Sektor Kehutanan di Indonesia
Hutan hujan tropis Indonesia merupakan yang terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Luasan hutan ini di tahun 2015 mencapai 120juta hektar[1] yang terdiri dari hutan konservasi daratan, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, dan hutan produksi yang dapat di konversi. Sekitar 60 juta penduduk Indonesia menggantungkan kehidupan mereka pada hutan. Dengan hutan yang luas, seharusnya Indonesia mampu memaksimalkan manfaat dari hutan yang ada. Hutan tidak hanya memiliki nilai ekonomis saja, namun ada juga nilai ekologis, nilai biologis, sumber pangan.
Namun sayangnya, kekayaan ini cepat sekali berkurang. Angka deforestasi di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Pada tahun 2015, berdasarkan data statistik kehutanan laju deforestasi mencapai 727,981.2 hektar pertahun, atau kira-kira seluas 2793 lapangan sepak bola per hari[2]. Di tahun yang sama, angka deforestasi terbesar terjadi di provinsi Riau seluas 201.939,40 Ha, Kalimantan Tengah seluas 58.835,60 ha, dan Kalimantan Timur seluas 38.339,40 Ha. Deforestasi ini terjadi akibat penebangan liar (illegal logging), perluasan perkebunan, pertambangan, perambahan dan okupasi lahan, pertambangan, serta kebakaran hutan.
Terlepas dari potensinya yang besar, juga tingginya angka deforestasi ternyata tidak sebanding dengan kontribusi sektor ini pada Negara. Kontribusi sektor kehutanan, diukur dari sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional memperlihatkan bahwa sektor ini kontribusinya masih kecil. Di tahun 2014, PDB sektor kehutanan hanya menyumbang 74,8Trilyun dari total PDB10542,7Trilyun (atas dasar harga berlaku).
Kontribusi lainnya dilihat dari pajak dan PNBP di sektor kehutanan. PBB Kehutanan berdasarkan LKPP 2015 realisasinya hanya 1,5 Trilyun. Sementara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kehutanan hanya Provisi Sumber Daya Hutan/PSDH dan Dana Reboisasi/DR yang signifikan untuk dihitung, sementara yang lainnya sangat kecil. Besaran kontribusi PNBP ini pun masih rendah dan fluktuatif. Di tahun 2015, besaran PNBP yang diperoleh hanya 4,2 trilyun. Dan hal ini jadi pertanyaan, mengapa sumbangan sektor ini bisa begitu kecil dan tidak sebanding dengan berkurangnya jumlah hutan kita?
Temuan-Temuan
Temuan studi ini mencakup gambaran tata kelola penerimaan negara sektor kehutanan di daerah, potensi penerimaan Negara dan kemungkinan kebocoran berikut modus dan aktor yang terlibat, dan problematika kehutanan lainnya seperti praktik pungutan liar. Tata kelola penerimaan negara disektor kehutanan masih diwarnai berbagai masalah, mulai dari masalah data yang tidak konsisten antar instansi, perijinan yang tidak konsisten dengan fungsi utamanya untuk mengontrol, tidak adanya pengawasan pelaksanaan dilapangan, dll.
Masalah data merupakan masalah klasik yang belum juga bisa diselesaikan oleh pemerintah. Masalah ini mencakup data produksi, ijin, perusahaan, lokasi, dan detail lainnya. Dalam hal produksi kayu misalnya, data kehutanan di BPS dan KLHK pun tidak sama. Bahkan data yang dikeluarkan KLHK terkait dengan statistik Produksi Kehutanan 2015 dan statistik KLHK 2015 pun untuk jumlah produksi kayu tidak sama. Produksi kayu bulat berdasarkan Statistik Produksi Kehutanan 2015 menghasilkan 43,87 m3. Sedangkan Produksi Kayu Bulat pada Statistik KLHK 2015 untuk hutan alam menghasilkan 5.843.179,25 m3, sedangkan untuk kayu bulat dari hutan tanaman menghasilkan 29.447.109 m3.
Contoh lainnya adalah masalah jumlah pemegang ijin dengan luasan lahan. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), di Kalbar terdapat 25 perusahaan pemegang izin IUPHHK-HA dengan luas lahan 1.221.880 m2. Sedangkan, berdasarkan data Direktorat Direktorat Jenderal Perusahaan Kehutanan 2016 di Kalimantan Barat terdapat 76 perusahaan dengan luas konsesi 1.973.846 m3. Tidak jelas mana yang bisa diacu.
