Sektor Perikanan di Indonesia
Sektor perikanan merupakan sektor yang potensial. Potensi jumlah ikan yang bisa ditangkap secara berlanjut (Maximum Sustainable Yields/MSY) diestimasikan mencapai 6,5-9,9juta ton per tahun. Selama ini produksi tangkapan ikan laut yang tercatat mencapai 6,2juta ton di tahun 2015.
Kontribusi sektor perikanan pada kehidupan warga sangatlah besar. Sektor perikanan ini menjadi gantungan bagi banyak penduduk Indonesia yang sebagian besar tinggal di pesisir. Tercatat jumlah rumah tangga perikanan tangkap mencapai 643.105 rumah tangga (2014). Dari sisi finansial-ekonomi, walaupun masih sangat kecil, kontribusi sektor ini terhadap Negara beberapa tahun ini terus meningkat. Penerimaan pajak mencapai 839,5Milyar (2016), atau hanya 0,01% dari total pajak. Sedangkan penerimaan PNBP mencapai 362,11M (2016), atau hanya 0,14% dari total PNBP. Kontribusi sektor ini terhadap PDB mencapai 267,75Trilyun.
Sektor ini diperkirakan masih berpotensi untuk memberikan kontribusi yang lebih besar lagi bagi Negara. Hasil perkiraan yang dilakukan menunjukkan bahwa ditahun 2016 potensi pajak mencapai IDR3,62Trilyun. Sementara realisasi penerimaan pajak hanya IDR839,5Milyar. Disini ada selisih yang mencapai IDR2,78Trilyun. Demikian juga dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dari target IDR950Milyar (2016), sampai Agustus 2016 terealisasi IDR362,1M saja.
Temuan Lapangan
Temuan studi ini mencakup gambaran tata kelola penerimaan negara sektor perikanan di daerah, potensi penerimaan Negara dan kemungkinan kebocoran berikut modus dan aktor yang terlibat, dan problematika perikanan tangkap laut, antara lain praktik pungutan liar. Dalam hal tata kelola, permasalahan yang kentara adalah adanya tumpang tindih kewenangan dan inkonsistensi aturan antara pusat dan daerah. Masalah lainnya yaitu ketika tarif retribusi izin yang diberlakukan sangat kecil, tapi pada pelaksanaannya nelayan harus membayar pungutan (liar) dengan jumlah yang cukup banyak. Hal ini karena proses perijinan dirasakan berbelit dan menyulitkan, serta biaya yang diinformasikan pada pengaju izin simpang siur tidak jelas.
Tata kelola TPI pun bermasalah. TPI seringkali dimonopoli sejumlah tengkulak yang bisa menentukan harga. Keberadaan mereka ditemukan merugikan disaat posisi tawar nelayan rendah. Selain itu ada juga keberadaan kelompok yang mengatasnamakan nelayan, tapi sama sekali tidak membantu nelayan. Keberadaan mereka kadang jadi broker yang menekan nelayan dan melakukan pungutan illegal.
Dari sisi potensi penerimaan Negara, ada beberapa modus yang dilakukan berbagai aktor yang memungkinkan terjadinya kebocoran. Dari sisi nelayan, pelaku usaha sering dikeluhkan oleh petugas bahwa mereka tidak jujur soal profil usaha mereka, seperti data penghasilan, biaya produksi, alat tangkap dan lain sebagainya. Kalaupun hasil produksi dilaporkan, seringkali yang dilaporkan lebih rendah dari yang sebenarnya ditangkap untuk mengurani pembayaran pajak. Mereka juga sering tidak jujur mengenai kapasitas kapal, dimana pelaku usaha melakukan mark-down kapasitas (GT) kapal untuk mengurangi/mengelak membayar pajak. Kenakalan lain yang dituduhkan pada pelaku usaha, termasuk nelayan, diantaranya adalah melakukan penjualan tangkapan ikan di laut ke kapal yang lebih besar atau di pelabuhan tikus, tidak di pelabuhan pendaratan dan TPI resmi. Kemudian, mereka juga memasang rumpon tanpa seijin aparat dan (karena kelemahan aparat) berada diluar jangkauan pengawasan aparat.
