“If planning is everything, maybe it’s nothing…” (Aaron Vildavsky, 1973)
…
”If planning is something, it is probably everything.”
A. Pengantar
Tulisan singkat ini akan mengangkat suatu fenomena baru dalam praktik profesional perencanaan di Indonesia. Yaitu praktik profesional perencanaan yang bercirikan: (1) mempunyai sistem nilai keberpihakan pada kelompok marjinal; (2) memiliki motivasi dan spirit voluntarisme serta mengedepankan akuntabilitas etik; (3) mengetengahkan perspektif sosial kritis (social critisism) dan emansipatori sosial (social emancipatory) dalam analisisnya; (4) memanfaatkan prosedur kebijakan dan organisasi kelompok marjinal untuk memperjuangkan kepentingan kelompok marjinal; (5) berorientasi mengubah relasi kuasa yang tidak setara; dan (6) mengakomodasi pengetahuan dan teknologi lokal dalam kognisi dan preskripsinya. Praktik profesional perencanaan dengan keenam ciri di atas, disebut perencanaan emansipasi (emancipatory planning) atau juga perencanaan pro kelompok marjinal/miskin (pro-poor planning). Sementara itu, para pelakunya disebut sebagai Perencana Aktivis. Yaitu suatu kombinasi dari perencana (konvensional) dengan aktivis (konvensional).
Tulisan ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagian pertama menjelaskan posisi praktik perencanaan profesional dalam bangunan eksistensi disiplin ilmu perencanaan (wilayah/desa dan kota). Di sini dijelaskan bahwa menjalankan praktik profesional dengan benar adalah tugas yang sangat penting karena berarti pada dua hal. Pertama pada kemanfaatan pengetahuan dan teknologi perencanaan dalam menjawab kebutuhan manusia. Kedua pada penjaminan eksistensi disiplin ilmu perencanaan itu sendiri.
Bagian kedua menjelaskan tentang pergeseran ciri-ciri perencana profesional: dari perencana konvensional ke Perencana Aktivis. Dalam hal ini akan dibahas 6 (enam) dimensi pergeseran yang terjadi.
Bagian ketiga adalah implikasi dari kemunculan fenomena Perencana Aktivis ini bagi: disiplin ilmu perencanaan, sistem pendidikan perencanaan, dan organisasi profesional perencana.
B. Krisis Eksistensi Disiplin Ilmu Perencanaan dan Tiga Faktor yang Diperlukan Untuk Memulihkannya
Eksistensi disiplin ilmu perencanaan (kota dan desa/wilayah –urban and regional) ditentukan oleh: (1) adanya sekumpulan pengetahuan (knowledge) yang spesifik beserta tata cara meggunakan pengetahuan tersebut untuk memudahkan hidup manusia (know-how atau technology); (2) adanya suatu sistem pendidikan yang memungkinkan pengetahuan dan teknologi ini diajarkan; dan (3) adanya (organisasi) profesional yang secara spesifik menerapkan ilmu dan teknologi ini secara benar sehingga mendapat pengakuan atau dikenali. Ketiga kriteria eksistensi ini dipertanyakan, telah cukup lama.
Perdebatan pertama adalah tentang pengetahuan dan teknologi. Pengetahuan yang coba dibangun oleh disiplin ilmu perencanaan adalah pengetahuan tentang: (1) nature dan dinamika suatu kota dan wilayah; serta (2) aktivitas para pihak dalam memanfaatkan sumber daya di kota dan wilayah tersebut. Teknologi yang coba dikembangkan oleh disiplin ilmu perencanaan adalah teknologi: (1) pemanfaatan sumber daya (air, tanah, udara) yang ada kota dan wilayah; serta (2) minimasi konflik dan maksimasi harmoni antar berbagai interes dan tindakan yang dilakukan oleh berbagai pihak di kota dan wilayah.
Pertanyaan (debat) terhadap klaim di atas adalah bahwa kedua jenis pengetahuan di atas tidak dibangun oleh disiplin ilmu perencanaan, melainkan disediakan oleh berbagai disiplin ilmu lain. Ilmu perencanaan hanya meminjam. Untuk pengetahuan jenis (1), meminjam dari geografi, ekonomi, geologi, dll. Untuk pengetahuan jenis (2), meminjam dari politik, sosiologi, antropologi, dll. Bahwa kedua jenis teknologi di atas tidak dikembangkan oleh disiplin ilmu perencanaan, melainkan disediakan oleh berbagai disiplin ilmu lain. Ilmu perencanaan hanya meminjam. Untuk teknologi jenis (1), meminjam dari teknik sipil, arsitektur, dll. Untuk teknologi jenis (2) meminjam dari sosiologi terapan, antropologi terapan, dll.
Perdebatan kedua adalah tentang sistem pendidikan. Pendapat pertama mengklaim bahwa sistem pendidikan yang diperlukan untuk mengajarkan dua jenis pengetahuan dan dua jenis teknologi di atas adalah suatu pendidikan yang dimulai dari pengajaran ilmu dasar secara intensif (penekanan kepada pengetahuan) kemudian dilengkapi dengan pelatihan berbagai jenis teknologi untuk memanfaatkan pengetahuan tersebut. Sehingga akan dihasilkan lulusan yang kuat dan luas dalam perspektif, tetapi terbatas dalam skil atau kapasitas teknis.
