Pra Kemerdekaan
Setelah kolonialisme menancapkan kakinya di nusantara melalui kongsi dagang dengan nama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di abad 17-18, diksi gerakan antikapitalisme mulai digunakan oleh masyarakat di Nusantara. Diksi anti kapitalisme era itu mengacu pada sebuah usaha untuk melawan dominasi ekonomi yang dijalankan oleh VOC.
Bentuk gerakan anti kapitalisme waktu itu lebih banyak berwujud peperangan secara fisik. Dalam kurun waktu 1605-1706 tercatat beberapa peperangan terhadap VOC dilakukan di beberapa daerah di Nusantara. Di Maluku, perang terhadap VOC dimulai oleh Sultan Nuku hingga Pattimura. Di Mataram, Sultan Agung dalam kurun waktu 1613-1645. Di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dalam kurun waktu 1651-1682.
Perlawanan yang dijalankan dalam kurun waktu tersebut lebih banyak mengalami kegagalan daripada keberhasilan. Pattimura pada akhirnya harus gugur di tangan pasukan kompeni. Berbagai serangan Sultan Ageng Tirtayasa lebih banyak menuai kegagalan daripada keberhasilan. Perlawanan Sultan Hasanudin terpaksa berujung di meja perundingan Bongaya.
Pada akhirnya, kehancuran VOC bukan disebabkan oleh determinasi perlawanan masyarakat Nusantara, namun karena kebusukan dari dalam VOC itu sendiri. Korupsi yang akut serta hutang yang menggunung menjadi faktor penentu keruntuhan VOC. Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC resmi dibubarkan oleh pemerintah kolonial.
Pembubaran VOC tidak berarti gerakan kapitalisme di Nusantara berakhir. Melalui Undang-undang Kerajaan Belanda yang dibuat pada tahun 1814, kerajaan Belanda berdaulat penuh atas wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintahan Belanda di Nusantara dijalankan oleh Daendels dalam kurun waktu 1814-1830. Setelah itu melalui penerapan kebijakan tanam paksa yang dijalankan oleh Van Den Bosch gerakan kapitalisme Belanda kembali menancapkan kakinya di Nusantara dalam kurun waktu 1830-1870.
Era baru penetrasi kapitalisme dimulai setelah era tanam paksa selesai. Dalam kurun waktu antara 1870-1890, Pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan kebijakan baru yaitu kebijakan ekonomi liberal. Ciri menonjol sistem liberal ini adalah pembukaan pintu investasi pihak asing selain Belanda untuk menanamkan modalnya di Nusantara. Pada praktiknya penerapan kebijakan itu sama sekali tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Yang terjadi malahan sebaliknya.
Atas dasar hal tersebut juga dan tuntutan dari para politisi liberal di Belanda, Pemerintah Kerajaan Belanda akhirnya menjalankan kebijakan politik balas budi atau lebih dikenal dengan istilah politik etis yang mencakup tiga hal. Pertama, edukasi. Kedua, irigasi. Ketiga, Emigrasi.
Atas kebijakan politik etis ini pemerintahan Belanda mulai melaksanakan penataan dalam bidang pendidikan, pengairan dan pengaturan mengenai pemindahan penduduk.
Beberapa momentum penting menjadi penanda pelaksanaan politik etis tersebut. Pada tahun 1900 pemerintah Kolonial Belanda mendirikan sekolah yang ditujukan untuk kepentingan para birokrat dan kebutuhan tenaga kerja perusahaan perkebunan Belanda. Pada prosesnya, sebagai salah satu akibat dari pengembangan lembaga pendidikan, beberapa intelektual terdidik perkotaan mulai muncul di permukaan. Mereka kemudian menghimpun dirinya ke dalam beberapa organisasi dan perlahan mulai bergerak menyuarakan emansipasi. Gerakan intelektual terdidik ini didominasi oleh siswa dari Sekolah Dokter Jawa /STOVIA.
Atas nama kemajuan, beberapa organisasi didirikan. Pada tahun 1906, Tirto Adhi Suryo memelopori pendirian Sarekat Prijaji. Tujuan utama perkumpulan ini adalah meningkatkan tarap pendidikan kaum pribumi.
Lalu pada tahun 1908 lahir sebuah gerakan budaya yang dinamakan dengan Budi Utomo (BU). Walaupun pada praktiknya gerakan ini ditujukan untuk mengkritik kalangan tua yang konservatif, gerakan ini pada hakikatnya hendak membangun emansipasi masyarakat.
Pada perjalanannya terjadi perbedaan paham antara kalangan muda dan tua. Selisih paham ini akhirnya berujung pada pembentukan perhimpunan-perhimpunan baru. Dalam kaitan khusus dengan Sunda, di antara perhimpunan yang baru tersebut dibentuk sebuah paguyuban yang mewakili anggota dari Sunda dengan nama Pagujuban Pasoendan pada tahun 1914.
Bentuk gerakan antikapitalisme dengan corak yang berbeda dimulai dengan pendirian Sarikat Dagang Islamiah (SDI) pada tahun 1912. Konstituen SDI adalah mereka yang mempunyai mata pencahariaan yang tidak tergantung pada pemerintahan kolonial. Gerakan yang dibangun adalah membangun persaudaraan antara sesama pedagang Islam.
Puncak kegemilangan gerakan pada kurun waktu ini adalah pendirian Sarikat Islam (SI) pada tahun 1912. SI pada waktu itu lebih tujukan untuk memajukan perekonomian pribumi dengan cara memajukan usaha perdagangan para pribumi.
Namun arah gerakan SI mengalami perubahan ketika dipimpin oleh Tjokroaminoto pada tahun 1914. Dalam kepemimpinan Tjokroaminoto gerakan SI tidak hanya bergerak pada pemberdayaan ekonomi namun juga merambah pada advokasi umum hak-hak ekonomi dan sosial politik.
Lalu pada tahun 1915-an gerakan SI betul-betul mengalami perubahan karena disusupi oleh paham dan propaganda Marxis yang berakhir pada perpecahan SI. Kelompok pertama disebut SI merah. Kelompok kedua disebut SI putih.
