Sektor Perkebunan di Indonesia
“Karena aroma inilah bangsa tuan menjajah bangsa kami,” kata Agus Salim pada Pangeran Philips saat menghadiri penobatan Ratu Elizabeth II di Gereja Westminster Abbey pada 1953. Cengkeh hanya salah satu dari sekian banyak rempah nusantara yang pernah menguasai pasar dunia. Masih banyak komoditi perkebunan lainnya yang saat ini pun masih menjadi pensupply sebagian besar permintaan dan kebutuhan dunia.
Sejak jaman penjajahan sampai saat ini, tanah dan air bumi nusantara telah banyak memberikan kesuburan dan kekayaannya pada dunia. Namun sejak itu pula kesuburan dan kekayaan ini malah membawa petaka dan sengsara yang tiada habisnya bagi sebagian besar rakyat yang tinggal diatasnya. Sebagaimana aroma cengkeh, manisnya gula membawa penderitaan pada petani di Jawa. Pahitnya kopi membawa kesengsaraan tanam paksa pada rakyat Priangan berpuluh tahun lamanya. Juga ekspansi perkebunan sawit, di Sumatra dan Kalimantan, malah membawa kerusakan lingkungan yang kompleks dan menyingkirkan puluhan ribu rakyat dari rumah dan tanahnya. Sektor perkebunan merupakan sektor yang memiliki sejarah panjang, dengan babakan periode yang sangat terkait dengan kondisi politik di negeri ini.
Sejarah membuktikan bahwa Indonesia adalah rumah bagi berbagai komoditas perkebunan dunia. Saat ini, Indonesia merupakan produsen sawit nomor satu didunia dengan produksi mencapai 36 juta ton. Kemudian kopra, Indonesia menempati posisi kedua dengan produksi 515ribu ton. Dan Kopi posisi keempat dunia dengan produksi 10,9juta karung (@60kg).
Selain penting bagi dunia, tentu saja sektor ini penting juga menjadi gantingan hajat hidup orang banyak. Hal ini bisa dilihat dari jumlah petani dan rumah tangga yang menggantungkan hidup dan penghidupannya dari sektor ini.
Selain dikelola rumah tangga, perkebunan juga dikelola oleh perusahaan perkebunan. Saat ini perusahaan perkebunan sawit mendominasi perusahaan perkebunan di Indonesia. Hal ini seiring dengan meningkatnya secara drastis penggunaan produk sawit dan turunannya di dunia. Selama periode 2000-2014, jumlah perusahaan perkebunan sawit bertambah hamper seribu perusahaan, dari 693 perusahaan di tahun 2000 menjadi 1601 perusahaan ditahun 2014. Luas lahan sawit pun di periode yang sama meningkat duakali lipat, dari sekitar 3 juta hektar (2000) menjadi 6,4 juta hektar (2014).
Jika jaman penjajahan dulu perkebunan di nusantara menjadi sumber keuangan penting pemerintahan Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda (+/- 10% PDNetto)[1], namun tidak demikian saat ini. Kontribusi sektor perkebunan pada Negara di tahun 2014 hanya 192,92 Trilyun Rupiah atau 1,91% PDB (ADHB); hanya sekitar 57,25Trilyun rupiah atau 1,97% PDB (ADHK 2000). Angka ini tentu kecil sekali mengingat potensi dan peranan sektor ini.
Temuan Lapangan
Temuan studi ini mencakup gambaran tata kelola penerimaan negara sektor perkebunan di daerah, potensi penerimaan Negara dan kemungkinan kebocoran berikut modus dan aktor yang terlibat, dan problematika lain seputar sektor perkebunan. Ada banyak modus yang teridentifikasi bisa mengindikasikan ada sesuatu yang salah dengan tata kelola sektor ini. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, PT Perkebunan Nusanantara (PTPN) adalah BUMN dibidang perkebunan. Idealnya BUMN ini bisa memberikan hasil maksimal dalam pengelolaan perkebunan demi tingginya penerimaan negara dan kesejahteraan rakyat. Namun pada kenyataannya banyak ditemukan bahwa keberadaan PTPN malah menjadi masalah. Konflik dengan rakyat sekitar PTPN bisa ditemukan di banyak tempat. Belum lagi pengelolaan PTPN yang kurang baik menyebabkan PTPN malah menderita kerugian daripada membukukan keuntungan. Seperti salah satu kebun di PTPN IX, malah menderita kerugian mencapai 115 Milyar di tahun 2015. Kerugian ini diduga dikarenakan modus berupamark-up dan manipulasi HOK (Hari Orang Kerja) pekerja, penggunaan faktor input produksi perusahaan untuk kepentingan pribadi pegawai, pencurian pupuk subsidi untuk dijual kembali oleh oknum, pekerjaan kebun yang tidak semestinya, penggelapan dan penjualan hasil produksi perusahaan, dll.