Pendapat kedua mengatakan bahwa sistem pendidikan yang diperlukan adalah pendidikan yang menekankan kepada pelatihan berbagai skil atau kapasitas teknis (penekanan kepada teknologi) kemudian dilengkapi dengan pengetahuan dasar. Sehingga akan dihasilkan lulusan yang kompetensi teknisnya tinggi, tetapi terbatas dalam perspektif untuk mengenali dua jenis objek garapannya (ruang dan manusia di dalamnya).
Kedua perdebatan di atas tidak akan dibahas lebih jauh dalam paper ini. Paper ini akan memfokuskan diri pada perdebatan ketiga.
Perdebatan ketiga adalah tentang praktik profesional sebagai penerapan dari pengetahuan dan teknologi. Pendapat pertama mengklaim bahwa perencana profesional harus bebas nilai dalam arti tidak berpihak kepada salah satu dari berbagai pihak yang ada di ruang kota dan wilayah. Dia harus merespon setiap kontroversi dengan professional judgment yang bersumber dari pengetahuan yang diperoleh dari penelaahan dan penalaran objektif. Dengan demikian, tanggung jawab perencana profesional hanya sebatas tanggung jawab prosedural. Dalam arti, perencana profesional dianggap telah menjalankan praktik dengan baik sepanjang tidak memilih salah satu kubu yang terlibat dalam kontroversi di ruang kota dan wilayah dalam menjalankan prosedur ilmiahnya.
Debat terhadap pandangan ini adalah bahwa perencana profesional harus mempunyai sistem nilai dalam arti keberpihakan ke pada salah satu pihak yang ada di ruang kota dan wilayah. Secara umum, keberpihakan itu adalah kepada pemerintah atau masyarakat atau swasta. Perencana profesional akan menggunakan pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan pihak yang dibelanya. Dengan demikian, tanggung jawab perencana profesional juga meliputi tanggung jawab etik. Dalam arti, perencana profesional telah menjalankan praktik dengan baik sepanjang kubu yang dibelanya merasa puas dengan penggunaan pengetahuan dan teknologi tersebut.
Dari pembahasan tentang ketiga pilar eksistensi disiplin ilmu perencanaan beserta debat pada setiap bagiannya itu, dapat disimpulkan bahwa praktik profesional perencanaan adalah salah satu pilar yang sangat penting. Karena pilar ini berposisi sebagai pilar yang ditugaskan untuk memberikan jawaban apakah pengetahuan dan teknologi yang ada dan diajarkan dapat menjawab kebutuhan perbaikan kemanusiaan. Ketika tugas ini gagal dipenuhi, maka hilanglah arti dari semua teori, metodologi, dan pengajaran ilmu tersebut dalam kancah kemanusiaan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus menerus memperbaiki praktik profesional perencanaan.
C. Pergeseran Karakterisitik Perencana Konvensional ke Perencana Aktivis
Salah satu inovasi dalam rangka memperbaiki praktik profesional perencanaan adalah dengan melaksanakan suatu eksperimen sosial dalam perencanaan. Eksperimen sosial yang dimaksud adalah melakukan suatu praktik perencanaan yang dilakukan oleh perencana yang memiliki karakter yang berbeda daripada karakter perencana sebelumnya.
Karakter perencana profesional yang konvensional dapat kita rinci dalam enam dimensi. Yaitu perencana profesional yang bercirikan: (1) bebas nilai; (2) memiliki motivasi dan spirit pertanggungjawaban prosedural semata; (3) mengetengahkan perspektif efisiensi ekonomi; (4) prinsip utilisasinya adalah mengoptimalkan sumber daya dalam ruang untuk pertumbuhan ekonomi wilayah agregat; (5) mempertahankan dan memperkuat status-quo; dan (6) menggunakan pengetahuan dan teknologi ilmiah dalam kognisi dan preskripsinya.
Sementara itu Perencana Aktivis mencoba mempraktikan suatu karakteristik perencana yang berbeda bahkan berkebalikan. Yaitu praktik profesional perencanaan yang bercirikan: (1) mempunyai sistem nilai keberpihakan pada kelompok marjinal; (2) memiliki motivasi dan spirit voluntarisme serta pertanggungjawaban etik; (3) mengetengahkan perspektif sosial kritis (social critisism) dan emansipatori sosial (social emancipatory) dalam analisisnya; (4) memanfaatkan prosedur kebijakan dan organisasi kelompok marjinal yang ada untuk memperjuangkan kepentingan kelompok marjinal; (5) berorientasi mengubah relasi kuasa yang tidak setara; dan (6) mengakomodasi pengetahuan dan teknologi lokal dalam kognisi dan preskripsinya.
Berikut ini adalah pembahasan setiap pergeseran tersebut.
