan setiap musim panen untuk tanaman holtikultura yaitu sekitar Rp. 5.000.000 sampai dengan Rp. 8.000.000 tergantung luasan dan jenis tanamannya. Pendapatan tersebut diperoleh selama empat bulan sekali sesuai dengan proses penanaman hingga masa panen tiba. Sehingga rata-rata keuntungan petani setiap bulannya sekitar Rp.1.250.000 sampai dengan Rp. 2.000.000 .
Jika kita lihat dari besaran luasan lahan yang dimiliki oleh PTPN VIII di afdeling Cikembang, maka dapat kita hitung pajak bumi dan bangunan yang harus dibayarkan oleh PTPN VIII kepada negara dengan perhitungan hanya tanah tanpa bangunan dengan Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp. 14.000 dan NJOPTKP sebesar Rp. 24.000.000 maka pajak yang harus dibayarkan sebesar Rp. 268.752.000/tahunnya.
Pada tahun 2007 PTPN VIII mulai melakukan penanaman kopi sebagai alternatif dari kina yang sudah tidak produktif. Namun hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga pada tahun 2010 PTPN kembali melakukan penanaman kopi diseluruh lahan eks kina dengan menggandeng para petani yang menggarap lahan eks kina. Dari program revitalisasi terbentuk lah sebuah MoU dengan para petani Dalam praktiknya ada pengawasan khusus oleh mandor untuk menjaga pertumbuhan pohon kopi yang ideal. Pengawasan juga bertujuan untuk memonitoring kuantitas dan kualitas pohon kopi. Dalam program revitalisasi itu, para petani diperbolehkan mengolah lahan melalui tumpangsari dengan tanaman holtikultura. Sekilas, aturan itu menjadi solusi bagi PTPN VIII dan para petani. Namun dalam praktiknya, petani dibebani tanggung jawab di luar kapasitas mereka. Sebab, jika terjadi kegagalan pertumbuhan pohon kopi atau jika ada pohon kopi yang terganggu maka petani harus bertanggung jawab untuk setiap kerusakan pohon kopi tersebut. Aturan itu sangat merugikan, karena petani harus memberi ganti rugi dari kerusakan pohon kopi kepada PTPN VIII.
Di dalam MoU itu juga disebutkan adanya pola bagi hasil kopi antara petani dengan PTPN VIII. Untuk setiap panen kopi, petani mendapat 75% dari keuntungan, sedangkan 25% untuk penjaga dan juga pihak PTPN VIII. Dengan pembagian hasil dari lahan kopi tersebut, diharapkan petani merasa ikut memiliki, sehingga pohon kopi yang ditanam dirawat dengan baik. Meski begitu PTPN VIII tetap mendapat keuntungan lebih tinggi karena petani diwajibkan untuk menjual hasil kopi tersebut kepada PTPN VIII dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya.
Jika kita telaah lebih jauh apakah program revitalisasi diperbolehkan secara aturan? Merujuk kepada dasar pengajuan SHGU, sebenarnya PTPN VIII tidak dibenarkan untuk menyewakan aset tanah negara kepada pihak lain dan tidak dibenarkan untuk merubah komoditi lahan. Menurut UUPA, dengan tidak dikelolanya dan/atau terlantarnya objek tersebut serta berakhirnya hak atas tanah (HGU) maka status tanah tersebut dinyatakan menjadi tanah negara.
Menurut Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010 Pasal 1 Angka 5, tanah yang diindikasikan terlantar adalah tanah yang diduga tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian. Definisi itu menjelaskan bagaimana tanah terlantar bisa terjadi dan lebih jauh menjadi penyebab timbulnya okupasi oleh masyarakat yang berinisiatif mengelola serta memanfaatkan tanah terindikasi terlantar[1].
Sistem tumpang sari yang dijalankan oleh warga pada program revitalisasi memberikan kesempatan pada warga yang tidak memiliki lahan untuk tetap bisa berkebun tanpa dibebankan dengan biaya sewa lahan. Selain itu, perubahan komoditi dari kina ke kopi juga memberikan keuntungan pada pihak PTPN untuk mempertahankan status quo terhadap lahan HGU dari reclaiming warga setempat. Namun, program revitalisasi itu masih menyisakan persoalan, terutama dalam hal beban tanggung jawab petani yang terlalu besar terhadap tanaman kopi, dan juga keleluasaan petani dalam menjual hasil panen kopi dari bagi hasil dengan PTPN VIII.***
[1] 1 Sustiyadi dalam Oloan Sitorus dkk., 2008, “Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna Usaha Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara: dalam Bhumi, Jurnal Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Nomor 24 Tahun 8, Desember 2008, hlm.4.
Pembentukan program revitalisasi dalam rangka mempertahankan status quo kepemilikan SHGU PTPN VIII di afdeling Cikembang Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Program revitalisasi merupakan sebuah program yang dibuat oleh PTPN VIII sebagai jalan tengah dalam menangani konflik lahan dengan para petani penggarap di afdeling Cikembang. Sebelum adanya program ini, para petani melakukan pembabatan pohon kina yang sudah tidak produktif. Aktivitas tersebut membuat PTPN VIII bereaksi untuk terus mempertahankan status quo terhadap lahan di Afdeling Cikembang dengan luas lahan kurang lebih seluas 960 Ha. PTPN VIII berdalih memiliki kuasa penuh atas lahan tersebut karena masih memiliki SHGU. Meski pada faktanya, sampai saat ini masyarakat ataupun aparat Desa belum pernah melihat bukti SHGU tersebut.
