Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas lautan kurang lebih 2/3 dari keseluruhan wilayah. Banyak sekali sumber daya yang terkandung di dalam perairan yang menghubungkan pulau-pulau di negeri ini. Salah satunya sumber daya ikan. Ikan sendiri dimengerti sebagai segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan[1].
Dalam mengelola sumber daya ikan, pemerintah Indonesia membagi perairannya menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia, seperti tergambar di bawah ini :
Dari ke-11 WPP yang ditetapkan terdapat 4 WPP yang seluruh areanya berada di dalam perairan Indonesia, yaitu WPP 712, 713, 714 dan 715. Ketujuh WPP yang lain, sebagian areanya berbatasan dengan negara tetangga atau laut lepas, yaitu WPP 571, 572, 573, 718, 717, 716, dan 711.
WPP 571 mencakup perairan di Selat Malaka. Di Samudera Hindia terdapat WPP 572 dan WPP 573 dengan garis pembagi di Selat Sunda. Perairan antara Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat hingga Laut Natuna termasuk ke dalam WPP 711. Di perairan yang menghubungkan Indonesia dan Filipina, yaitu Laut Sulawesi merupakan WPP 716. Di utara Papua yang berhubungan langsung dengan Samudera Pasifik dijadikan WPP 717 dan akhirnya WPP 718 meliputi Laut Arafuru dan Selat Timor, yang berbatasan dengan Timor Timur dan Australia.
Laut Jawa sendiri merupakan WPP 712. Perairan bagian utara Bali-Nusa Tenggara Barat sampai Selat Makassar menjadi bagian WPP 713. Adapun Laut Banda yang menghubungkan Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tenggara ditetapkan menjadi WPP 714. Sedangkan sebagian kepala burung Papua, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah yang dihubungkan Laut Seram dan Teluk Tomini merupakan WPP 715.
Untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya ikan, pemerintah melakukan penetapan estimasi potensi di setiap WPP. Pada Agustus 2011 ditetapkan estimasi potensi di seluruh Indonesia sebesar 6.520.000 ton sumber daya ikan. Sedangkan pada Agustus 2016, penetapan potensi estimasi bertambah sehingga jumlahnya menjadi 9.931.922 ton. Kebijakan tahun 2016 itu menetapkan pula secara eksplisit jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 7.945.541 ton.
Rincian lengkapnya terdapat pada grafik berikut :
Pada grafik di atas, total estimasi potensi ditetapkan pada semua WPP mengalami peningkatan di tahun 2016. Peningkatan terbesar terdapat di Laut Arafuru-Selat Timor (WPP 718), yaitu sebanyak 1.043.000an ton dan Pesisir Barat Sumatera (WPP 572) sebanyak 662.000an ton.
Jika membandingkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB)[5] antara tahun 2011 dan 2016, maka terjadi penetapan penurunan pada 4 WPP, yaitu Laut Natuna-Selat Karimata (WPP 711), Laut Jawa (WPP 712), Laut Flores-Selat Makassar (WPP 713) dan Laut Seram-Teluk Tomini (WPP 715). Masing-masing sebanyak 86.000an ton, 51.000an ton, 108.000an ton dan 80.000an ton.
Pertumbuhan perikanan tangkap laut dari tahun 2011-2015 terus mengalami peningkatan dengan produksi tahun 2015 mencapai 6.204.668 ton. Jumlah ini masih berada di bawah penetapan potensi estimasi tahun 2011. Penetapan potensi estimasi 2016 sebanyak 9,9[6] juta ton dan terutama jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JBT) 2016, sebanyak 7,9 juta ton, dengan demikian memberi peluang penambahan produksi bagi pengusaha perikanan dan nelayan. Besarnya peluang tersebut tergambar pada grafik di bawah ini :
Di rencana strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014, target produksi perikanan laut terlewati di tahun 2013 dan 2014. Hal ini bisa jadi berarti pengendalian produksi masih menjadi tantangan walaupun potensi estimasi tidak terlewati. Secara keseluruhan renstra KKP memasang target selalu di bawah jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Itu sejalan dengan kebijakan pengendalian produksi yang terus digalakkan.
Dari semua produksi perikanan tangkap laut, ternyata grafik di atas menunjukkan persentase hasil produksi yang dijual di TPI dari tahun 2011-2015 tidak pernah melebihi 11%.
Namun bertambahnya potensi tangkapan belum diikuti kemampuan dalam negeri untuk mengekstraksi sumber daya ikan. Pelaku penangkapan ikan di laut menunjukkan kecenderungan menurun. Demikian juga kecenderungan jumlah armada kapal motor yang harapannya bisa berlayar sampai di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), ternyata terlihat menurun. Kecenderungan meningkat hanya terlihat di armada perahu motor tempel.
Sumbangan sektor perikanan (tidak hanya perikanan tangkap) terhadap penerimaan Negara tahun 2015 dan 2016, baik dari kelompok pajak maupun kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ternyata masih di bawah 1% dari total masing-masing kelompok penerimaan.
Besaran total pajak sektor perikanan sebetulnya mengalami kecenderungan naik hingga tahun 2015 sampai mendekati 1 T (941,8 M). Namun di tahun 2016 terjadi penurunan menjadi 839, 5 M. Pajak dari perikanan pengolahan dan perdagangan (perikanan lainnya) konsisten memberikan sumbangan terbesar pada sector ini. Pajak dari perikanan tangkap mengalami puncak pertumbuhan pada tahun 2014 dan setelah itu menunjukkan gejala menurun.