1. Dari bebas nilai menuju keberpihakan pada kelompok marjinal
Tantangan terbesar dalam perencanaan adalah mengenali keragaman kepentingan dan kebutuhan serta memberikan preskripsi tindakan yang adil bagi semua orang. Ada dua pandangan untuk menjawab tantangan ini. Pandangan pertama adalah pandangan universalisme-agregat yang digunakan oleh perencana konvensional. Pandangan kedua adalah pandangan partikularisme-disagregat yang merupakan pandangan Perencana Aktivis.
Perencana konvensional berpandangan bahwa keragaman kepentingan dan kebutuhan akan dikenali dengan baik apabila dilakukan penelaahan secara komprehensif terhadap semua entitas ruang dan manusia. Secara kategoris, kemenyeluruhan itu dirinci dalam aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Sejauh masih berstatus sebagai data dan informasi, kontroversi antar berbagai pihak dan kepentingan masih minimal. Meskipun tidak menutup kemungkinan ada kontroversi menyangkut data dan informasi ini. Namun kontroversi dipastikan akan meningkat setelah disusun preskripsi kebijakan, apalagi ketika diambil suatu tindakan. Untuk mengatasi kontroversi ini, perencana konvensional memilih untuk tidak memilih salah satu kubu dalam kontroversi. Ia memilih kubu objektif-ilmiah. Ia berharap bahwa scientific judgment dapat menengahi kontroversi ini. Dalam hal ini, ilmu adalah panglima. Knowledge is power. Kuasa yang dapat menengahi kontroversi dan menjadi panduan berbagai kepentingan dan kebutuhan.
Dalam praktik, pernah ada masa ketika asumsi ini benar. Kognisi saintifik dan preskripsi akademik dalam perencanaan dapat dipertanggungjawabkan kemanjurannya. Namun kelihatannya masa-masa indah tersebut telah memasuki masa senjanya.
Penyebab mendasarnya adalah justru ketika power ternyata dapat mendefinisikan knowledge dan preskripsi. Power dengan berbagai manifestasinya: (1) legalitas politik dan hukum yang dimiliki pemerintah; (2) sumber daya ekonomi yang dimiliki swasta; dan (3) opini serta mobilisasi massa yang dilakukan kelompok masyarakat; tak urung dalam praktiknya dapat mempengaruhi keobjektifan dan keilmiahan para perencana. Dengan pengaruh dari power tersebut, definisi tentang kondisi social, fisik, dan ekonomi dalam suatu ruang, dapat ditentukan secara fleksibel-subjektif, tergantung kepentingan dan kebutuhan pihak yang berpengaruh. Demikian pula dengan preskripsi tindakan yang pada akhirnya menjadi kebijakan. Kesimpulannya, terjadi pergeseran dari knowledge is power ke power is knowledge.
Seiring dengan pergeseran dari knowledge is power ke power is knowledge, Perencana Aktivis memberikan respon cepat. Sebelum melakukan proses kognisi aspek fisik, social, dan ekonomi dalam ruang, Perencana Aktivis secara apriori memilih bahwa dia tidak bertendensi untuk melayani semua kepentingan dan kebutuhan yang diyakini oleh pandangan universalisme-agregat. Ia akan melayani kebutuhan dan kepentingan pihak yang paling membutuhkan, sebagai perwujudan dari pandangan partikularisme-disagregat.
Dalam definisi umum, pihak yang paling membutuhkan adalah kelompok marjinal. Baik itu majinal secara fisik, social, maupun ekonomi. Meskipun bertendensi untuk memihak kelompok marjinal, Perencana Aktivis memiliki prinsip untuk meminimasi konflik dengan pihak lain. Perjuangan emansipatoris yang dilakukan akan dilakukan dengan cara damai kecuali tidak ada pilihan lain.
Paska kepemilikan system nilai tersebut, kemudian Perencana Aktivis menjalankan prosedur standar perencanaan untuk mengidentifikasi aspek fisik, social, dan ekonomi serta merumuskan preskripsinya. Namun demikian, kemenyeluruhan ini tidak menjadi kewajiban. Dalam proses kognisi aspek social, fisik, dan ekonomi, Perencana Aktivis memiliki prinsip critical engagement. Yaitu suatu proses identifikasi yang kritis untuk betul-betul memperoleh definisi yang tepat tentang kelompok marjinal secara fisik, social, dan ekonomi. Bagian critical engagement ini justru merupakan bagian wajib. Demikianlah pergeseran pertama dari perencana konvensional ke Perencana Aktivis.
2. Pergeseran dari akuntabilitas prosedural ke akuntabilitas etik
Sebagai profesional, selama ini perencana konvensional bekerja dengan motif untuk memenuhi pertanggungjawaban prosedural semata. Fokus perhatian perencana konvesional adalah mengerjakan sebaik-baiknya tugas perencanaan sesuai yang diamanatkan oleh pemberi kerja. Sesuai dengan yang tertera dalam kontrak atau kerangka acuan kerja yang diterimanya. Perencana profesional konvensional mengganggap tidak ada kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kerjanya secara nyata kepada “objek” yang di rencanakan. Hal ini yang menjelaskan mengapa produk-produk perencanaan yang dihasilkan oleh perencana profesional konvensional banyak berakhir di rak-rak perpustakaan tanpa menghasilkan perubahan berarti bagi masyarakat.