Selain itu, tidak jarang juga ada masalah pada perizinan dan hak tanah. Misal HGU habis, tapi masih beroprasi. Operasi perkebunan disaat ijin dan HGU habis tidak memberikan keuntungan apapun pada negara, tidak ada PNBP yang dibayarkan perkebunan pada negara. Tidak jarang juga ditemukan bahwa operasional kebun melebihi luasan tertera pada ijin, atau melebihi luasan HGU. Hal ini tentu merugikan bagi negara, karena operasional illegal pada lahan di luar HGU tidak terlihat oleh negara, dan juga menimbulkan konflik.
Kedua, di perkebunan rakyat. Pemerintah seringkali memberikan berbagai bantuan input produksi perkebunan, seperti alat pertanian, penyuluhan, bibit atau pupuk. Namun pada prakteknya bantuan ini menjadi objek korupsi berupa pungli dari aparat, bantuan yang hanya menyentuh elit dan tidak menyentuh warga, dll. Tentu saja ini merupakan pemborosan belanja negara.
Ketiga, masalah transparansi. Sektor perkebunan memiliki ketertutupan yang sangat tinggi. Tidak mudah untuk mendapatkan informasi mengenai izin, lokasi, luasan, HGU, pemilik, produksi, dan lain sebagainya. Ketertutupan ini tentu saja tidak hanya menyulitkan warga, tapi juga menyulitkan negara untuk menghitung potensi sebenarnya yang bisa digali dari sektor ini.
Masalah keempat adalah pengusaha perkebunan yang menjaga jarak dari negara dengan tidak transparan dalam banyak hal. Hasil penelusuran ditemukan modus dimana izin perkebunan digunakan untuk membabat hutan dan mengambil kayu alam (tanpa harus membayar apapun pada negara terkait produksi kayu). Modus lainnya adalah memotong motong luasan perkebunan dalam plot kecil (<25hektar) dan didaftarkan atas nama individu sehingga dianggap perkebunan rakyat, yang mana modus ini digunakan untuk menghindari rumitnya perizinan dan menghindari pembayaran PNBP. Selain itu, modus ini juga bisa menjadi alat untuk menguasai lahan, dimana warga yang sudah memiliki kebun dilibatkan dalam program plasma, yang pada akhirnya kebun rakyat diambil alih dan dikelola perusahaan. Sementara bagi hasil sering tidak dibagikan pada warga pemilik lahan, batas batas lahan juga dihilangkan sehingga pemilik tidak bisa mengenali lagi lahan miliknya karena sudah terintegrasi dengan kebun pengusaha.
Kelima, masalah paling berat, adalah masalah konflik dengan warga. Salah satu implikasi dari ketertutupan perkebunan, mulai dari proses perizinan sampai proses produksi dan eksploitasi, adalah konflik dengan warga di sekitar perkebunan. Banyak ditemukan kasus dimana renderan gambar lokasi perkebunan di dokumen perizinan menyebabkan orang yang tinggal di daerah dimana lokasi perkebunan berada menjadi illegal. Konflik lahan antara warga dan perkebunan, juga antara fungsi perkebunan dengan fungsi kehutanan, perumahan, dan lainna, tidak bisa dihindarkan. Dalam banyak kasus, banyak di ekspose media massa, konflik ini sangat sering berubah menjadi kekerasan yang mengorbankan nyawa warga Negara dalam bentrokan dengan perusahaan dan pengamanannya.
Itu hanya sebagian kecil temuan dan sangat kecil dibandingkan permasalahan sebenarnya.
Implikasi
Implikasi dari modus modus ini sebenarnya cukup jelas. Warga dirugikan, negara juga kehilangan pendapatan. Tapi mengapa praktek modus-modus yang sudah begitu jelas didepan mata masih juga terjadi dan terus terjadi? Bila kita memasuki perkebunan, kita masih akan merasakan aura penjajahan. Dimana buruh perkebunan bekerja keras hanya untuk mendapatkan upah yang hanya cukup untuk makan untuk memanjangkan hidupnya. Sementara para petinggi perkebunan, aparat, dan penguasa banyak dituduh bekerjasama dan diuntungkan dengan praktek praktek tersebut.
Kesimpulan
Masih panjang perjalanan untuk menjadikan sektor perkebunan bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan warga masyarakat; meningkatkan penerimaan negara dari sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable); dan memelihara dan menjamin keberlanjutan sumber-sumbernya. Di sini menjadi pekerjaan rumah, salah satunya bagi pengiat organisasi masyarakat sipil.
Versi pdf, silahkan membaca di sini.
Catatan :
[1] Ivan Aulia Ahsan, Kegagapan dan Kebebalan Belanda Memahami Aspirasi Kemerdekaan, Tirto.id, 17 Agustus 2017, (https://tirto.id/kegagapan-amp-kebebalan-belanda-memahami-aspirasi-kemerdekaan-cuLC)