Sektor Pertanian di Indonesia
Sektor pertanian merupakan tempat jutaan orang menggantungkan diri dan penghidupannya. Dalam pengusahaannya, secara kasat mata, terlihat diusahakan oleh perorangan, skala kecil, dan informal. Data statistik menunjukan bahwa petani di Indonesia sebagian besar hanya menggarap kurang dari 0,5 hektar saja.
Sektor ini diatur pemerintah melalui beberapa peraturan yang pada prinsipnya, semua usaha budidaya tanaman harus mendapatkan izin dari pemerintah. Namun hal ini hanya dibatasi untuk usaha yang mempekerjakan lebih dari 10 orang pekerja atau yang luasan area usahanya lebih dari 25 hektar (pasal 7 UU 18/2010) dan kurang dari 10.000 hektar (pasal 8 ayat (2) UU 18/2010)[i]. Sementara berdasarkan Permentan Nomor: 39/Permentan/OT.140/6/2010, untuk skala usaha yang kurang dari yang ditetapkan diatas, cukup mendaptar pada pemerintah daerah setempat. Selain itu, semua pelaku usaha budidaya tanaman yang menggunakan fasilitas, memanfaatkan jasa dan/atau sarana yang disediakan oleh pemerintah, wajib membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (Pasal 10 ayat (2) UU 18/2010).
Temuan Lapangan
Temuan studi ini mencakup gambaran tata kelola penerimaan negara sektor pertanian di daerah, potensi penerimaan Negara dan kemungkinan kebocoran berikut modus dan aktor yang terlibat, dan problematika disektor pertanian. Dengan karakter pertanian didominasi lahan sempit, dikerjakan sendiri atau kurang dari 10 pekerja, dan nilai aset diluar lahan kurang dari 2,5 milyar, PNBP dari perijinan sangat tidak signifikan, bahkan hampir tidak ada.
Namun, walaupun mayoritas petani berlahan kecil ada juga segelintir petani berlahan besar sampai puluhan bahkan ratusan hektar. Mereka juga memiliki pekerja hingga ratusan orang, yang bekerja secara informal. Penghasilan petani besar ini bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah per bulan. Namun Potensi kebocoran ada dititik pelaku usaha ini, yang mana mereka tidak ditemukan memiliki NPWP. Sebagai contoh di salah satu kabupaten di Jawatimur ditemukan seorang petani yang pendapatan bersihnya mencama 1.2 milyar per tahun. Dengan pendapatan sebesar itu, pajak yang dia harus bayar sekitar 297juta rupiah pertahun. Namun dia tidak membayar sesen pun karena dia tidak memiliki NPWP, sehingga praktis “tidak terlihat” oleh negara.
Potensi penerimaan sektor ini hanya di Pajak Bumi dan Bangunan di Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Namun seringkali PBB-P2 ini juga tidak dimaksimalkan. Di kabupaten X dipropinsi Lampung, misalnya, ketika target hanya 3,96 Milyar, ternyata realisasinya mencapai 4,96Milyar. Ini mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan proses perencanaan penerimaannya.
Selain itu ada potensi lainnya yang belum terksplorasi, yaitu pajak air tanah. Di salah satu kabupaten di Lampung juga misalnya, ada satu perusahaan yang memiliki 100 titik sumur bor tapi satu pun tidak berijin. Potensi kebocoran pajaknya mencapai 400juta pertahun. Namun karena beroperasi illegal, dan tidak ada pengawasan yang benar dari aparat, potensi ini hilang begitu saja dan perusahaan tersebut terus mengoperasikan sumur illegalnya tersebut.
Problematika penerimaan negara disektor pertanian sebetulnya tidak rumit, karena juga tidak banyak yang bisa di atur. Hanya operasional pertanian yang mempekerjakan lebih dari 10 orang, luas lahan lebih dari 25 hektar, dan asset diluar lahan lebih dari 2,5 milyar, atau omset lebih dari 4,8 milyar yang tax liable.
Masalah terbesar sektor pertanian adalah alih fungsi yang sangat tinggi pada lahan pertanian yang kecil. Lahan pertanian kecil sangat cepat beralih fungsi menjadi fungsi lain diluar pertanian, seperti menjadi perumahan atau komersial. Paling tinggi terjadi dilahan kurang dari 1000meter. Rumah tangga pertanian yang menggarap lahan sekecil ini berkurang secara signifikan di periode 2003-2013, diperkirakan banyak beralih profesi.