Bagaimana sosok perencana tersebut berkiprah sangat dipengaruhi pemikiran perencanaan komprehensif dan rasional yang menjadi mainstream praktik perencanaan di Indonesia selama ini. Perencanaan dipahami sebagai alat untuk mencapai kemajuan sosial dimana pemerintah menempatkan diri sebagai pihak yang paling berkompeten dan berwenang dalam menentukan tujuan dan ukuran kemajuan social melalui berbagai instrumen kebijakannya. Disini, proses perencanaan dipisahkan dari proses politik pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, perencana memiliki karakter unik mampu menggunakan norma-norma rasionalitas dalam rangka memperbaiki pembuatan kebijakan melalui cara-cara yang berbasis pada pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) (Strömgren, 2004). Sesuai dengan kaidah proses pembangunan pengetahuan ilmiah yang mendasari praktik perencanaan rasional, perencana profesional konvensional menempatkan dirinya untuk berjarak dengan objek yang direncanakan dengan maksud untuk menjaga objektifitas dari pengetahuan yang dibangunnya.
Berbeda dengan perencana profesional konvensional, Perencana Aktivis meyakini bahwa seorang perencana tidak hanya bertanggung jawab secara prosedural terhadap pekerjaannya semata namun bertanggungjawab pula secara etis kepada kelompok marjinal. Perencana Aktivis merasa memiliki keterikatan emosional dan tanggungjawab kepada kelompok marginal untuk memastikan bahwa produk rencana yang dihasilkan akan berhasil guna bagi kebaikan komunitas, membuka kesempatan bagi anggota komunitas untuk menyatakan gagasan dan pendapatnya, dan serta mendorong tindakan bersama. Agar Perencana Aktivis mampu mengembangkan pertanggungjawaban secara etis kepada kelompok marjinal maka dibutuhkan perluasan spirit dan motivasi voluntarisme dalam diri seorang Perencana Aktivis.
Spirit dan motivasi voluntarisme dalam diri Perencana Aktivis adalah motivasi dan semangat untuk bertindak tanpa didasari kepentingan untuk mencari keuntungan pribadi. Dengan adanya spirit dan motivasi voluntarisme ini, Perencana Aktivis dapat menjalankan idealisme perencana yang bertanggung jawab secara etik dan moral. Paling tidak terdapat dua alasan mengapa voluntarisme diperlukan dalam diri Perencana Aktivis. Pertama, tuntutan akan tumbuhanya sikap voluntarisme dalam diri Perencana Aktivis merupakan konsekwensi dari pilihan keberpihakan Perencana Aktivis pada kelompok-kelompok marjinal. Kelompok marjinal disini merupakan kelompok-kelompok yang memiliki keterbatasan sumber daya dan rentan terhadap berbagai perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berdampak padanya. Dengan situasi seperti ini, sangatlah sulit bagi kelompok-kelompok marjinal ini untuk memberikan kontribusi yang berarti atas jasa yang telah diberikan oleh Perencana Aktivis. Perencana Aktivis tidak mengharap suatu penghargaan material dari kelompok marjinal yang dibelanya dan bahkan bersama-sama dengan kelompok marjinal yang didampinginya bersama-sama mengupayakan sumber-sumber daya alternatif.
Alasan kedua adalah bahwa spirit voluntarisme dalam perencana aktivis didasari pada pada keyakinan bahwa voluntarisme dalam diri Perencana Aktivis akan memicu dan menularkan sifat voluntarisme di masyarakat secara umum dimana nilai-nilai ini mulai luntur seiring dengan perkembangan zaman. Perencana Aktivis menyadari perannya sebagai bagian dari upaya penguatan civil society sebagai syarat berjalannya proses perencanaan sebagai proses politik dalam konteks yang demokratis. Hal ini sejalan dengan proposisi pemikiran Etzioni (1968) yang mensyaratkan perlunya masyarakat yang aktif (the active society) serta Faludi yang membahas tentang masyarakat perencanaan (the planning society) dalam proses perencanaan. Kedua menempatkan diri beroposisi pada pandangan tentang perlunya institusi perencanaan yang memiliki kekuasaan koersif dalam proses perencanaan. Institusi perencanaan harus bekerja dalam suatu konteks politik yang plural dan demokratis. Institusi perencanaan harus memiliki otonomi yang terbatas dan bekerjasama dengan politisi dan kepentingan publik dalam rangka mewujudkan perubahan sosial. Voluntarisme memiliki keterkaitan yang erat dengan civic engagement dalam konteks menumbuhkan tradisi masyarakat yang active (active society).
3. Pergeseran dari perspektif efisiensi ekonomi ke perspektif kritisisme dan emansipasi sosial
Pergeseran berikutnya adalah dari perspektif ekonomi ke perspektif kritisisme dan emansipasi sosial. Ini bermula dari tugas perencana untuk mendefinisikan kondisi ruang yang akan direncanakan (dioptimasi, dimajukan, dimodernkan).
Perencana konvensional mengidentifikasi ruang dengan cara menjawab satu pertanyaan: apa potensi ekonomi yang ada? Kemudian diikuti dengan pertanyaan: bagaimana potensi ini dioptimalkan untuk pengembangan wilayah secara agregat?