Pada kongres keenam SI tahun 1921, kelompok SI Merah akhirnya harus keluar dari partai dan bergabung ke Partai Komunis yang merupakan kelanjutan perkembangan dari ISDV. Lalu pada tahun 1924, SI Merah bermetamorfosa menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sedangkan kelompok SI putih bermetamorfosa menjadi Partai Sarikat Islam (PSI) lalu kemudian berubah lagi menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929. Terakhir PSII menggabungkan dirinya ke dalam Pemupakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Rupa-rupanya pilihan gerakan radikal dalam SI menjadi inspirasi bagi kelompok pemuda intelektual lainya untuk mengembangkan pergerakan lainnya. Pergerakan pemuda tersebut berujung pada pembentukan sebuah partai yang lebih dikenal dengan dengan nama Indische Partij (IP) yang diurus oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusmo dan Suwardi Suryaningrat. Namun gerakan IP ini tidak berjalan terlalu lama karena dicurigai oleh Pemerintahan Belanda sebagai gerakan perlawanan yang berbahaya. Tiga pucuk pimpinan IP diasingkan oleh Belanda.
Pada praktiknya perkembangan organisasi-organisasi ini mendorong mereka (baca: kalangan intelektual terdidik) pada kesadaran dan identitas kolektif mereka yang baru. Pada tahun 1918 gabungan beberapa organisasi ini bergabung dalam sebuah afiliasi politik seperti Radicale Concentratie dalam Volksraad yang di dalamnya tergabung ISDP, IP, SI dan BU.
Pada perkembanganya selanjutnya, aliansi strategis ini berkutat pada usaha untuk mencapai konsesi pembentukan pemerintahan sendiri dan liberalisasi proses pemerintahan di Hindia Belanda (Yudi Latif, 2013:304). Selain itu, aliansi strategis ini merupakan embrio sekaligus katalis terciptanya sebuah blok politik baru yang berkembang menjadi organisasi blok nasionalis yang menuntut kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya, kurun waktu 1920-1940 merupakan fase yang cukup berat bagi gerakan antikapitalisme yang dijalankan oleh kaum intelektual terdidik yang tergabung ke dalam berbagai organisasi. Pengetatan aktivitas organisasi dan pelarangan berorganisasi dijalankan oleh pemerintahan kolonial. Gerakan para intelektual terdidik tersebut dicurigai akan berdampak pada gerakan-gerakan radikal yang menuntut kemerdekaan.
Akibat dari represi ini, pola gerakan mengalami perubahan. Melalui berbagai klub studi ide-ide tentang kemerdekaan dikembangkan. Pada periode ini, klub-klub studi tidak hanya berdiri di dalam negeri namun juga berdiri di luar negeri yang dipelopori mahasiswa yang sekolah di luar negeri.
Yudi Latif (2012:308) mengidentifikasi klub studi yang berada di luar negeri terbagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, adalah blok nasionalis yang melanjutkan pendidikan ke Belanda. Kedua, blok islam yang melanjutkan pendidikanya ke Mesir. Sekumpulan mahasiwa yang melanjutkan pendidikan ke Belanda ini yang pada proses selanjutnya mendirikan Indische Vereeniging (IV) yang akhirnya bertransformasi menjadi Indonesiche Vereeniging (IV) atau Perhimpunan Indonesia (PI). Mahasiswa dari blok ini adalah Gunawan, Darmawan, Hatta dan Sukiman Wirjosandjojo. Sedangkan mahasiswa yang berkuliah di kampus-kampus berbasis islam seperti Mesir mendirikan Perhimpunan Mahasiswa yang lebih dikenal dengan nama Djamaah Al-Chairiah.
Sementara kehadiran gerakan studi klub di tanah air dimulai pada tahun 1920 ketika Technische Hoogesschool (THS) atau sekarang bernama Institut Teknologi Bandung (ITB) didirikan. Setalah THS didirikan, studi klub yang lain menyusul berdiri seiring dengan pendirian kampus-kampus di daerah lain. Pada waktu itu, klub studi yang paling aktif adalah klub studi yang berada di THS yang bernama Algemene Studieclub (ASC) yang dipimpin oleh Soekarno.
Pada dinamika berikutnya, pembentukan studi klub dan organisasi di luar negeri ini berujung pada pembentukan dua partai politik, yaitu Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dan Pemupakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) pada tahun 1927. Momentum yang paling berharga gerakan ini adalah dilaksanakanya Sumpah Pemuda pada bulan Oktober 1928 yang menegaskan identitas kebangsaan Indonesia
Salah satu momentum penting dari gerakan antikapitalisme pada era pra kemerdekaan ini adalah penyusunan konsep dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang proses penyusunanya dilakukan di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang kemudian diikuti dengan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Keanggotaan BPUPKI pada mulanya berjumlah 63 orang lalu menjadi 69 orang yang dibagi ke dalam lima golongan : golongan pergerakan, golongan islam, golongan birokrat, wakil kerajaan, dan golongan peranakan arab, tionghoa.
Momentum akhir kerja BPUPK terjadi pada tanggaj 1 Juni 1945 ketika Soekarno berpidato di hadapan sidang BPUPKI. Dalam momentum tersebut, Soekarno mengemukakan lima prinsip dasar negara dengan sebutan Pancasila yang disahkan secara konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pengesahan Pancasila secara konsitusional ini menjadi penanda penting ujung gerakan antikapitalisme di era pra kemerdekaan. Dengan pengesahan Pancasila tersebut usaha gerakan antikapitalisme yang diartikan perlawanan terhadap kolonialisme melalui perang berakhir.
Namun pengesahan Pancasila ini tidak berarti bahwa perjuangan organisasi dan partai berhenti. Dengan berbagai corak dan tujuan perjuangan organisasi tersebut berlanjut. Fase pelaksanaan prinsip demokrasi secara formal dimulai pada era ini.
