Dulu, ketika demokrasi masih ilusi, masyarakat sipil sebagai pilar demokrasi dalam tata negara, wakil khusus dalam tata pemerintahan pusat dan daerah, adalah juga ilusi bahkan mimpi yang dilarang. Sebabnya adalah faktor eksternal : pengekangan dalam bentuk regulasi dan tekanan atas kebebasan berorganisasi dari rezim anti-demokrasi. Kini era reformasi dan desentralisasi, demokrasi menebar benih di bumi pertiwi : Sudahkah masyarakat sipil menjadi pilar demokrasi ?
Menjawab soal ini mungkin tidak mudah. Butuh riset serius untuk memberi jawab yang meyakinkan. Tetapi sekadar sebuah ilustrasi, assesmen singkat (rapid assessment) yang kami lakukan di Kabupaten Bandung, memberi jawaban -atau lebih tepat ilustrasi- yang tidak terlampau menggembirakan. Sebelum lebih jauh, kita tegaskan dulu, bahwa ilustrasi ini berlaku dalam konteks tata pemerintahan lokal Kabupaten Bandung, bagian dari sistem demokrasi di negeri ini.
Assessment ini ditujukan untuk menemukan dua hal : (1) bagaimana kerangka regulasi lokal (perda dan perbup) memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam tata pemerintahan lokal, yang notabene merupakan cermin dari demokrasi itu sendiri; dan (2) bagaimana organisasi masyarakat sipil berperan dalam mewujudkan tata pemerintahan lokal yang baik (sekali lagi merupakan wujud demokratisasi lokal). Temuannya adalah sebagai berikut :
Pertama, cukup melegakan bahwa sebagain pertauran daerah/perbup di Kabupaten Bandung telah memberikan peluang yang cukup -meskipun tidak istimewa- bagi partisipasi masyarakat sipil dalam tata pemerintahan. Di antaranya ada perda tentang kewajiban pemda untuk transparan kepada rakyat dan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam perencanaan pembangunan.
Namun, temuan kedua cukup menyesakkan karena potret peran masyarakat yang masih jauh dari harapan. Ditinjau dari aspek kompetensi, interes, independensi dan partisipasi, masyarakat sipil kita masih jauh dari harapan. Dampak langsungnya adalah peraturan daerah yang telah baik secara tekstual tidak dapat ditegakkan karena memang pemerintah daerah tahu bahwa masyarakat sipil tidak mempunyai cukup kontrol terhadap regulasi yang ada.
Dua sinyalemen ini menjadi pelecut kuat bagi kita untuk lebih merapatkan barisan organisasi masyarakat sipil. Ada dua pendekatan yang mungkin dilakukan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Pendekatan pertama adalah penguatan basis dan kapasitas masyarakat sipil untuk melakukan kontrol demi penegakan perda yang secara substansi sudah baik. Pendekatan kedua adalah dengan peningkatan kapasitas masyarakat tentang permasalahan pelayanan publik yang mendasar bagi rakyat seperti kesehatan, pendidikan dan peningkatan akses terhadap sumber kehidupan perekonomian. Pendekatan yang kedua akan mengarah kepada semakin efektifnya pelayanan publik yang dilakukan pemerintah. Pendekatan pertama akan mengarah kepada semakin transparannya tata kelola pemerintahan sebagai mesin produksi pelayanan publik dimaksud.
Silahkan membaca di sini. (Jika mau mendapatkan softcopy-nya, silahkan mengajukan permintaan ke inisiatif@inisiatif.org).