Latar Belakang
Setelah 2,5 tahun melalui proses pembahasan, akhirnya Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara disahkan oleh DPR pada tanggal 19 Desember 2013. Kurang lebih satu bulan kemudian, tepatnya tanggal 15 Januari 2014, Presiden RI menandatangani RUU tersebut dan menetapkannya menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014. Dengan ditetapkannya undang-undang ini dengan serta merta menggantikan Undang-Undang nomor 8 tahun 1974 juncto Undang-Undang nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang telah berlaku sebelumnya.
Jika dicermati, terdapat beberapa perubahan substansi pengaturan yang cukup mencolok antara yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 2014 dengan UU No. 43 Tahun 1999. Beberapa perubahan tersebut diantaranya: pendefinisian aparatur sipil negara sebagai profesi, sentralisasi aparatur dengan menempatkan presiden sebagai selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN serta besarnya penekanan terhadap aspek kompetensi aparatur sebagai dasar penentuan posisi jabatan pimpinan tinggi, fungsional dan administrasi.
Dalam undang-undang ini, aspek kompetensi aparatur sipil negara merupakan salah satu aspek terpenting dalam manajemen aparatur lembaga pemerintahan. Terbitnya undang-undang ini pun salah satunya didasari bahwa pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara selama ini belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Betapa pentingnya kompetensi aparatur sipil negara setidaknya dapat ditunjukan dengan munculnya kata “kompetensi” sebanyak 59 kali dari 141 pasal yang ada dalam undang-undang tersebut, baik yang berkaitan dengan kompetensi minimal yang harus dimiliki ataupun berkaitan dengan peluang pengembangan kompetensi bagi aparatur.
Tinjauan Literatur
David Osborne dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa pemerintah saat ini berisikan banyak orang yang berdedikasi yang terperangkap dalam sistem yang buruk—sistem anggaran yang mengadakan insentif sebagai “uang sampah”, sistem kepegawaian dan pelayanan sipil yang tidak praktis and menyediakan insentif yang kecil. Sistem-sistem ini harus diubah jika pemerintah berkehendak meningkatkan kinerjanya. (Osborne, 1993)
Sementara itu, Dr. Elain Ciulla Kamarck menyatakan bahwa pemerintah yang sukses, merujuk kepada Osborne, adalah katalisator – yang mengarahkan bukan mendayung. Pemerintah adalah dimiliki komunitas, menguatkan pegawainya, memberlakukan kompetisi untuk meningkatkan hasil, berorientasi pada misi, hasil dan kepentingan pengguna layanannya.
Pada Tahun 2011, Tjahjanulin Domai menuliskan gagasannya tentang Sound Governance pada buku dengan judul yang sama. Dalam bukunya, Tjahjanulin Domai mempertegas pendapat Ali Farazmand atas konsep good governance yang hanya terlalu fokus pada tiga komponen yaitu negara, masyarakat sipil dan swasta. Ali Farazmand menilai bahwa terdapat sebuah kekuatan besar dan penting yang diabaikan dalam penerapan konsep good governance di negara berkembang dan kurang berkembang, yaitu struktur kekuatan global (negara barat) dan korporasi transnasional. Kedua kekuatan inilah yang selama ini paling mempengaruhi kemajuan pada sektor politik, ekonomi dan budaya di negara-negara berkembang dan kurang berkembang[1].
Konsep sound governance, digunakan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang bukan hanya jelas secara demokratik, dan tanpa cacat secara ekonomi, finansial, politik konstitusional, organisasi, administratif, manajerial, dan etika, tapi juga jelas secara internasional/global dalam interaksinya dengan negara-bangsa lain dan dengan bagian pemerintahannya dalam cara yang independen dan mandiri.
Sound governance merefleksikan fungsi governing dan administratif dengan kinerja organisasi dan manajerial yang jelas dan bukan hanya kompeten dalam perawatan, tapi juga antisipatif, responsif, akuntabel dan transparan, korektif dan berorientasi jangka panjang meskipun operasinya dalam jangka pendek. (Domai, 2011)
Merujuk pada uraian di atas, tentu saja aparatur sipil negara yang akan bekerja di lembaga pemerintah harus mengacu pada pemenuhan standar kompetensi dari berbagai posisi yang ada di lembaga tersebut. Idealnya, perumusan standar kompetensi ini harus sejalan dengan standar manajemen mutu organisasi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat sebagaimana menjadi tujuan lembaga pemerintahan tersebut. Khususnya bagi lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki unit pelayanan publik. Sayangnya dalam undang-undang tersebut tidak ada satu pasal atau ayat yang secara menjelaskan bahwa penentuan standar kompetensi aparatur pada lembaga pemerintah harus berdasarkan pada standar mutu yang ditetapkan oleh lembaga tersebut.
Evaluasi kinerja instansi pemerintah yang mengacu pada Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang dilakukan selama ini hanya menyoroti aspek ketercapaian terhadap target kinerja program dan keuangan organisasi. Belum terurai dengan jelas bagaimana kemudian kinerja program dan keuangan organisasi tersebut berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan organisasi tersebut. Termasuk belum mengurai sejauhmana kinerja dan kompetensi aparatur di organisasi tersebut mempengaruhi kinerja organisasi.
Silahkan membaca di sini.
[1] Dikutip dari tulisan Editorial Donny Setiawan pada Jurnal Analisis Sosial Akatiga Vol 17 berjudul “Menata Ulang Praktek Good Governance di Indonesia” tahun 2012