Kemerdekaan
Penetrasi kapitalisme di Indonesia pada fase Soekarno bisa dikatakan tidak berkembang sama sekali. Hal ini disebabkan haluan politik Soekarno yang cenderung sosialis.
Namun, penetrasi kapitalisme mengalami perkembangan signifikan tatkala rezim Soekarno diganti oleh rezim Soeharto pada tahun 1965 melalui penandatangan Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR).
Pergantian presiden ini serta merta menjadikan pemerintahan era orde lama berakhir dan era orde baru dimulai. Haluan politik orde baru sama sekali berbeda dengan orde lama. Jika Soekarno lebih cenderung ke aliran Sosialisme, maka era Soeharto justru sebaliknya yaitu cenderung beraliran Kapitalisme. Bisa dibilang haluan Soeharto merupakan antitesis dari haluan Soekarno.
Salah satu penanda pentingnya adalah kelahiran UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diprakarsai oleh Mohamad Sadli, intelektual didikan orde baru yang sekolah di Amerika Serikat. Pada praktiknya kelahiran UU ini menjadi pintu masuk arus investasi gelombang pertama di era orde baru.
Atas nama menjaga kekondusifan dan kesinambungan pembangunan, Soeharto menjalankan politik tangan besi. Semua anasir dan gerakan yang membahayakan dan menghambat pembangunan dihentikan.
Gerakan-gerakan komunis yang pada era pra kemerdekaan merupakan anti tesis dari gerakan kapitalis dibungkam dengan sedemikian rupa.
Orde Baru
Di era orde baru, gerakan antikapitalisme menemukan momentumnya kembali. Tindakan represif terhadap grup, organisasi dan partai politik kembali terjadi. Hal ini hampir sama ketika era pra kemerdekaan di mana pemerintahan kolonial melakukan pelarangan berorganisasi terhadap organisasi pribumi dan klub-klub studi di era 1920-1940-an.
Jika pada era pra kemerdekaan gerakan antikapitalisme merupakan perlawanan secara fisik terhadap pemerintahan kolonial, maka di era orde baru perlawanan anti kapitalisme terhadap pemerintahan republik Indonesia yang berada dalam dominasi kaum dan paham kapitalisme.
Berbeda dengan di zaman pra kemerdekaan, strategi gerakan perlawanan terhadap orde baru dilaksanakan secara tertutup melalui jaringan-jaringan tertutup. Namun gerakan tersebut akhirnya muncul ke permukaan melalui gerakan protes yang dikomandoi oleh kelompok mahasiswa.
Dalam kurun waktu 1971-1998 tercatat beberapa beberapa gerakan mahasiswa menjadi momentum gerakan antikapitalisme. Pada tahun 1971, Arif Budiman dan kawan-kawan lainnya melaksanakan gerakan golongan putih. Lalu pada tahun 1974, Hariman Siregar melalui Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) melaksanakan demonstrasi menentang invetasi Jepang. Gerakan protes mahasiswa ini berlangsung sampai tahun 1978, namun tuntutan gerakan mahasiswa waktu itu tidak langsung menohok pada penolakan sistem dan kehadiran kapitalisme secara langsung namun lebih pada isu demokrasi, korupsi, kesenjangan ekonomi.
Puncak represi pada era ini adalah dengan dikeluarkannya kebijakan penertiban kehidupan kampus, yaitu penerbitan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) serta pembentuk Badan Kordinasi Kehidupan Kampus (BKK). Pada era ini juga mulai terjadi fragmentasi gerakan mahasiswa.
Kelompok penentang antikapitalisme yang berhaluan kiri teridentifikasi berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang mengusung garis politik radikal terhadap penguasa. Pada praktiknya kelompok ini yang kemudian mengenalkan kembali paham-paham marxisme pada kelompok studi di kampus-kampus.
Konsekuensi logis penertiban kehidupan kampus ini adalah menjamurnya klub-klub studi mahasiswa yang secara tidak langsung berdampak pada kelahiran beberapa organisasi berbasis penelitian dan advokasi.
Momentum puncak gerakan tipe ini terjadi tatkala represi terhadap penduduk di beberapa wilayah dilakukan. Peristiwa Kedung Ombo dan Nipah di Madura serta kemunculan beberapa kasus tindakan represi di daerah lain seperti Bogor, Talangsari.
Merespon hal tersebut, gerakan mahasiswa melakukan pembelaan secara langsung dengan membentuk komite aksi dan solidaritas serta melaksanakan demonstrasi secara terbuka terhadap pemerintahan.
Radikalisasi gerakan mahasiswa berhaluan kiri ini terus berlanjut di era 1990. Berbagai gerakan mahasiswa dari berbagai kota berhasil membangun sebuah jaringan gerakan mahasiwa dengan membentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang pada prosesnya SMID bertransformasi menjadi Partai Rakyat Demoratik (PRD) pada tahun 1996 yang tidak lama setelah itu direspon oleh pemerintah orde baru dengan menangkapi anggota dan pucuk pimpinannya serta menyatakan bahwa PRD adalah organisasi terlarang.
Puncak momentum gerakan mahasiswa terjadi pada tahun 1998 melalui peristiwa reformasi. Namun setelah era reformasi, perkembangan gerakan mahasiswa yang berhaluan kiri tersebut mengalami kemunduran dan fragmentasi akut. Setelah era 1998 gerakan mahasiswa kiri tidak lebih dari fragmen-fragmen kecil yang tidak mempunyai kekuatan signifikan.
Berbarengan dengan gerakan radikal mahasiswa tersebut, nun jauh di sana di negeri maju dan berkembang gerakan perlawanan terhadap antikapitalisme juga sedang berlangsung. Namun gerakan perlawanan yang dilakukan dilabeli gerakan melawan Neoliberalisme.
Di penghujung 1990 gerakan kapitalis mencapai momentumnya yang gemilang karena kejatuhan dan kebangkrutan rezim komunis. Pasca kejatuhan rezim ini beberapa kebijakan kapitalis mulai dijalankan oleh negara-negara yang berhaluan komunis.