Sementara pelaku usaha juga mengeluhkan bahwa di pelelangan TPI sering tidak jujur, lelang ikan tertutup, rentan manipulasi jumlah dan nilai ikan yang dilelang. Dan praktik ini dianggap merugikan nelayan. Seringkali juga, dengan atau tanpa sepengetahuan nelayan, praktek pelelangan di TPI mencatatkan nilai lebih rendah dari nilai sebenarnya untuk mengurangi besaran retribusi yang harus disetorkan pada negara.
Praktik lain yang bermasalah di sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap laut antara lain berbagai praktik pungutan liar yang dialami banyak pelaku usaha. Sebelum berlayar, terkait pengurusan izin berlayar, nelayan seringkali dipungut sejumlah uang untuk izin berlayar yang seharusnya gratis. Izin lainnya juga sulit diperoleh dan mahal, sehingga seringlai nelayan mengakali dengan menggunakan satu izin untuk beberapa kapal. Atau lebih parah lagi, ada juga ditemukan kasus menggunaan izin yang palsu dan izin kadaluwarsa. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesulitan saat melaut karena kadang ada operasi, yang bila tertangkap melakukan pelanggaran, bisa di”tilang” sampai puluhan juta rupiah. Dan seringkali nelayan tidak bisa menghindari hal ini untuk menyelamatkan hasil tangkapan yang sangat mudah busuk.
Pada saat melaut, nelayan kecil seringkali harus bersaing dengan nelayan besar (dengan GT besar) yang seharusnya tidak diperbolehkan mengambil ikan di pesisir dekat pantai. Kesulitan tidak selesai disitu. Pada saat mendaratkan ikan seringkali juga terjadi pungli yang dilakukan aparat dan preman, mulai dari kecil kecilan (3 ekor cakalang) sampai yang besar (jutaan rupiah). Nelayan dalam posisi lemah karena ikan bisa busuk bila tidak segera disimpan khusus dan dijual. Pada saat pelelangan, nelayan seringkali tidak punya kontrol terhadap harga ikan. Ada sekelompok orang, agen, yang tertutup yang menjembatani nelayan dengan pembeli ikan. Keberadaan mereka yang tertutup membatasi orang lain untuk menjadi agen. Keberadaan mereka yang terbatas menyebabkan mereka memiliki kuasa pada saat pelelangan, dan melemahkan posisi nelayan pada khususnya.
Implikasi
Berbagai temuan tadi tentu saja berimplikasi banyak, baik pada kesejahteraan nelayan juga pada penerimaan negara dari sektor perikanan tangkap. Penerimaan nelayan kecil dapat dengan mudah berkurang akibat praktek praktek ekonomi biaya tinggi yang dilakukan oleh pihak aparat maupun non-aparat. Mulai dari sebelum berangkat melaut sampai saat pulang dari laut. Oleh karena itu, sangat masuk akal (walau pun tidak dibenarkan), ada beberapa nelayan yang melakukan berbagai modus untuk menghindari hal hal yang memungkinkan mengurangi pendapatan mereka dari melaut, mulai dari mengakali izin sampai menjual ditengah laut atau mendaratkan ikan dipelabuhan tikus.
Praktek-praktek yang dilakukan oleh pelaku usaha dan aparat (dan non aparat) ini tentu saja berimplikasi pada hilangnya potensi penerimaan negara. Potensi sektor perikanan yang sangat besar ini masih belum bisa dimaksimalkan sebagai sumber penerimaan negara akibat dari lemahnya sistem dan praktek kotor aparat dan non-aparat, yang me-demotivasi pelaku usaha untuk taat, yang pada akhirnya mengurangi penerimaan negara dari pajak dan PNBP.
Kesimpulan
Ada permasalahan besar di tata kelola sektor perikanan. Dibalik besarnya potensi perikanan, ternyata kontribusi pada penerimaan negara masih sangat kecil Praktek-praktek yang dilakukan oleh aparat dan pelaku usaha diduga berkontribusi besar pada kecilnya penerimaan negara dari sektor ini dan juga rendahnya kesejahteraan pelaku utama, yaitu nelayan. Untuk itu diperlukan perubahan besar, perbaikan tata kelola sektor ini, yang hanya bisa dilakukan atas kesadaran dan tindakan bersama. Sepertinya hal itu merupakan upaya yang bisa dilakukan agar sektor perikanan bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan warga masyarakat; meningkatkan penerimaan negara dari sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable); dan memelihara dan menjamin keberlanjutan sumber-sumbernya.
Versi pdf, silahkan membaca di sini.