Masalah data terkait perijinan adalah ketidakterandalan informasi jumlah ijin, luasan dan lokasi ijin. Berdasarkan paparan Ditjenbun, jumlah IUP yang telah diterbitkan sejak 2007-2015 berjumlah 768 perusahaan dengan luas lahan 6,08 juta hektar yang tersebar di 24 provinsi. IUP tersebut 95% untuk komoditi kelapa sawit. Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur yang menjadi lokasi terluas dengan masing-masing 1.158.333,47 Ha dan 1.063.967,92 Ha. Lokasi-lokasi yang beririsan dengan hutan tersebut untuk melakukan pembukaan lahan maka dilakukan pembalakan hutan. Kayu-kayu hutan tersebut tidak dilaporkan, keuntungan dari kayu tersebut diambil oleh perusahaan perkebunan yang kecenderungannya dibagi dengan pemberi izin.
Potensi penerimaan dan kemungkinan kebocoran serta modus. Ada beberapa modus yang teridentifikasi bisa mengancam penerimaan negara. Yang pertama adalah kerugian negara akibat pembalakan liar. Berdasarkan Audit BPK tahun 2010, menyebutkan bahwa kerugian negara akibat pembalakan liar sebesar Rp83 miliar per hari atau Rp3,29 triliun per tahun. Sedangkan ketika peneliti coba hitung, jika data yang kami temukan bahwa ada sekitar 40,000,000 meter kubik yang hilang akibat pembalakan liar. Bila harga kayu rimba campuran berkisar $500/m3 (berdasarkan harga patokan ekspor kayu), maka kerugian negara mencapai 262 trilyun rupiah. Dengan catatan jika semua kayu di eksport. Namun jika dihitung berdasarkan ganti rugi tegakan , dirata-ratakan berdasarkan harga untuk wilayah Kalimantan dan Sumatera maka menghasilkan harga Rp. 385.000/m3. Maka kerugian negara mencapai 15,4Trilyun. Nilai kerugian negara jauh lebih besar daripada hitungan BPK. Malaysia diduga menjadi negara terbanyak menadah kayu ilegal asal Indonesia. Dalam banyak laporan Kehutanan menjelaskan, Malaysia mampu mempertahankan produksi pengolahan kayu, sebanyak 58,2 juta meter3. Padahal produksi kayu legal mereka hanya mampu menghasilkan 25,4 juta meter3.
Dalam penelitian terbarunya, KPK memperkirakan kerugian negara dari sektor kehutanan berkisar 9,0 miliar dollar AS atau antara Rp 8,45 triliun dan Rp 11,7 triliun selama periode 2002-2014. Nilai kerugian sebesar itu berasal dari ketidaksesuaian pencatatan volume produksi kayu yang ditebang, yang semestinya kemudian dibayarkan menjadi penerimaan negara bukan pajak dalam bentuk dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan.
Penyebab kerugian lainnya adalah kebakaran hutan. Di tahun 2014 anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memadamkan titik api di enam provinsi mencapai Rp 385 Miliar. Bank Dunia memperkirakan bahwa kebarakan hutan di Indonesia tahun 2015 merugikan negara sebesar Rp 221 Triliun atau setara 1,9 PDB tahun 2015. Padahal sumbangsih sektor kehutanan untuk PDB 2014 hanya 0,71%.
Produksi kayu bulat berasal dari hutan alam, terdiri atas Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Sedangkan produksi kayu dari hutan tanaman terdiri dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dan Peusahaan Umum Hutan Negara (Perhutani). Berdasarkan hasil pengumpulan Data Kehutanan Triwulanan Tahun 2015 (DKT2015), jumlah produksi kayu bulat di Indonesia adalah sebesar 43,87 juta m³. Produksi kayu Nasional pada tahun 2015, jika dikenakan tarif PSDH maka total PSDH yang diperoleh seharusnya mencapai Rp.47.731.130.000.000. Namun ternyata PSDH tahun 2015 yang tercatatkan di website Sipuhh online hanya menghasilkan nilai Rp.444,958,624,741.