Washington Consensus merupakan salah satu bentuk nyatanya. Setelah era itu gerakan kapitalisme melenggang bebas hingga akhirnya pada tahun 1999 ketika semua negara berkumpul untuk membicarakan permasalahan perdagangan dunia di Seattle Amerika Serikat, kaum kapitalis dikagetkan oleh demonstrasi besar-besaran yang sama sekali tidak diduga.
Pada praktiknya hal ini mendorong beberapa orang untuk melaksanakan kajian pengelompokan gerakan antikapitalisme itu sendiri. Callinicos dalam Hiariej (2004: 145) membagi kelompok gerakan antikapitalisme tersebut ke dalam 6 kelompok.
Pertama, kelompok romantic anticapitalism. Kelompok pertama ini lebih berorientasi ke zaman sebelum kapitalisme mendominasi segala lini kehidupan. Kedua, Borjuise antikapitalisme. Kelompok gerakan ini menghendaki keseimbangan antara kapitalisme dan pasar. Ketiga, Localist anticapitalism. Kelompok ini lebih menghendaki pasar yang lebih terdesentralisir serta hubungan yang adil antara produsen dan konsumen (fair trade).
Keempat, reformis. Kelompok ini hendak membuat kapitalisme lebih teregulasi. Kelima, para otonomis. Kelompok ini meyakini bahwa gerakan melawan kapitalisme dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai dengan otonomi yang dipunyai oleh gerakan itu sendiri. Keenam adalah sosialis. Kelompok ini menghendaki perubahan yang radikal dengan mengganti sistem kapitalisme dengan sosialisme.
Selanjutnya, Simon Tormey (2005) menulis sebuah buku dengan judul antikapitalisme untuk pemula. Dalam bukunya tersebut, Tormey mencoba mengklasifikasikan bentuk gerakan antikapitalisme itu sendiri ke dalam beberapa watak.
Menurut Tormey, gerakan perlawanan anti kapitalisme terbagi ke dalam 2 watak. Pertama, kelompok reformis. Kelompok reformis ini berpandangan bahwa perlawanan adalah sesuatu yang bisa dikompromikan tanpa harus ada radikalisasi atau kekerasan. Konsekuensi logis watak ini adalah pembentukan blok politik di parlemen. Watak ini berkembang di sebagian negara Eropa dan negara-negara di wilayah Skandinavia.
Kedua, adalah gerakan radikal revolusioner. Kelompok ini tidak mengenal kata kompromi. Kekuatan kelas menjadi salah satu pendorong utama untuk mengganti sistem kapitalisme dengan sistem yang baru. Kelompok ini memakai pisau analisis Marxian sebagai alat untuk memahami dan menyusun solusi.
Selain itu berkembang pula gerakan baru dengan tradisi anarkisme dan environmentalisme. Metodenya lebih beragam dan cenderung tidak terukur dengan jelas. Sabotase, penghancuran simbol kapitalisme, gerilyawan bersenjata, pemogokan massal merupakan contoh nyata gerakan yang dilakukan oleh kelompok gerakan ini.
Dari dua klasifikasi tersebut, ada kesamaan dalam memandang bentuk gerakan antikapitalisme itu sendiri. Diksi sosialisme menjadi salah satu bentuk gerakan yang ditulis oleh Calinioc dan Tormey. Namun tentu saja, diksi sosialis tersebut tentu saja harus dibaca lebih dalam karena pada faktanya sosialisme itu sendiri mengandung makna yang tidak seragam. Sosialisme sebagai jalan keluar mempunyai variansinya masing-masing.
Selain itu, pandangan Calinicos dan Tormey sendiri ketika dikontekskan dengan Indonesia seperti harus dilakukan dengan kajian yang lebih mendalam. Indonesia sebagai negara yang sangat beragam bagin berdasar landasan historis atau kekininan tentu saja mempunyai banyak ragam gerakan anti kapitalis sendiri.
Sebagai contoh, gerakan Samin di Blora Jawa Tengah yang berkembang dari tahun 1890 sampai dengan sekarang, juga gerakan yang dibangun oleh SDI pada pra kemerdekaan yang membuat kongsi-kongsi dagang kaum pribumi masuk kelompok yang manakah gerakan tersebut?
Walaupun kalau melihat pada klasifikasi yang dibuat oleh Calinicos, bentuk gerakan tersebut bisa “dipaksakan” diklasifikasikan ke dalam bentuk otonomis karena sesuai dengan otonominya masing-masing, namun tentu saja itu sepertinya belum cukup.
Selain itu, melihat pada uraian pada halaman sebelumnya secara sederhana dapat dilihat bahwa jenis gerakan yang dibangun lebih banyak ke dalam perjuangan yang bersifat politis yang berhadapan langsung dengan pemegang kekuasaan.
Sejauh ini kajian yang mendalami gerakan antikapitalis di wilayah non politis (baca: gerakan ekonomi) sepertinya masih minim dilakukan. Berdasarkan hal tersebut menjadi hal penting untuk melakukan kajian bentuk gerakan antikapitalisme di luar sifat politis.
Selain beragamnya jenis, type dan kelompok gerakan hal lainnya yang juga menjadi pendorong adalah beberapa momentum penting yang menyebabkan peta gerakan antikapitalisme di Indonesia menjadi harus dibaca ulang. Salah satu peristiwa penting yang dimaksud adalah pemberangusan gerakan antikapitalisme yang dilakukan oleh rezim orde baru. Tindakan represi orde baru mau tidak mau menyebabkan gerakan antikapitalisme menyusun ulang strateginya masing-masing. Tentu saja hal tersebut memerlukan pembacaan ulang dengan serius.
Selain membaca peta gerakan antikapitalisme itu sendiri tidak kalah pentingnya adalah memotret praktik gerakan antikapitalisme itu sendiri. Potret ini menjadi penting untuk mempertebal keyakinan bahwa gerakan kapitalisme itu ada dalam bentuk yang nyata dan tentu saja patut untuk ditiru sehingga mampu menjadi gerakan yang masif.