Sementara itu, Perencana Aktivis mengidentifikasi wilayah perencanaan dengan pertanyaan utama: siapa yang paling terbelakang di wilayah? Kemudian diikuti dengan pertanyaan: bagaimana keterbelakangan ini dapat diakhiri?
4. Pergeseran dari prinsip utilisasi sumber daya ruang ke utilisasi lembaga sosial
Berbekal pengenalan terhadap permasalahan dan potensi dalam aspek fisik, sosial, dan ekonomi, perencana harus memberikan suatu preskripsi untuk solusi. Dalam hal pemilihan preskripsi ini, perencana konvensional dan Perencana Aktivis mempunyai perbedaan prinsip utilisasi.
Perencana konvensional akan mengoptimasi utilisasi dari sumber daya dalam ruang, terutama sumber daya fisik dan ekonomi untuk progres secara agregat. Indikator progres agregat ini terutama adalah pencapaian kinerja dan pertumbuhan ekonomi. Perencana konvensional akan bergelut dengan alokasi paling optimal dari sumber daya fisik dan ekonomi. Misalnya, alokasi optimal dari pemanfaatan lahan di suatu ruang perencanaan. Secara umum, apakah lahan tersebut akan digunakan untuk industri, pertanian, atau permukiman. Keputusan terhadap opsi ini akan ditentukan berdasarkan prediksi seberapa besar manfaat ekonomi yang akan diterima wilayah perencanaan secara agregat.
Debat terhadap pendekatan di atas, diwakili oleh satu pertanyaan: berdasarkan hasil identifikasi, pihak manakah yang memiliki sumber daya paling besar? Jika preskripsi didasarkan kepada prediksi tentang manfaat ekonomi yang akan diterima wilayah secara agregat, maka sebenarnya, manfaat ekonomi yang dimaksud akan diterima bukan oleh wilayah, melainkan oleh pihak yang memiliki sumber daya terbesar di wilayah.
Perencana konvensional tidak dapat menjawab tantangan ini. Terutama dalam suatu konteks ketimpangan kepemilikan sumber daya yang begitu besar seperti di Indonesia. Teori trickle down effect dan sejenisnya sama sekali omong kosong.
Berawal dari tantangan ini, Perencana Aktivis coba menjawab dengan prinsip utilisasi yang berbeda. Penggunaan prinsip ini merupakan lanjutan dari sistem nilai dan motivasi perencanaan yang telah dimiliki sebelumnya. Prinsip utilisasi yang digunakan adalah prinsip utilisasi lembaga sosial.
Utilisasi lembaga sosial adalah pemanfaatan: (1) prosedur kebijakan; dan (2) organisasi kelompok marjinal; untuk mencapai pemenuhan kebutuhan dan kepentingan kelompok marjinal. Prosedur kebijakan yang dimaksud adalah mekanisme perencanaan, pelaksanaan pembangunan, monitoring, dan evaluasi yang diatur dalam tatanan kepemerintahan di kota atau wilayah perencanaan. Misalnya UU, PP, dan Perda tentang penataan ruang, atau perencanaan dan penganggaran tahunan. Organisasi kelompok marjinal yang dimaksud adalah asosiasi, forum, organisasi, serikat, dan sejenisnya, yang merupakan tempat kelompok marjinal mengkoleksi sumber power untuk mencapai tujuannya.
Ada asumsi yang melatarbelakangi penggunaan kedua hal di atas, yaitu kelompok marjinal memiliki sumber daya yang terbatas. Padahal dalam perencanaan, pemenuhan kebutuhan dan kepentingan harus mendasarkan diri pada pemanfaatan sumber daya yang ada. Mengingat ketidakcukupan sumber daya ini, maka Perencana Aktivis akan mencari sumber daya dari dua sumber yang syah.
Pertama, dari sumber daya publik, yaitu anggaran negara yang terdistribusi di pemerintah pusat maupun daerah. Untuk memperoleh sumber daya tersebut, atau untuk memastikan bahwa sumber daya tersebut dimanfaatkan untuk kelompok marjinal, maka Perencana Aktivis akan terlibat dalam prosedur perencanaan. Dalam keterlibatannya, Perencana Aktivis akan menggunakan segala rational judgment yang dimiliki untuk terdistribusinya sumber daya publik tersebut kepada kelompok marjinal. Disinilah relevansi pemanfaatan prosedur kebijakan yang ada.
Kedua, dari sumber daya kolektif, yaitu kumpulan dari: (1) tenaga; (2) pengetahuan lokal (belief, tradisi, norma, kebiasaan); (3) dana; dan (4) aspirasi yang terkonsolidasi (mandat melalui mekanisme one man one vote). Meskipun terbatas, kelompok marjinal akan memiliki kekuatan yang besar jika keempat sumber daya tersebut dikoleksi melalui mekanisme organisasi. Untuk memperoleh sumber daya itu, Perencana Aktivis berperan sebagai leader dan community organizer. Sesuatu yang tidak mungkin diperankan oleh perencana konvensional. Demikianlah pergeseran keempat.