Ketidaksesuaian lain bisa dilihat pada pungutan dana reboisasi/DR. Sebagai contoh sumbangan Dana Reboisasi di dua kabupaten di sebuah propinsi yang totalnya berjumlah Rp.36.533.474.770. Jumlah ini tidak sesuai bila perhitungan dilakukan menggunakan dasar angka statistik produksi kehutanan 2015. Dana Reboisasi hasil perhitungan dari statistik produksi menghasilkan nilai sebesar Rp.44.798.128.363,12. Namun kedua angka ini jauh lebih kecil berdasarkan pencatatan laporan sistem Sipuhh Online sebesar Rp.168.168.753.870. Dengan data yang berbeda-beda, hasil yang berbeda dan tentunya pendapatan negara yang jumlahnya berbeda akan menyulitkan validitas data dan verifikasi pemasukan negara dari sektor kehutanan
Masih banyak problematika lainnya di sektor kehutanan yang menggambarkan buruknya tata kelola, yang menyebabkan rendahnya penerimaan negara. Yang paling sering ditemukan adalah Tidak transparannya proses perijinan. Fungsi utama ijin adalah untuk mengontrol, bukan sebagai sumber pendapatan. Terkait dengan fungsi kontrol ini, prosedur ijin sering dibuat sedemikian rupa sehingga seperti rumit dan “menyulitkan”. Namun rupanya kerumitan dan kesulitan perijinan tidak mampu menghalangi orang untuk melanggar peraturan.
Di sektor kehutanan, salah satu modus yang paling banyak dikemukakan responden adalah banyaknya pelaku usaha berusaha menguasai birokrasi dan pemerintahan lokal dengan gratifikasi. Dengan begitu proses perizinan dan syarat-syaratnya menjadi dipermudah. Misal, ketika syarat belum terpenuhi tapi sudah keluar. Atau ketika perusahaan yang memohonkan izin tidak memenuhi persyaratan di level sebelumnya namun justru ditingkatkan. Modus lain yang banyak dipakai adalah perusahaan menggunakan izin operasi dengan status HTI namun beroperasi di kawasan hutan alam, sehingga perusahaan tersebut tidak membayar PNBP Dana Reboisasi.
Modus lainnya untuk menguasai hutan adalah dengan mengkaburkan status lahan. Dengan mengkaburkan status lahan pengusaha kehutanan membuka hutan untuk diambil kayunya dengan dalih untuk persiapan kebun dengan ijin prinsip yang telah diperoleh dari bupati.
Bagaimana jika hutan alam sudah dibabat seluruhnya atau sebagaian; atau sudah berubah menjadi kebun? Jalan yang banyak diambil oleh pemerintah, dengan dorongan pengusaha pelanggar, biasanya adalah dengan “pemutihan” status. Mereka melobby pemerintahan, tanpa dikenai sanksi atas pelanggaran yang telah dilakukan sebelumnya, meminta agar diputihkan.Pemutihan seringkali terjadi dengan melakukan penyesuaian/perubahan status kawasan di peraturan rencata tata ruang wilayah/RTRW,
Masalah lain adalah ada pengusaha yang mengincar hutan adat atau wilayah hutan yang menjadi hak masyarakat. Modus yang ditemukan yaitu pengusaha menyimpan orangnya untuk membentuk koperasi. Koperasi kemudian mengajukan hak hutan yang kemudian hak hutan tersebut digunakan untuk kepentingan pengusaha.
Salah satu alasan banyaknya indikasi pelanggaran proses perijinan adalah karena rumit, berbelit dan mahalnya proses perijinan. Mahalnya proses perijinan seringkali terkait dengan banyaknya pungutan liar di sepanjang prosedur perijinan. Investigasi singkat mengungkapkan bahwa pengusaha dipungut paksa 30-50 ribu rupiah di luar PNBP untuk per hektar hutan yang diajukan ijinnya. Pungutan ini bisa terjadi di setiap meja. Dengan panjang dan berbelitnya birokrasi, mulai tingkatan kantor perizinan (pejabat pemberi izin, Pihak yang memberikan jaminan keamanan) sampai pejabat di sekitar lokasi (kepala desa, kepala suku, pejabat terkait), total pungli untuk setiap hektar lahan yang ijinnya diajukan bisa mencapai 2,5 juta rupiah. Sehingga, jika misalnya setiap izin memohonkan 30.000 hektar dan kita ambil biaya keseluruhan perizinan 2,5 juta rupiah per hektar, maka biaya yang dikeluarkan mencapai minimalnya 75Milyar untuk setiap izin.
Pungutan liar lainnya yang sangat kasat mata biasanya terjadi pada proses pengangkutan. Biasanya seepanjang perjalanan dari hutan sampai ke tujuan ada sekitar 13-15 pos.Masing-masing pos biasanya menarik pungutan paksa antara 50-100 ribu rupiah. Biasanya pungutan liar itu dilakukan oleh aktor-aktor di akar rumput.
