Refleksi Sapei Rusin buat saya kira-kira memaparkan tiga hal pokok. Pertama, dosa-dosa kapitalisme, terutama bagi pihak yang “kalah” di pasar. Kedua, kecerdikan kapitalisme dalam berevolusi. Ketiga, langkah strategis menghadapinya.
Sebelum memberikan tanggapan yang lebih substantif, terdapat beberapa hal yang menurut saya luput dalam membicarakan kemiskinan dan kapitalisme sebagai sebuah refleksi. Refleksi merupakan kesediaan untuk berpikir secara “individualis”, bebas, dan mungkin pengakuan akan kelemahan-kelemahan dari apa yang telah dilakukan sebelumnya. Refleksi Saudara Sapei Rusin terlampau sedikit mengajukan pertanyaan-pertanyaan, sehingga lebih terlihat sebagai ajakan “gerakan”.
Hal pertama, adalah pemahaman mengenai kapitalis dan kapitalisme. Apakah pedagang kaki lima, misalnya, bukan kapitalis? Jika bukan, apakah mereka tidak bercita-cita menjadi kapitalis dalam pengertian tertentu? Ini juga akan berguna ketika ada kebutuhan menentukan “kita” dan “mereka” dalam sebuah gerakan secara konsisten.
Kedua, perdebatan klasik dalam hal apakah persamaan diperlukan: dalam kesempatan atau hasil? Ini menentukan di mana intervensi pemerintah harus dilakukan. Apakah intervensi juga harus dilakukan di pasar (market) atau cukup dilakukan di non-pasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Ketiga, dasar perdebatan antara kapitalisme dan sosialisme mengenai hakikat manusia. Kapitalisme berpandangan bahwa manusia itu pada dasarnya serakah sehingga sistem ekonomi yang terbaik adalah kapitalisme. Sosialisme melihat fitrah manusia itu adalah baik, kapitalismelah yang telah mencemari mereka.
Implikasi perdebatan ini sangat luas dalam memahami sistem ekonomi mana yang paling tepat dengan fitrah manusia. Kapitalisme menganggap sistem ekonomi manapun akan dimanfaatkan oleh manusia yang pada dasarnya serakah. Ketika pasar tidak menjadi raja maka bisa saja perannya diambil alih oleh sebuah kekuatan politik besar yang korup. Sebaliknya, sosialisme melihat manusia yang serakah harus dikoreksi untuk kembali menjadi baik.
Peran Gagasan
Menarik untuk melihat kembali bahwa dalam kurun 20 tahun setelah kemerdekaan kapitalisme -yang selalu berjalan bergandengan dengan liberalisasi ekonomi- tidak terbayangkan akan menjadi “pemenang” untuk digunakan secara riil dalam sistem perekonomian Indonesia. Pemimpin-pemimpin Indonesia pada saat itu di antaranya Soekarno, Hatta, dan Sjahrir cenderung membawa Indonesia ke arah sosialisme berdasarkan pengalaman mereka melawan Pemerintah Kolonial Belanda.
Gagasan kapitalisme untuk Indonesia baru muncul -dan kemudian banyak diterapkan- oleh sekelompok ekonom yang dikenal dengan Mafia Berkeley. Kelompok ini masuk menjadi tim penasihat ekonomi Presiden Soeharto di awal Pemerintahan Orde Baru dan di tahun 1970-an bahkan masuk menjadi anggota kabinet. Gagasan ini kemudian menyebar di dalam pemerintahan, kelompok pemikir, akademisi, dan media massa.
Proses menguatnya gagasan kapitalisme ini bukan tanpa perlawanan. Beberapa intelektual seperti Hatta, Sarbini Soemawinata, Mochtar Lubis, dan Soedjatmoko menyerukan sistem ekonomi Indonesia yang lebih manusiawi, berpihak kepada yang lemah, membendung konsumerisme dan lain-lain. Kontra-gagasan ini bergaung cukup kuat di antaranya terlihat dari Peristiwa Malari dan koreksi kebijakan Pemerintahan Soeharto pada tahun 1970-an.
Terlepas dari berbagai dinamika yang ada, seiring perjalanan waktu gagasan kapitalisme di Indonesia cenderung terus menguat vis a vis sosialisme dan gagasan lainnya yang cenderung ke kiri. Kesenjangan sosial-ekonomi, misalnya, dilihat dengan permisif bahkan oleh masyarakat biasa. Seolah-olah tidak ada ruang dan pilihan lain kecuali kapitalisme beserta evolusi dan koreksinya, termasuk inclusive growth.
Salah satu kunci dari lahirnya situasi ini, saya kira, tidak adanya gagasan dan kelompok-kelompok pemikir yang mampu mengimbangi gagasan kapitalisme di Indonesia. Padahal hal ini merupakan kunci untuk memberikan pengaruh kepada khalayak dan pengambil kebijakan dan juga dapat menjadi landasan yang konsisten bagi gerakan praktis.
Arti penting gagasan ini juga disampaikan oleh Joseph Stiglitz di dalam bukunya The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endanger Our Future. Bagaimana misalnya di masa lalu kolonialisme yang tadinya dianggap hal biasa berubah dilihat menjadi hal buruk. Praktik-praktik kapitalisme baik dalam lingkup internasional maupun di AS pun memperoleh pembenaran melalui gagasan untuk membenarkan praktik tersebut.
Kelemahan gagasan inilah juga yang terlihat membuat pemerintahan saat ini terlihat gamang apakah bergerak ke arah yang lebih liberal atau cenderung proteksionis. Beberapa gagasan Presiden Joko Widodo dan PDI-P di awal pemerintahan, seperti kedaulatan pangan, cenderung ke kiri. Tetapi tampaknya kelompok yang dapat mendukung gagasan tersebut di dalam pemerintahan masih jauh dari memadai.
Salah satu peran strategis Perkumpulan INISIATIF ke depan terkait dengan isu kebijakan dan kepimpinan nasional dapat diarahkan ke arah kontribusi gagasan tersebut. Termasuk di dalamnya membentuk kelompok-kelompok perumus gagasan yang sepaham dari berbagai pemangku kepentingan.