Alih fungsi lahan ini salah satunya dipicu oleh masalah pajak, yang timbul sejak PBB-P2 menjadi kewenangan dan sumber pendapatan daerah. Daerah berlombah lomba menaikan Nilai Jual Objek Pajak/NJOP untuk menaikan penerimaan PBB-P2. Persoalan ini bisa menjadi kendala untuk petani untuk mempertahankan lahan pertanian dan melakukan aktivitas pertanian. Jika pembayaran pajak dianggap terlalu tinggi, dibandingkan dengan pendapatan dari aktivitas pertanian, petani akan memilih untuk menjualnya atau mengubah peruntukannya menjadi penggunaan lain yang lebih menguntungkan. Dan ini dipeparah dengan masalah data yang tidak update.
Pungli memang terjadi. Pungli biasanya dilakukan aparat dan kecil kecilan, namun masif. Pungli ini memang tidak langsung pada aktifitas proses produksi pertanian namun pada proses pemberian bantuan dari pemerintah, seperti bantuan saprotan dan saprodi, bimbingan, dll. Alasan yang digunakan biasanya untuk mengganti transport dan akomodasi, uang gaji yang kecil, dll.
Implikasi
Apa implikasi dari temuan temuan diatas terhadap penerimaan negara, kesejahteraan warga, dan keberlanjutan sumberdaya? Dari sisi penerimaan negara, karakter sektor pertanian, khususnya tanaman pangan dan hortikultura yang (1) menguasai hajat hidup orang banyak; (2) menjadi gantungan penghidupan orang banyak, terutama orang miskin; (3) luas lahan per petani yang semakin sempit; (4) semakin terdesak oleh fungsi/sektor lain secara struktural kebijakan dan ekonomi, sudah selayaknya sektor ini untuk tidak diandalkan sebagai sumber penerimaan negara. Sebaliknya, pemerintah
harus mencari cara agar sektor ini bisa berkembang dan diandalkan. Sehingga walaupun tidak berarti banyak bagi pemasukan negara, sektor ini bisa menjadi andalan penghidupan yang layak bagi pelaku sektornya. Kalaupun hendak dioptimalkan pendapatan dari sektor ini, yang bisa dilakukan adalah fokus pada segelintir petani besar yang memperkerjakan orang banyak dan menguasai lahan yang luas. Namun hal ini pun harus dihitung ulang apakah ekonomis untuk memungut pajak dan non-pajak dari para petani besar ini.
Kesejahteraan petani sebagian sangat besar saat ini masih rendah. Upaya apapun untuk meningkatan pendapatan negara dapat dengan mudah mencederai pendapatan mereka. Sementara segala macam bantuan pemerintah untuk memberdayakan mereka, melalui berbagai pelatihan, bantuan saprotan, saprodi, dll, seringkali menjadi lahan oknum untuk melakukan korupsi. Tidak didapat nilai kehilangan yang pasti, karena sistem nilai masyarakat juga yang menganggap pemberian kurang dari jumlah tertentu tidak sebagai pungli atau pun korupsi.
Tantangan bagi semua aktor pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani dihadapkan pada dilema. Butuh luasan tertentu yang mendukung skala ekonomis pertanian. Namun dengan jumlah petani yang sangat besar, skala ekonomis tersebut sulit tercapat. Mengingat lahan pertanian tidak semakin luas, maka yang mungkin dilakukan adalah mengurangi jumlah petani. Sehingga luasan lahan per petani bisa mencapai skala ekonomis.
Keberlanjutan sektor pertanian cukup terancam dari dua sisi, yaitu dari regenerasi petani dan dari luasan ekonomi lahan. Data diatas menunjukan pengurangan yang sangat signifikan dari jumlah rumah tangga petani berlahan kecil. Selain itu ada sejumlah besar petani sudah mencapai atau melewati masa usia produktifnya.
Kesimpulan
Ada tantangan besar di sektor pertanian agar sektor tersebut bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan warga masyarakat; meningkatkan penerimaan negara dari sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable); dan memelihara dan menjamin keberlanjutan sumber-sumbernya. Namun dengan karakter sektor ini dan segala keterbatasan dan hambatan, prioritas sepertinya harus diberikan lebih besar pada upaya meningkatkan kesejahteraan petani dari pada meningkatkan penerimaan negara dari sektor ini. Upaya yang harus dilakukan oleh para pengambil kebijakan yang concern dengan permasalahan sektor ini adalah mengurangi tekanan pada sektor ini dan pada pelaku sektor ini, baik tekanan struktural (NJOP tinggi, ijin alih fungsi lahan dan penegakan hukumnya, dll) maupun tekanan ekonomis (biaya produksi tinggi, nilai jual rendah, dll).
Versi pdf, silahkan membaca di sini.
Catatan :
[i] Pengecualian:
- Usaha di Pulau Papua luas lahan maksimumnya adalah 20.000 (dua puluh ribu) hektar (pasal 8 ayat (3) UU 18/2010)
- BUMN dan BUMD tidak ada batas maksimum luasan lahan (pasal 8 ayat (5) UU 18/2010)