Implikasi
Hutan Indonesia yang luas dianggap sebagai harta karun yang dengan mudah dihabiskan. Harta karun yang tidak perlu dicari, tinggal tebang maka jadilah pemasukan sessat. Oleh karena itu, indikasi korupsi pada sektor kehutanan cenderung lebih besar. Pengawasan yang lemah, kurangnya intergritas aparatus dan sistem yang masih belum teruji menjadi musabab hilangnya potensi negara. Hilangnya potensi pemasukan negara dari sektor kehutanan terjadi akibat tata kelola di sektor kehutanan yang tidak baik.
Perijinan yang seharusnya menjadi alat kontrol pemerintah terhadap sumber daya alam kehutanan malah menjadi titik pertama masalah. Panjang, rumit, mahal dan tidak transparannya prosedur perijinan menjadi alasan pengusaha untuk menjalin hubungan dengan penguasa pemerintahan, melakukan tindakan illegal untuk mendapatkan ijin, berusaha
mempengaruhi proses pengambilan kebijakan publik, dan lain sebagainya. Tingginya keuntungan yang dijanjikan dari sektor kehutanan membuat pengusaha berani mengambil resiko menghalalkan berbagai cara.
Masalah prosedur perijinan juga menjadi kesempattan bagi oknum aparat untuk melakukan korupsi dengan melakukan pungutan liar pada pelaku usaha. Mereka menjanjikan kemudahan perijinan dan investasi dengan imbal balik tertentu untuk keuntungan pribadinya, yang tidak masuk ke kas negara. Sehingga hampir dibanyak tempat studi ini ditemukan bahwa perusahaan sangat mudah mengurus ijin dan mendapatkan alokasi luasan lahan yang sangat luas. Sementara disaat yang bersamaan warga sangat sulit mendapatkan ijin. Bahkan tidak jarang lahan hutan yang sudah dikuasai masyarakat turun temurun diambil alih paksa oleh perusahaan yang baru saja mendapatkan ijin prinsip.
Masalah perijinan tidak berhenti disini. Panjang, rumit, mahal dan tidak transparannya prosedur perijinan menyulitkan banyak pihak, baik pengusaha maupun masyarakat, yang ingin berusaha di sektor kehutanan. Pelaku usaha kehutanan seringkali mengambil resiko dengan “beroperasi sambil menunggu ijin keluar.” Ketika beroperasi tanpa ijin, tidak ada pemasukan apapun yang dibayarkan pada negara karena operasinya illegal.
Modus yang dilakukan pengusaha yang “beroperasi sambil menunggu ijin keluar” ada beberapa yang teridentifikasi. Diantara modus tersebut adalah sengaja membawa atau bekerjasama dengan masyarakat untuk merambah hutan, membuka hutan dengan alasan menjadi wilayah kelola masyarakat untuk berkebun. Tapi kemudian pelan-pelan izin-izin berdatangan mulai dari izin pengelolaan kayu hutan, izin tambang, dan izin HTI. Mekanisme HTR (Hutan Tanaman Rakyat), HKM, dll, yang keluar dari pemerintah untuk mensejahterakan rakyat sepertinya hanya pembungkus luar karena pada akhirnya warga desa kesulitan mengakses hutan. Kehadiran berbagai izin ini berpotensi merusak hidup, kehidupan dan penghidupan warga.
Tidak selesai di persoalan ijin, praktek pelaku usaha sektor kehutanan juga bermasalah pada saat mengambil hasil dari tindakan illegal mereka. Praktek suap sering terjadi di lokasi hutan. Biasanya para petugas kehutanan (seolah) tutup mata dengan aktivitas penebangan kayu meski tanpa izin.
Kesimpulan
Jadi secara umum, persoalan kehutanan di Indonesia dimulai dari proses perizinan yang panjang, rumit, mahal dan tidak transparan, berpotensi terjadinya suap pada pemerintah daerah oleh pengusaha pengelola hutan. Kemudian, terjadinya tukar guling kawasan melalui mekanisme perubahan perda. Akibatnya banyak wilayah yang awalnya masuk dalam status hutan berganti menjadi perkebunan dan pertambangan. Selanjutnya, terjadi pungutan-pungutan di luar perundang-undangan yang otomatis tidak masuk dalam kas negara. Hilangnya Potensi negara di sektor kehutanan tidak hanya perkara korupsi, pungli atau pengemplangan pajak. Namun juga ada sistem yang tidak baik yang memperbesar peluang hilangnya potensi negara serta memicu konflik di tingkat bawah.
Versi pdf bisa dilihat di sini.
Catatan :
[1] Data Bank Dunia menyebutkan hutan Indonesia hanya 94,43 juta hektar.
[2] Rata rata ukuran lapangan sepak bola 105meter x 68meter, atau luasnya 7140meter persegi~0,714hektar.