Oleh : Ari Nurman, Diding Sakri, Saeful Muluk
Dalam proses penyusunan peraturan perundangan (peraturan daerah/perda) secara partisipatif, masyarakat dapat terlibat dari mulai penelitian dan penyusunan naskah akademik, sampai dalam proses legislasi di parlemen (DPR-D). Lebih dari itu, tidak memungkinkan lagi bagi masyarakat untuk terlibat. Tahapan terakhir proses legislasi tersebut adalah sebuah black box, yaitu proses pengajuan draft raperda untuk dibahas dalam sidang paripurna sampai penulisannya dalam lembaran daerah. Pada tahapan ini, proses bersifat politis dan sangat menentukan nasib dari peraturan yang diajukan tersebut.
Pada setiap tahapan legislasi sangat berpotensi untuk terjadinya penyimpangan substansi perda. Penyimpangan substansi ini terkait dengan kepentingan stakeholder yang berbeda terhadap peraturan yang sedang disusun, baik yang pro maupun yang kontra. Namun dengan ketelitian, argumen dan pendekatan yang baik dan rasional pada saat pembahasan, biasanya penyimpangan tersebut dapat dihalangi dan dikembalikan pada substansi yang benar.
Tapi kemudian penyimpangan yang paling sulit untuk dihalangi adalah setelah draft raperda disepakati dalam pembahasan untuk diajukan pada sidang paripurna sampai perda tersebut ditempatkan dalam lembaran daerah. Pada tahapan tersebut, masyarakat tidak lagi dapat berperan. Pengawalan terhadap substansi perda hanya akan dapat dilakukan oleh mereka yang memungkinkan terlibat didalam sidang paripurna dan penempatan perda dalam lembaran daerah. Seperti diantaranya anggota DPRD dan pihak eksekutif (misalnya staf sekretariat dewan, staf sekretariat daerah, bupati).
Untuk melihat ada atau tidaknya perubahan, kita melakukan analisis dengan membandingkan isi (content analysis) draft raperda sebelum dan sesudah blackbox, yaitu di antaranya setelah draft raperda disepakati dalam pembahasan untuk diajukan dalam sidang paripurna sampai perda tersebut selesai ditempatkan dalam lembaran daerah. Logikanya, bila ada penyimpangan maka akan terlihat dari adanya perubahan dalam draft (baik raperda maupun perdanya). Sekecil apapun perubahan tersebut, sangat mungkin merubah struktur/kerangka logis atau pun substansinya. Penyimpangan-penyimpangan tersebut berpotensi menjadikan perda yang disahkan menjadi sulit atau tidak operasional. Kemungkinan paling buruk adalah kemudian, perda tersebut dibatalkan karena cacat substansi.
Sebagai studi kasus, kita menggunakan pengalaman Perkumpulan Inisiatif dalam menginisiasi peraturan daerah. Perkumpulan Inisiatif pernah menginisiasi dan terlibat dalam penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.8 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah, serta Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 2 tahun 2006 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa. Kedua perda ini dapat dikategorikan sebagai peraturan daerah yang menyediakan suprastruktur bagi terlaksananya perda-perda pelayaan publik dasar dan implementasinya.
Kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa prosedur penyusunan yang berlaku masih jauh dari kemungkinan adanya partisipasi. Sangat penting bagi masyarakat, bila mengusulkan suatu produk hukum daerah, untuk memastikan bahwa ada orang (atau siapapun) dari pihak pemerintah, terutama dari unit kerja/SKPD terkait, atau dari pihak DPRD yang bersedia untuk memperjuangkan usulan tersebut. Selain itu, adanya orang yang bersedia untuk membantu masyarakat memperjuangkan usulannya akan menjamin bahwa masyarakat pengusul akan dapat diundang dalam pembahasan.
Kemudian, perjuangan stakeholder dalam pembahasan rancangan peraturan daerah, baik yang pro maupun yang kontra, tidak boleh berhenti sampai saat akhir pembahasan saja. Karena dari hasil analisis, setelah pembahasan dan memasuki proses pengesahan dalam sidang paripurna sampai dituangkan dalam lembaran daerah, masih banyak kemungkinan perubahan. Sekecil apapun perubahan tersebut terbukti telah “menyimpangkan” substansi. Di sini, keberadaan orang yang merupakan bagian dari anggota DPRD yang memperjuangkan usulan produk hukum dari masyarakat, sangat memegang peranan yang sangat penting. Ketelitian, pemahaman, dan kapasitas pemahaman substansi dari anggota dewan yang “dititipi amanat untuk memperjuangkan produk hukum usulan masyarakat” menjadi kunci penting yang akan menjamin adanya substansi yang tetap dan sesuai dengan usulan masyarakat.
Rekomendasi yang diajukan adalah, pertama, usulan revisi peraturan perundangan yang mengatur mengenai prosedur penyusunan produk hukum daerah dan prosedur lainnya yang terkait, termasuk permendagri terbaru tentang prosedur penyusunan produk hukum daerah, untuk dikaji ulang dan di revisi untuk memudahkan masyarakat terlibat dalam penyusunan produk hukum, setidaknya yang memungkinkan merea terlibat dalam pembahasan di DPRD ataupun di eksekutif. Rekomendasi kedua adalah perlunya peningkatan kapasitas bagi stakehoder (terutama masyarakat marginal) dan anggota DPRD yang memperjuangkan usulan masyarakat, sehingga mereka mampu berpartisipasi dalam penyusunan peraturan daerah dan mengawal keseluruhan prosesnya.
Silahkan membaca di sini.
Silahkan mengunduh di sini.