5. Pergeseran dari orientasi pro status-quo ke perubahan relasi kuasa
Seorang Perencana Aktivis sepenuhnya menyadari bahwa perencanaan merupakan proses politik. Sebuah arena dimana berbagai pihak saling berkontestasi memperjuangkan tujuan dan kepentingannya. Relasi kekuasaan yang ada merupakan suatu proses yang terus berubah untuk mencapai suatu kesetimbangan tertentu hingga suatu saat kembali untuk berubah pada titik kesetimabangan baru. Pihak-pihak yang berkuasa memiliki kecenderungan untuk selalu berusaha mempertahankan kondisi ketidakseimbangan relasi kuasa yang menguntungkannya. Perencana konvensional baik disadari maupun tidak telah memiliki andil dalam mempertahankan status-quo ini.
Melalui legitimasi keilmuannya terhadap berbagai kebijakan pemerintah, perencana konvensional telah berperan dalam mempertahankan dan memperkuat kondisi status-quo. Hal ini terlihat dari kiprah perencana dalam proses penyusunan rencana dalam proyek-proyek perencanaan tata ruang. Perencana konvensional bekerja untuk melakukan kajian untuk menghasilkan cara pencapaian tujuan-tujuan pemabangunan yang telah ditetapkan oleh pihak pemberi kerja (pemerintah) melalui serangkaian tahapan metodologis ilmiah. Perencana konvensional tidak menyadari bahwa ia telah berperan dalam memberikan legitimasi atas nama pengetahuan ilmiah terhadap intervensi pemerintah terhadap kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, Pemerintah Daerah, atas nama kebaikan untuk seluruh penduduk di wilayahnya berusaha menekankan pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi melalui penanaman modal yang masif di wilayahnya tanpa melihat apakah ukuran-ukuran kemajuan tersebut berdampak negatif atau tidak terutama bagi kelompok marjinal. Perencana konvensional bekerja menemukan strategi-strategi yang jitu yang dapat mengundang investasi melalui pembangunan infrastruktur yang massive, pembukaan lahan-lahan baru untuk kawasan industri yang mencaplok lahan-lahan pertanian yang produktif. Dalam situasi ini, kelompok marjinal berada dalam posisi yang terugikan dari kebijakan-kebijakan tersebut.
Relasi kuasa yang setara yang menjadi orientasi perubahan adalah lebih kepada keseimbangan akses dan kesempatan terhadap sumber daya politik, ekonomi, dan social bagi kelompok-kelompok marjinal. Dengan relasi kuasa yang setara maka dimungkinkan bagi kelompok-kelompok marjinal untuk bernegosiasi dengan pihak-pihak lain dalam rangka memperoleh haknya untuk menerima alokasi sumber daya yang lebih adil. Artinya titik berat Perencana Aktivis bukan lagi substansi perencanaannya oleh karena didasari pada pemikiran bahwa substansi perencanaan dapat dipengeruhi oleh kekuasaan, seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa power is knowledge. Perencana Aktivis menekankan pada perubahan struktur dan sistem yang menjadi penyebab marjinalisasi kelompok-kelompok tertentu untuk ikut menentukan substansi perencanaan sesuai dengan harapan dan kebutuhannya.
Konsekuensi dari upaya perubahan relasi kuasa ini adalah, pertama, bahwa Perencana Aktivis harus mampu mendorong perubahan sistem dan struktur yang menghambat kelompok marjinal untuk dapat bernegosiasi dengan lebih fair dengan pihak-pihak lain. Salah satu contoh adalah advokasi yang pernah kami lakukan dalam mendorong perubahan kerangka legal sistem perencanaan pembangunan di kabupaten Bandung. Dalam kerangka legal ini, ruang partisipasi bagi masyarakat untuk dapat turut serta dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan perencanaan dibuka seluas-luasnya. Selain itu, kerangka legal ini memberikan perlindungan hak-hak masyarakat terutama kelompok marjinal untuk selalu mendapat perhatian dalam proses pengambilan keputusan.
Konsekuensi kerja yang kedua dari kiprah Perencana Aktivis dalam melakukan perubahan relasi kuasa ini adalah bahwa Perencana Aktivis juga memiliki andil dalam meningkatkan kapasitas, mengorganisasikan kelompok-kelompok marjinal, bersama-sama mencari dan mengkonsolidasi sumber daya internal maupun eksternal untuk sepenuhnya digunakan dalam menjalankan upaya-upaya pencapaian tujuan kelompok. Perencana Aktivis bekerja untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas internal kelompok marjinal sehingga mereka memiliki kepercayaan diri dan kemampuan dalam bernegosiasi dengan pihak-pihak lain.
6. Pergeseran dari dasar kognisi dan preskripsi ilmiah ke akomodasi pengetahuan dan teknologi lokal
Perencanaan selama ini dikenal sebagai seni membuat keputusan social secara rasional (Robinson 1972, Faludi 1973, dalam Friedmann, 1987: 36). Perencana konvensional memandang rasionalitas dalam praktik perencanaan secara umum sangat terkait dengan penggunaan pengetahuan ilmiah dalam menjawab permasalahan dan memformulasikan usulan pemecahan. Proses pemahaman atas realitas social dapat dilakukan dengan menggunakan metoda dan prosedur ilmiah dalam rangka mencapai kebenaran terhadap objek yang direncanakan. Dengan pengetahuan ini, perencana konvensional dianggap mampu untuk melakukan evaluasi terhadap pilihan dari proses perkembangan dan mengukur dampak-dampaknya, yang kemudian dapat memilih cara yang paling efektif mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan (Strömgren, 2004).