Pra Kemerdekaan
Setelah kolonialisme menancapkan kakinya di nusantara melalui kongsi dagang dengan nama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di abad 17-18, diksi gerakan antikapitalisme mulai digunakan oleh masyarakat di Nusantara. Diksi anti kapitalisme era itu mengacu pada sebuah usaha untuk melawan dominasi ekonomi yang dijalankan oleh VOC.
Bentuk gerakan anti kapitalisme waktu itu lebih banyak berwujud peperangan secara fisik. Dalam kurun waktu 1605-1706 tercatat beberapa peperangan terhadap VOC dilakukan di beberapa daerah di Nusantara. Di Maluku, perang terhadap VOC dimulai oleh Sultan Nuku hingga Pattimura. Di Mataram, Sultan Agung dalam kurun waktu 1613-1645. Di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dalam kurun waktu 1651-1682.
Perlawanan yang dijalankan dalam kurun waktu tersebut lebih banyak mengalami kegagalan daripada keberhasilan. Pattimura pada akhirnya harus gugur di tangan pasukan kompeni. Berbagai serangan Sultan Ageng Tirtayasa lebih banyak menuai kegagalan daripada keberhasilan. Perlawanan Sultan Hasanudin terpaksa berujung di meja perundingan Bongaya.
Pada akhirnya, kehancuran VOC bukan disebabkan oleh determinasi perlawanan masyarakat Nusantara, namun karena kebusukan dari dalam VOC itu sendiri. Korupsi yang akut serta hutang yang menggunung menjadi faktor penentu keruntuhan VOC. Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC resmi dibubarkan oleh pemerintah kolonial.
Pembubaran VOC tidak berarti gerakan kapitalisme di Nusantara berakhir. Melalui Undang-undang Kerajaan Belanda yang dibuat pada tahun 1814, kerajaan Belanda berdaulat penuh atas wilayah Hindia-Belanda.
Pemerintahan Belanda di Nusantara dijalankan oleh Daendels dalam kurun waktu 1814-1830. Setelah itu melalui penerapan kebijakan tanam paksa yang dijalankan oleh Van Den Bosch gerakan kapitalisme Belanda kembali menancapkan kakinya di Nusantara dalam kurun waktu 1830-1870.
Era baru penetrasi kapitalisme dimulai setelah era tanam paksa selesai. Dalam kurun waktu antara 1870-1890, Pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan kebijakan baru yaitu kebijakan ekonomi liberal. Ciri menonjol sistem liberal ini adalah pembukaan pintu investasi pihak asing selain Belanda untuk menanamkan modalnya di Nusantara. Pada praktiknya penerapan kebijakan itu sama sekali tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Yang terjadi malahan sebaliknya.
Atas dasar hal tersebut juga dan tuntutan dari para politisi liberal di Belanda, Pemerintah Kerajaan Belanda akhirnya menjalankan kebijakan politik balas budi atau lebih dikenal dengan istilah politik etis yang mencakup tiga hal. Pertama, edukasi. Kedua, irigasi. Ketiga, Emigrasi.
Atas kebijakan politik etis ini pemerintahan Belanda mulai melaksanakan penataan dalam bidang pendidikan, pengairan dan pengaturan mengenai pemindahan penduduk.
Beberapa momentum penting menjadi penanda pelaksanaan politik etis tersebut. Pada tahun 1900 pemerintah Kolonial Belanda mendirikan sekolah yang ditujukan untuk kepentingan para birokrat dan kebutuhan tenaga kerja perusahaan perkebunan Belanda. Pada prosesnya, sebagai salah satu akibat dari pengembangan lembaga pendidikan, beberapa intelektual terdidik perkotaan mulai muncul di permukaan. Mereka kemudian menghimpun dirinya ke dalam beberapa organisasi dan perlahan mulai bergerak menyuarakan emansipasi. Gerakan intelektual terdidik ini didominasi oleh siswa dari Sekolah Dokter Jawa /STOVIA.
Atas nama kemajuan, beberapa organisasi didirikan. Pada tahun 1906, Tirto Adhi Suryo memelopori pendirian Sarekat Prijaji. Tujuan utama perkumpulan ini adalah meningkatkan tarap pendidikan kaum pribumi.
Lalu pada tahun 1908 lahir sebuah gerakan budaya yang dinamakan dengan Budi Utomo (BU). Walaupun pada praktiknya gerakan ini ditujukan untuk mengkritik kalangan tua yang konservatif, gerakan ini pada hakikatnya hendak membangun emansipasi masyarakat.
Pada perjalanannya terjadi perbedaan paham antara kalangan muda dan tua. Selisih paham ini akhirnya berujung pada pembentukan perhimpunan-perhimpunan baru. Dalam kaitan khusus dengan Sunda, di antara perhimpunan yang baru tersebut dibentuk sebuah paguyuban yang mewakili anggota dari Sunda dengan nama Pagujuban Pasoendan pada tahun 1914.
Bentuk gerakan antikapitalisme dengan corak yang berbeda dimulai dengan pendirian Sarikat Dagang Islamiah (SDI) pada tahun 1912. Konstituen SDI adalah mereka yang mempunyai mata pencahariaan yang tidak tergantung pada pemerintahan kolonial. Gerakan yang dibangun adalah membangun persaudaraan antara sesama pedagang Islam.
Puncak kegemilangan gerakan pada kurun waktu ini adalah pendirian Sarikat Islam (SI) pada tahun 1912. SI pada waktu itu lebih tujukan untuk memajukan perekonomian pribumi dengan cara memajukan usaha perdagangan para pribumi.
Namun arah gerakan SI mengalami perubahan ketika dipimpin oleh Tjokroaminoto pada tahun 1914. Dalam kepemimpinan Tjokroaminoto gerakan SI tidak hanya bergerak pada pemberdayaan ekonomi namun juga merambah pada advokasi umum hak-hak ekonomi dan sosial politik.
Lalu pada tahun 1915-an gerakan SI betul-betul mengalami perubahan karena disusupi oleh paham dan propaganda Marxis yang berakhir pada perpecahan SI. Kelompok pertama disebut SI merah. Kelompok kedua disebut SI putih.