Petani di wilayah Afdeling Cikembang mengelola lahan garapan milik PTPN VIII seluas 27 Ha pada blok Pajagalan. Lahan tersebut kurang lebih digarap oleh 30 orang petani penggarap dengan jumlah luas lahan yang berbeda-beda dengan jenis tanaman holtikultura seperti wortel, kubis, dan kentang. Menurut informasi dari beberapa petani, sulitnya akses terhadap modal merupakan salah satu kesulitan yang dihadapi oleh para petani. Hal tersebut dikarenakan pengeluaran pada proses masa tanam hingga panen tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapatkan.
Seperti yang disampaikan oleh Pak Endang, seorang petani yang menggarap di wilayah Afdeling Cikembang dengan luas lahan seluas 5 patok atau sekitar 1500 m2 yang ditanami oleh tanaman kentang sebagai komoditi utama. Jika kita rata-ratakan keuntungan setiap musim panen untuk tanaman holtikultura yaitu sekitar Rp. 5.000.000 sampai dengan Rp. 8.000.000 tergantung luasan dan jenis tanamannya. Pendapatan tersebut diperoleh selama empat bulan sekali sesuai dengan proses penanaman hingga masa panen tiba. Sehingga rata-rata keuntungan petani setiap bulannya sekitar Rp.1.250.000 sampai dengan Rp. 2.000.000 .
Jika kita lihat dari besaran luasan lahan yang dimiliki oleh PTPN VIII di afdeling Cikembang, maka dapat kita hitung pajak bumi dan bangunan yang harus dibayarkan oleh PTPN VIII kepada negara dengan perhitungan hanya tanah tanpa bangunan dengan Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp. 14.000 dan NJOPTKP sebesar Rp. 24.000.000 maka pajak yang harus dibayarkan sebesar Rp. 268.752.000/tahunnya.
Pada tahun 2007 PTPN VIII mulai melakukan penanaman kopi sebagai alternatif dari kina yang sudah tidak produktif. Namun hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga pada tahun 2010 PTPN kembali melakukan penanaman kopi diseluruh lahan eks kina dengan menggandeng para petani yang menggarap lahan eks kina. Dari program revitalisasi terbentuk lah sebuah MoU dengan para petani Dalam praktiknya ada pengawasan khusus oleh mandor untuk menjaga pertumbuhan pohon kopi yang ideal. Pengawasan juga bertujuan untuk memonitoring kuantitas dan kualitas pohon kopi. Dalam program revitalisasi itu, para petani diperbolehkan mengolah lahan melalui tumpangsari dengan tanaman holtikultura. Sekilas, aturan itu menjadi solusi bagi PTPN VIII dan para petani. Namun dalam praktiknya, petani dibebani tanggung jawab di luar kapasitas mereka. Sebab, jika terjadi kegagalan pertumbuhan pohon kopi atau jika ada pohon kopi yang terganggu maka petani harus bertanggung jawab untuk setiap kerusakan pohon kopi tersebut. Aturan itu sangat merugikan, karena petani harus memberi ganti rugi dari kerusakan pohon kopi kepada PTPN VIII.
Di dalam MoU itu juga disebutkan adanya pola bagi hasil kopi antara petani dengan PTPN VIII. Untuk setiap panen kopi, petani mendapat 75% dari keuntungan, sedangkan 25% untuk penjaga dan juga pihak PTPN VIII. Dengan pembagian hasil dari lahan kopi tersebut, diharapkan petani merasa ikut memiliki, sehingga pohon kopi yang ditanam dirawat dengan baik. Meski begitu PTPN VIII tetap mendapat keuntungan lebih tinggi karena petani diwajibkan untuk menjual hasil kopi tersebut kepada PTPN VIII dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya.
Jika kita telaah lebih jauh apakah program revitalisasi diperbolehkan secara aturan? Merujuk kepada dasar pengajuan SHGU, sebenarnya PTPN VIII tidak dibenarkan untuk menyewakan aset tanah negara kepada pihak lain dan tidak dibenarkan untuk merubah komoditi lahan. Menurut UUPA, dengan tidak dikelolanya dan/atau terlantarnya objek tersebut serta berakhirnya hak atas tanah (HGU) maka status tanah tersebut dinyatakan menjadi tanah negara.
Menurut Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010 Pasal 1 Angka 5, tanah yang diindikasikan terlantar adalah tanah yang diduga tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian. Definisi itu menjelaskan bagaimana tanah terlantar bisa terjadi dan lebih jauh menjadi penyebab timbulnya okupasi oleh masyarakat yang berinisiatif mengelola serta memanfaatkan tanah terindikasi terlantar[1].
Sistem tumpang sari yang dijalankan oleh warga pada program revitalisasi memberikan kesempatan pada warga yang tidak memiliki lahan untuk tetap bisa berkebun tanpa dibebankan dengan biaya sewa lahan. Selain itu, perubahan komoditi dari kina ke kopi juga memberikan keuntungan pada pihak PTPN untuk mempertahankan status quo terhadap lahan HGU dari reclaiming warga setempat. Namun, program revitalisasi itu masih menyisakan persoalan, terutama dalam hal beban tanggung jawab petani yang terlalu besar terhadap tanaman kopi, dan juga keleluasaan petani dalam menjual hasil panen kopi dari bagi hasil dengan PTPN VIII.***
[1] 1 Sustiyadi dalam Oloan Sitorus dkk., 2008, “Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna Usaha Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara: dalam Bhumi, Jurnal Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Nomor 24 Tahun 8, Desember 2008, hlm.4.