Pendekatan rasional dalam perencanaan yang melandasi kerja-kerja perencana konvensional sangat diinsipirasi dua prinsip utama tradisi masa Renaissance yaitu bahwa dunia dapat dipahami dan dimengerti secara objective melalui instrument ilmu pengetahuan positif, dan antara dunia fisik atau alamiah dan dunia manusia atau sosio kultur terdapat suatu garis tak terputus diantaranya (Friedman, 1987:41). Dengan pemikiran ini maka perencana konvensional mengasumsikan diri bahwa mereka dapat memperkirakan tentang bagaimana dunia sosial bekerja, dan bahkan dapat dibentuk dan dipengaruhi melalui rekayasa sosial. Secara tidak langsung perencana konvensional menyatakan superioritas pengetahuan ilmiah atas pengetahuan lain yang mungkin ada terutama pengetahuan-pengetahuan lokal.
Arthuro Escobar memiliki kritik terhadap pendekatan perencanaan rasional. Escobar memandang bahwa proses perencanaan rasional merupakan proses perencanaan yang mengabaikan keberadaan pengetahuan lain yang paling mungkin relevant dalam menjawab isu-isu spesifik daripada pengatahuan ilmiah yang dimiliki oleh perencana konvensional. Mereka memandang apa yang dimaksud dengan perencanaan rasional merupakan sepenuhnya gagasan Dunia Barat tentang masa depan atau kondisi sosial yang lebih baik. Banyak contoh bahwa pendekatan ini banyak mengalami kegagalan di negara-negara berkembang.
Salah satu contoh adalah kebijakan penerapan revolusi hijau di Indonesia yang merevolusi cara-cara pertanian di perdesaan melalui utilisasi teknologi pertanian modern dalam rangka meningkatkan produksi pertanian secara signifikan. Dalam jangka pendek pendekatan ini terbukti meningkatkan produksi pertanian secara signifikan yang pada peningkatan taraf hidup petani. Namun dalam jangka panjang, kebijakan ini pada akhirnya berbuah pada bencana. Melalui kebijakan ini, telah terjadi perubahan yang revolusioner terhadap pola pertanian di banyak perdesaan di Indonesia. Penggunaan pupuk secara berlebihan yang dimaksudkan untuk meningkatkan hasil pertanian, dalam jangka panjang terbukti menimbulkan ketergantungan petani terhadap pupuk buatan tersebut dan menghilangkan kesuburan tanah secara dramatis. Hama tanaman tidak bisa lagi dibasmi oleh predator alami yang menjadikan petani tergantung pada penggunaan insektisida. Ini merupakan salah satu contoh bahwa keyakinan yang berlebihan terhadap pengetahuan ilmiah yang dimilikinya dan mengabaikan keberadaan pengetahuan lokal pada akhirnya memiliki andil pada kehancuran. Sedikit banyak perencana konvensional memiliki andil pada kegagalan.
Perencana Aktivis memandang bahwa rasionalitas dalam perencanaan tidak dapat hanya dicapai dalam proses yang melalui norma-norma ilmiah melainkan lebih jauh memandang rasionalitas yang lebih berorientasi pada nilai-nilai dan kesepakatan kolektif. Strömgren (2004) menyebutan bahwa permasalahan yang tidak dapat secara jernih dan ilmiah dijelaskan, maka tujuan-tujuan harus diperbandingkan, didiskusikan dan dipilih dengan cara yang berbeda. Pandangan ini mencoba mengkritik pendekatan rasional konvesional yang mengasumsikan bahwa dunia social atau publik dengan berbagai kerumitannya dapat diperlakukan sama dengan prosedur dan norma ilmiah dalam memahami fenomena-fenomena alam dan fisik. Perencana Aktivis memandang bahwa pendapat diatas tidak sepenuhnya benar karena proses yang ilmiah dan positivis tidak cukup meyakinkan dalam menjelaskan dunia social atau publik. Selain itu pengetahuan ilmiah lebih mengedepakan generalisasi daripada keunikan-keunikan yang terjadi yang mungkin sangat relevan dalam menjawab permasalahan-permasalahan di tingkat komunitas.
Oleh karenanya, Perencana Aktivis lebih menekankan pada proses pemahaman bersama antar pelaku yang terlibat dalam memahami dunianya dan menyepakati tujuan-tujuannya daripada hanya sekedar hasil dari rangkaian proses ilmiah yang kaku. Dalam memahami konsep alternative tentang rasionalitas, Habermas menyatakan bahwa untuk memilih nilai-nilai maupun tindakan-tindakan kolektif tidak dapat hanya sekedar berdasarkan relasi antara subjek-objek seperti dalam model rasional instrumental, melainkan suatu proses hubungan komunikasi antar subjek. Melalui proses komunikasi antar berbagai subjek/pelaku proses pencapaian keputusan atas tujuan bersama serta upaya pencapaiannya lebih dimungkinkan terjadi.