Pada kongres keenam SI tahun 1921, kelompok SI Merah akhirnya harus keluar dari partai dan bergabung ke Partai Komunis yang merupakan kelanjutan perkembangan dari ISDV. Lalu pada tahun 1924, SI Merah bermetamorfosa menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sedangkan kelompok SI putih bermetamorfosa menjadi Partai Sarikat Islam (PSI) lalu kemudian berubah lagi menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929. Terakhir PSII menggabungkan dirinya ke dalam Pemupakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Rupa-rupanya pilihan gerakan radikal dalam SI menjadi inspirasi bagi kelompok pemuda intelektual lainya untuk mengembangkan pergerakan lainnya. Pergerakan pemuda tersebut berujung pada pembentukan sebuah partai yang lebih dikenal dengan dengan nama Indische Partij (IP) yang diurus oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusmo dan Suwardi Suryaningrat. Namun gerakan IP ini tidak berjalan terlalu lama karena dicurigai oleh Pemerintahan Belanda sebagai gerakan perlawanan yang berbahaya. Tiga pucuk pimpinan IP diasingkan oleh Belanda.
Pada praktiknya perkembangan organisasi-organisasi ini mendorong mereka (baca: kalangan intelektual terdidik) pada kesadaran dan identitas kolektif mereka yang baru. Pada tahun 1918 gabungan beberapa organisasi ini bergabung dalam sebuah afiliasi politik seperti Radicale Concentratie dalam Volksraad yang di dalamnya tergabung ISDP, IP, SI dan BU.
Pada perkembanganya selanjutnya, aliansi strategis ini berkutat pada usaha untuk mencapai konsesi pembentukan pemerintahan sendiri dan liberalisasi proses pemerintahan di Hindia Belanda (Yudi Latif, 2013:304). Selain itu, aliansi strategis ini merupakan embrio sekaligus katalis terciptanya sebuah blok politik baru yang berkembang menjadi organisasi blok nasionalis yang menuntut kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya, kurun waktu 1920-1940 merupakan fase yang cukup berat bagi gerakan antikapitalisme yang dijalankan oleh kaum intelektual terdidik yang tergabung ke dalam berbagai organisasi. Pengetatan aktivitas organisasi dan pelarangan berorganisasi dijalankan oleh pemerintahan kolonial. Gerakan para intelektual terdidik tersebut dicurigai akan berdampak pada gerakan-gerakan radikal yang menuntut kemerdekaan.
Akibat dari represi ini, pola gerakan mengalami perubahan. Melalui berbagai klub studi ide-ide tentang kemerdekaan dikembangkan. Pada periode ini, klub-klub studi tidak hanya berdiri di dalam negeri namun juga berdiri di luar negeri yang dipelopori mahasiswa yang sekolah di luar negeri.
Yudi Latif (2012:308) mengidentifikasi klub studi yang berada di luar negeri terbagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, adalah blok nasionalis yang melanjutkan pendidikan ke Belanda. Kedua, blok islam yang melanjutkan pendidikanya ke Mesir. Sekumpulan mahasiwa yang melanjutkan pendidikan ke Belanda ini yang pada proses selanjutnya mendirikan Indische Vereeniging (IV) yang akhirnya bertransformasi menjadi Indonesiche Vereeniging (IV) atau Perhimpunan Indonesia (PI). Mahasiswa dari blok ini adalah Gunawan, Darmawan, Hatta dan Sukiman Wirjosandjojo. Sedangkan mahasiswa yang berkuliah di kampus-kampus berbasis islam seperti Mesir mendirikan Perhimpunan Mahasiswa yang lebih dikenal dengan nama Djamaah Al-Chairiah.
Sementara kehadiran gerakan studi klub di tanah air dimulai pada tahun 1920 ketika Technische Hoogesschool (THS) atau sekarang bernama Institut Teknologi Bandung (ITB) didirikan. Setalah THS didirikan, studi klub yang lain menyusul berdiri seiring dengan pendirian kampus-kampus di daerah lain. Pada waktu itu, klub studi yang paling aktif adalah klub studi yang berada di THS yang bernama Algemene Studieclub (ASC) yang dipimpin oleh Soekarno.
Pada dinamika berikutnya, pembentukan studi klub dan organisasi di luar negeri ini berujung pada pembentukan dua partai politik, yaitu Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dan Pemupakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) pada tahun 1927. Momentum yang paling berharga gerakan ini adalah dilaksanakanya Sumpah Pemuda pada bulan Oktober 1928 yang menegaskan identitas kebangsaan Indonesia
Salah satu momentum penting dari gerakan antikapitalisme pada era pra kemerdekaan ini adalah penyusunan konsep dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang proses penyusunanya dilakukan di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang kemudian diikuti dengan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Keanggotaan BPUPKI pada mulanya berjumlah 63 orang lalu menjadi 69 orang yang dibagi ke dalam lima golongan : golongan pergerakan, golongan islam, golongan birokrat, wakil kerajaan, dan golongan peranakan arab, tionghoa.
Momentum akhir kerja BPUPK terjadi pada tanggaj 1 Juni 1945 ketika Soekarno berpidato di hadapan sidang BPUPKI. Dalam momentum tersebut, Soekarno mengemukakan lima prinsip dasar negara dengan sebutan Pancasila yang disahkan secara konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pengesahan Pancasila secara konsitusional ini menjadi penanda penting ujung gerakan antikapitalisme di era pra kemerdekaan. Dengan pengesahan Pancasila tersebut usaha gerakan antikapitalisme yang diartikan perlawanan terhadap kolonialisme melalui perang berakhir.
Namun pengesahan Pancasila ini tidak berarti bahwa perjuangan organisasi dan partai berhenti. Dengan berbagai corak dan tujuan perjuangan organisasi tersebut berlanjut. Fase pelaksanaan prinsip demokrasi secara formal dimulai pada era ini.