Besar sumbangan pajak perikanan yang tersaji pada grafik di atas ternyata belum mencerminkan potensi yang ada. Menurut data Ditjen Pajak, terdaftar 99.815 Wajib Pajak yang terdiri dari 97.965 WP KLU[9] Perikanan (Tangkap, Budidaya, Industri Pengolahan dan Perdagangan Perikanan) dan 1.850 KLU Non Perikanan[10].
Dari data tersebut, Wajib Pajak yang melapor SPT (termasuk yang nihil) yang menyumbangkan realisasi pajak perikanan persentasenya tidak pernah melebihi 20% dari tahun 2012-2016. Berturut-turut persentase WP yang melapor SPT adalah 13,53%, 14,02%, 16,13&, 19,48% dan 18,81%.
Jika kita menyatukan 1.850 WP KLU Non Perikanan[11] ke dalam total wajib pajak KLU Perikanan dan jika diasumsikan karakteristik WP tidak berbeda jauh, maka akan dapat diperhitungkan simulasi potensi pajak perikanan sebagaimana tersaji dalam tabel di bawah ini :
Potensi yang terhitung pada masing-masing tahun anggaran menunjukkan nilai di atas 2 T. Jika dibandingkan realisasi pajak perikanan, maka besar potensi pajak perikanan di tiap tahun adalah 639%, 613%, 520%, 413% dan tahun 2016 sebesar 431%.
Ditinjau dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), realisasi yang melebihi target pendapatan perikanan, hanya terjadi di tahun 2011 dan 2012. Setelah itu realisasi pendapatan perikanan belum pernah mencapai target kembali. Berturut-turut pencapaian realisasi 2011-2017 adalah sebagai berikut 123%, 144%, 92%, 87%, 14%, 52% dan pencapaian semester 1 TA 2017 sebesar 18% dari target.
Akan tetapi, pada tahun 2016 terdapat tanda peningkatan realisasi pendapatan perikanan, yaitu menjadi Rp 362.117.397.236,-. Hal ini melompat 457 % dari realisasi tahun 2015.
Jika dihitung berdasarkan selisih target dan realisasi, maka terdapat kehilangan potensi penerimaan negara selama 6,5 tahun sebanyak Rp 1.559.421.237.019,- Jika tanpa memperhitungkan semester 1 tahun 2017, maka potensi kehilangan sebanyak Rp 785.121.237.019,-
Catatan Kaki :
[1] Pengertian ikan menurut Undang-Undang No.45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
[2] PermenKP No.PER.1/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
[3] PermenKP No.45/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Rokhmin Dahuri, mantan menteri kelautan dan perikanan bahkan menyebut potensi sebesar 65 juta ton tanpa merinci seberapa besar potensi perikanan tangkap laut. Lihat http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/12/12/05/mejnwp-potensi-perikanan-indonesia-baru-tergarap-20-persen
[4] PermenKP No.47/2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
[5] Dengan asumsi di tahun 2011 estimasi potensi = jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
[6] Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Bulan Juni 2017 mengeluarkan pernyataan potensi sumber daya ikan sebayak 12,5 juta ton. Namun jumlah ini belum ditetapkan secara resmi dalam bentuk peraturan menteri. Penetapan estimasi potensi memang seharusnya dilakukan setiap tahun. Lihat https://bisnis.tempo.co/read/news/2017/06/20/090886011/potensi-ikan-tangkap-ri-mencapai-12-5-juta-ton Sedangkan penghitungan 12,5 ton bisa dilihat di http://www.mongabay.co.id/2017/06/21/kenapa-stok-ikan-terbaru-jadi-125-juta-ton-per-tahun-ini-jawabannya/
[7] Lihat Optimalisasi Penerimaan Pajak Sektor Usaha Perikanan : Tantangan dan Hambatan, 2017, http://satgas115.id/wp-content/uploads/2017/06/Paparan-Ditjen-Pajak-Acara-Satgas-115-2.pdf
[8] Perikanan lainnya adalah Wajib Pajak KLU Perikanan Industri Pengolahan dan Perdagangan Perikanan.
[9] Klasifikasi Lapangan Usaha.
[10] Data Ditjen Pajak merinci lebih jauh jumlah WP KLU Perikanan dan KLU Non Perikanan pada setiap wilayah, yaitu Sumatera (27.312 WP – 472 WP), Jakarta (3.780 WP – 581 WP), Jawa Non Jakarta (40.799 WP – 438 WP), Bali dan Nusa Tenggara (3.755 WP – 97 WP), Kalimantan (7.975 WP – 48 WP), Sulawesi (12.870 WP – 151 WP) serta wilayah Papua dan Maluku (1.474 WP – 63 WP).
[11] karena jumlahnya yang kecil (1,85%) dan tidak ada data rinciannya di WP yang tidak melapor SPT dan yang melapor SPT.
[12] Termasuk di dalamnya WP SPT Nihil. Data Ditjen Pajak untuk tahun 2016,dari jumlah WP yang melapor SPT, sebanyak 60% merupakan SPT Nihil dan 40% SPT KB (Kelompok Bayar).