Perencana Aktivis percaya bahwa perencanaan merupakan proses pembangunan pengetahuan secara bersama-sama untuk mendorong tindakan kolektif. Pengetahuan dibangun dengan menjembatani antara pengetahuan lokal yang dihasilkan dari proses yang berkesinambungan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi di sekitar kita yang mewujud dalam bentuk tradisi, mitos, keyakinan, dan kebiasaan dengan pengetahuan ilmiah yang dihasilkan dari proses pencarian pengetahuan melalui metode-metode ilmiah. Kedua pengetahuan ini harus selalu di ujicobakan melalui praktik dalam proses yang berkesinambungan dalam upaya pencarian solusi yang paling tepat dalam menjawab permasalahan-permasalahan komunitasnya (learning by doing). Proses ini hanya dapat dimungkinkan melalui proses komunikasi seperti yang diajukan oleh Habermas.
Salah satu contoh tentang bagaimana proses komunikatif dalam membangunan pemahaman bersama yang mencoba menggabungkan pengetahuan lokal dengan pengetahuan ilmiah merujuk pada salah satu pengalaman kami dalam memfasilitasi proses penyusunan rencana tata ruang Majalaya secara partisipatif. Satu pengalaman yang menarik adalah ketika bersama-sama dengan warga Majalaya, kami membahas tentang penentuan zoning untuk guna lahan industri di Majalaya. Masukan atau kritik warga terhadap konsep peruntukan yang diajukan oleh pihak konsultan adalah bahwa peruntukan guna lahan yang diajukan hanya mempertimbangkan ketersedian lahan dan kecenderungan perkembangan lahan. Warga bahkan mampu memberikan usul agar zonasi peruntukan lahan industri lebih spesifik mempertimbangkan karakter industri tekstil di Majalaya. Secara umum karakter industri tekstil di Majalaya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) industri tekstil yang menghasilkan polusi dan membutuhkan air dengan jumlah yang sangat banyak; dan (2) industri tekstil yang tidak menghasilkan limbah cair. Warga bisa menunjukkan lokasi-lokasi mana yang paling tepat untuk masing-masing jenis industri sesuai dengan daya dukung lahan. Selain itu dalam menjawab kebutuhan akan air bersih untuk industri tekstil warga bahkan dapat memberikan usulan yang relatif kontroversial yaitu membuat saluran air dari Danau Ciharus yang berada di luar kota Majalaya.
Contoh diatas menunjukkan proses pembelajaran bersama antara pengetahuan local dan pengetahuan ilmiah sangat dimugkinkan terjadi. Dalam memfasilitasi proses pembelajaran ini, Perencana Aktivis dituntut untuk memiliki keterampilan dan kemampuan yang lebih unik dibandingkan perencana konvensional. Perencana Aktivis dituntut memiliki keterampilan dalam berkomunikasi baik untuk berbicara, menyampaikan pendapat, mendengar pendapat pihak lain, menyatakan kembali gagasan agar dapat lebih mudah dipahami oleh keseluruhan pihak, maupun penguasaan alat-alat fasilitasi diskusi kelompok. Selain itu Perencana Aktivis juga dituntut untuk menguasai alat-alat analisis partisipatif yang dapat membantu anggota komunitas menentukan permasalahannya dan menentukan solusi yang disepakati.
Demikian enam pergeseran karakteristik perencana konvensional ke Perencana Aktivis. Keenamnya diringkas dalam matriks 1.
D. Implikasi Keberadaan Perencana Aktivis
Keberadaan Perencana Aktivis berimplikasi pada tiga aspek. Yaitu kepada disiplin ilmu perencanaan, pendidikan perencanaan, dan asosiasi profesi perencanaan. Implikasinya ditampilkan dalam matriks 2.
Keadilan sosial harus diperjuangkan. Perencanaan harus menjadi salah satu instrumen untuk keadilan sosial. Perencana Aktivis adalah pejuang keadilan social.
Daftar pustaka:
- Strömgren, Andreaz. 2004. Planning, Modernity and the Question of Change: Questioning the paradigm shift in environmental planning.
- Beard, Victoria A. 2003. Learning Radical Planning: The Power of Collective Action. Planning Theory. Sage Publication.
- Friedmann, John (1987). Planning in the Public Domain: From Knowledge to Actio New Jersey, Princeton University Press.
- Healey, Patsy (1997). Collaborative Planning: Shaping Places in Fragmented Societie Macmillan Press LTD, London.
- Daniel Pinson (2004). Urban planning:an ‘undisciplined ’discipline? elsevier.com/locate/futures.
- Escobar, Arturo (1992d). “Planning.” In The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. Wolfgang Sachs, ed. Pp. 132-145. London: Zed Books. Reprinted in: Development Studies: A Reade Stuart Corbridge, ed. Pp. 64-77. Cambridge: Edward Arnold, 1995.
- Andreas Faludi (1973). Planning Theory. Elsevier Science Ltd.