Kemerdekaan
Penetrasi kapitalisme di Indonesia pada fase Soekarno bisa dikatakan tidak berkembang sama sekali. Hal ini disebabkan haluan politik Soekarno yang cenderung sosialis.
Namun, penetrasi kapitalisme mengalami perkembangan signifikan tatkala rezim Soekarno diganti oleh rezim Soeharto pada tahun 1965 melalui penandatangan Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR).
Pergantian presiden ini serta merta menjadikan pemerintahan era orde lama berakhir dan era orde baru dimulai. Haluan politik orde baru sama sekali berbeda dengan orde lama. Jika Soekarno lebih cenderung ke aliran Sosialisme, maka era Soeharto justru sebaliknya yaitu cenderung beraliran Kapitalisme. Bisa dibilang haluan Soeharto merupakan antitesis dari haluan Soekarno.
Salah satu penanda pentingnya adalah kelahiran UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diprakarsai oleh Mohamad Sadli, intelektual didikan orde baru yang sekolah di Amerika Serikat. Pada praktiknya kelahiran UU ini menjadi pintu masuk arus investasi gelombang pertama di era orde baru.
Atas nama menjaga kekondusifan dan kesinambungan pembangunan, Soeharto menjalankan politik tangan besi. Semua anasir dan gerakan yang membahayakan dan menghambat pembangunan dihentikan.
Gerakan-gerakan komunis yang pada era pra kemerdekaan merupakan anti tesis dari gerakan kapitalis dibungkam dengan sedemikian rupa.
Orde Baru
Di era orde baru, gerakan antikapitalisme menemukan momentumnya kembali. Tindakan represif terhadap grup, organisasi dan partai politik kembali terjadi. Hal ini hampir sama ketika era pra kemerdekaan di mana pemerintahan kolonial melakukan pelarangan berorganisasi terhadap organisasi pribumi dan klub-klub studi di era 1920-1940-an.
Jika pada era pra kemerdekaan gerakan antikapitalisme merupakan perlawanan secara fisik terhadap pemerintahan kolonial, maka di era orde baru perlawanan anti kapitalisme terhadap pemerintahan republik Indonesia yang berada dalam dominasi kaum dan paham kapitalisme.
Berbeda dengan di zaman pra kemerdekaan, strategi gerakan perlawanan terhadap orde baru dilaksanakan secara tertutup melalui jaringan-jaringan tertutup. Namun gerakan tersebut akhirnya muncul ke permukaan melalui gerakan protes yang dikomandoi oleh kelompok mahasiswa.
Dalam kurun waktu 1971-1998 tercatat beberapa beberapa gerakan mahasiswa menjadi momentum gerakan antikapitalisme. Pada tahun 1971, Arif Budiman dan kawan-kawan lainnya melaksanakan gerakan golongan putih. Lalu pada tahun 1974, Hariman Siregar melalui Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) melaksanakan demonstrasi menentang invetasi Jepang. Gerakan protes mahasiswa ini berlangsung sampai tahun 1978, namun tuntutan gerakan mahasiswa waktu itu tidak langsung menohok pada penolakan sistem dan kehadiran kapitalisme secara langsung namun lebih pada isu demokrasi, korupsi, kesenjangan ekonomi.
Puncak represi pada era ini adalah dengan dikeluarkannya kebijakan penertiban kehidupan kampus, yaitu penerbitan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) serta pembentuk Badan Kordinasi Kehidupan Kampus (BKK). Pada era ini juga mulai terjadi fragmentasi gerakan mahasiswa.
Kelompok penentang antikapitalisme yang berhaluan kiri teridentifikasi berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang mengusung garis politik radikal terhadap penguasa. Pada praktiknya kelompok ini yang kemudian mengenalkan kembali paham-paham marxisme pada kelompok studi di kampus-kampus.
Konsekuensi logis penertiban kehidupan kampus ini adalah menjamurnya klub-klub studi mahasiswa yang secara tidak langsung berdampak pada kelahiran beberapa organisasi berbasis penelitian dan advokasi.
Momentum puncak gerakan tipe ini terjadi tatkala represi terhadap penduduk di beberapa wilayah dilakukan. Peristiwa Kedung Ombo dan Nipah di Madura serta kemunculan beberapa kasus tindakan represi di daerah lain seperti Bogor, Talangsari.
Merespon hal tersebut, gerakan mahasiswa melakukan pembelaan secara langsung dengan membentuk komite aksi dan solidaritas serta melaksanakan demonstrasi secara terbuka terhadap pemerintahan.
Radikalisasi gerakan mahasiswa berhaluan kiri ini terus berlanjut di era 1990. Berbagai gerakan mahasiswa dari berbagai kota berhasil membangun sebuah jaringan gerakan mahasiwa dengan membentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang pada prosesnya SMID bertransformasi menjadi Partai Rakyat Demoratik (PRD) pada tahun 1996 yang tidak lama setelah itu direspon oleh pemerintah orde baru dengan menangkapi anggota dan pucuk pimpinannya serta menyatakan bahwa PRD adalah organisasi terlarang.
Puncak momentum gerakan mahasiswa terjadi pada tahun 1998 melalui peristiwa reformasi. Namun setelah era reformasi, perkembangan gerakan mahasiswa yang berhaluan kiri tersebut mengalami kemunduran dan fragmentasi akut. Setelah era 1998 gerakan mahasiswa kiri tidak lebih dari fragmen-fragmen kecil yang tidak mempunyai kekuatan signifikan.
Berbarengan dengan gerakan radikal mahasiswa tersebut, nun jauh di sana di negeri maju dan berkembang gerakan perlawanan terhadap antikapitalisme juga sedang berlangsung. Namun gerakan perlawanan yang dilakukan dilabeli gerakan melawan Neoliberalisme.
Di penghujung 1990 gerakan kapitalis mencapai momentumnya yang gemilang karena kejatuhan dan kebangkrutan rezim komunis. Pasca kejatuhan rezim ini beberapa kebijakan kapitalis mulai dijalankan oleh negara-negara yang berhaluan komunis.
Washington Consensus merupakan salah satu bentuk nyatanya. Setelah era itu gerakan kapitalisme melenggang bebas hingga akhirnya pada tahun 1999 ketika semua negara berkumpul untuk membicarakan permasalahan perdagangan dunia di Seattle Amerika Serikat, kaum kapitalis dikagetkan oleh demonstrasi besar-besaran yang sama sekali tidak diduga.
Pada praktiknya hal ini mendorong beberapa orang untuk melaksanakan kajian pengelompokan gerakan antikapitalisme itu sendiri. Callinicos dalam Hiariej (2004: 145) membagi kelompok gerakan antikapitalisme tersebut ke dalam 6 kelompok.
Pertama, kelompok romantic anticapitalism. Kelompok pertama ini lebih berorientasi ke zaman sebelum kapitalisme mendominasi segala lini kehidupan. Kedua, Borjuise antikapitalisme. Kelompok gerakan ini menghendaki keseimbangan antara kapitalisme dan pasar. Ketiga, Localist anticapitalism. Kelompok ini lebih menghendaki pasar yang lebih terdesentralisir serta hubungan yang adil antara produsen dan konsumen (fair trade).
Keempat, reformis. Kelompok ini hendak membuat kapitalisme lebih teregulasi. Kelima, para otonomis. Kelompok ini meyakini bahwa gerakan melawan kapitalisme dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai dengan otonomi yang dipunyai oleh gerakan itu sendiri. Keenam adalah sosialis. Kelompok ini menghendaki perubahan yang radikal dengan mengganti sistem kapitalisme dengan sosialisme.
Selanjutnya, Simon Tormey (2005) menulis sebuah buku dengan judul antikapitalisme untuk pemula. Dalam bukunya tersebut, Tormey mencoba mengklasifikasikan bentuk gerakan antikapitalisme itu sendiri ke dalam beberapa watak.
Menurut Tormey, gerakan perlawanan anti kapitalisme terbagi ke dalam 2 watak. Pertama, kelompok reformis. Kelompok reformis ini berpandangan bahwa perlawanan adalah sesuatu yang bisa dikompromikan tanpa harus ada radikalisasi atau kekerasan. Konsekuensi logis watak ini adalah pembentukan blok politik di parlemen. Watak ini berkembang di sebagian negara Eropa dan negara-negara di wilayah Skandinavia.
Kedua, adalah gerakan radikal revolusioner. Kelompok ini tidak mengenal kata kompromi. Kekuatan kelas menjadi salah satu pendorong utama untuk mengganti sistem kapitalisme dengan sistem yang baru. Kelompok ini memakai pisau analisis Marxian sebagai alat untuk memahami dan menyusun solusi.
Selain itu berkembang pula gerakan baru dengan tradisi anarkisme dan environmentalisme. Metodenya lebih beragam dan cenderung tidak terukur dengan jelas. Sabotase, penghancuran simbol kapitalisme, gerilyawan bersenjata, pemogokan massal merupakan contoh nyata gerakan yang dilakukan oleh kelompok gerakan ini.
Dari dua klasifikasi tersebut, ada kesamaan dalam memandang bentuk gerakan antikapitalisme itu sendiri. Diksi sosialisme menjadi salah satu bentuk gerakan yang ditulis oleh Calinioc dan Tormey. Namun tentu saja, diksi sosialis tersebut tentu saja harus dibaca lebih dalam karena pada faktanya sosialisme itu sendiri mengandung makna yang tidak seragam. Sosialisme sebagai jalan keluar mempunyai variansinya masing-masing.
Selain itu, pandangan Calinicos dan Tormey sendiri ketika dikontekskan dengan Indonesia seperti harus dilakukan dengan kajian yang lebih mendalam. Indonesia sebagai negara yang sangat beragam bagin berdasar landasan historis atau kekininan tentu saja mempunyai banyak ragam gerakan anti kapitalis sendiri.
Sebagai contoh, gerakan Samin di Blora Jawa Tengah yang berkembang dari tahun 1890 sampai dengan sekarang, juga gerakan yang dibangun oleh SDI pada pra kemerdekaan yang membuat kongsi-kongsi dagang kaum pribumi masuk kelompok yang manakah gerakan tersebut?
Walaupun kalau melihat pada klasifikasi yang dibuat oleh Calinicos, bentuk gerakan tersebut bisa “dipaksakan” diklasifikasikan ke dalam bentuk otonomis karena sesuai dengan otonominya masing-masing, namun tentu saja itu sepertinya belum cukup.
Selain itu, melihat pada uraian pada halaman sebelumnya secara sederhana dapat dilihat bahwa jenis gerakan yang dibangun lebih banyak ke dalam perjuangan yang bersifat politis yang berhadapan langsung dengan pemegang kekuasaan.
Sejauh ini kajian yang mendalami gerakan antikapitalis di wilayah non politis (baca: gerakan ekonomi) sepertinya masih minim dilakukan. Berdasarkan hal tersebut menjadi hal penting untuk melakukan kajian bentuk gerakan antikapitalisme di luar sifat politis.
Selain beragamnya jenis, type dan kelompok gerakan hal lainnya yang juga menjadi pendorong adalah beberapa momentum penting yang menyebabkan peta gerakan antikapitalisme di Indonesia menjadi harus dibaca ulang. Salah satu peristiwa penting yang dimaksud adalah pemberangusan gerakan antikapitalisme yang dilakukan oleh rezim orde baru. Tindakan represi orde baru mau tidak mau menyebabkan gerakan antikapitalisme menyusun ulang strateginya masing-masing. Tentu saja hal tersebut memerlukan pembacaan ulang dengan serius.
Selain membaca peta gerakan antikapitalisme itu sendiri tidak kalah pentingnya adalah memotret praktik gerakan antikapitalisme itu sendiri. Potret ini menjadi penting untuk mempertebal keyakinan bahwa gerakan kapitalisme itu ada dalam bentuk yang nyata dan tentu saja patut untuk ditiru sehingga mampu menjadi gerakan yang masif.