Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di tahun 2010 menandai realisasi pemenuhan hak atas informasi oleh Badan Publik di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama, hak atas informasi sebagai hak konstitusional warga Indonesia telah dijamin di pasal 28f Undang-Undang Dasar 1945 : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”
Sayangnya, banyak Badan Publik yang mengelak menunaikan kewajiban memenuhi hak atas informasi. Salah satu di antaranya adalah Pemerintah Kabupaten Sumedang. Di UU KIP, Badan Publik mempunyai kewajiban untuk secara aktif memberikan informasi tanpa diminta (pro-active disclosure) maupun berdasarkan permintaan (passive disclosure).
Di dalam kewajiban pro-active disclosure, Badan Publik harus menyediakan informasi yang dibutuhkan baik secara berkala, setiap saat maupun serta-merta. Komisi Informasi Pusat sudah merinci informasi- informasi ini di dalam Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik.
Website Pemerintah Sumedang www.sumedangkab.go.id memberikan potret bagaimana pemerintah daerah ini tidak serius memberikan informasi bagi warga dan melalaikan kewajiban pro-active disclosure-nya. Setidaknya ada 3 hal yang perlu disorot, yaitu template web yang kosong, informasi yang kadaluarsa (out of date), dan informasi yang tidak lengkap.
Informasi-informasi penting bagi warga Sumedang khususnya dan warga Indonesia pada umumnya seperti renstra, perjanjian-perjanjian dan info bencana, tidak pernah dipenuhi oleh Pemkab Sumedang, karena ketiga template tersebut di website resmi tidak menampilkan informasi apa-apa. Hanya satu informasi yang bisa kita baca bersama : empty.
Tantangan lain dalam menyajikan informasi adalah setia untuk memperbaruinya seiring waktu berjalan. Hal ini, sekali lagi tidak dilakukan oleh Pemkab Sumedang. Jika menelusuri semua informasi di web ini, warga hampir selalu akan menemui informasi yang hanya valid di sekian tahun yang lalu.
Hal yang paling mencolok adalah pengakuan terhadap Ade Irawan sebagai Bupati Sumedang yang seakan disangkal. Jika meng-klik Sekilas Sumedang>Visi dan Misi terdapat 2 file yang muncul yaitu Visi & Misi Jangka Panjang dan Visi & Misi Jangka Menengah. Di file kedua, kita akan mendapati eksistensi Bupati periode sebelumnya : Don Murdono. Jika kita meng-klik Serba-Serbi>Redaksi, maka yang muncul adalah eksistensi Bupati yang telah mangkat : Endang Sukandar. Posisi Ade Irawan masih sebagai wakil bupati. Kenyataan-kenyataan ini tentu akan menyesatkan publik yang baru pertama kali berkenalan dengan Kabupaten Sumedang. Publik akan mudah disesatkan oleh informasi yang tidak terbarui secara berkala.
Para calon pengunjung di Kabupaten Sumedang juga rentan terkecoh terkait informasi hotel-hotel dan rumah makan misalnya, karena yang disajikan adalah informasi yang bertahun 2009. Apakah alamat dan harga yang tertera masih akurat ? Secara awan jarak 5 tahun, yaitu ke 2014 sangat memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan.
Penelusuran terhadap informasi sosial budaya Kabupaten Sumedang yang terdiri dari informasi IPM, Kependudukan, Transmigrasi, Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial hanya akan membawa pembaca mendapatkan informasi paling terkini adalah di tahun 2008. Hak warga mengetahui peraturan perundangan daerah juga dibatasi dengan hanya memberikan akses pada peraturan daerah, keputusan bupati dan instruksi bupati hingga tahun 2011 saja.
Ketiadaan komitmen memperbarui informasi tampak lagi pada ketidakmauan mengubah informasi anggota legislatif yang telah terpilih melalui pemilihan umum 2014. Padahal para legislator baru ini sudah dilantik pada tanggal 14 Agustus 2014 yang lalu. Namun yang tercantum di web resmi Pemkab Sumedang masih anggota legislatif periode 2009-2014.
Akhirnya, kewajiban pro-active disclosure juga menyinggung pemberian informasi yang lengkap dan utuh. Hal ini, lagi-lagi tidak bisa dipenuhi Pemkab Sumedang yang lebih memilih memberikan informasi yang setengah-setengah saja.
Fungsi download di informasi perizinan-perizinan tidak ada yang berfungsi. Dari 48 perizinan yang ditampilkan, tidak ada satu pun yang memberi kesempatan warga untuk mengetahui lebih jauh tentang perizinan yang bersangkutan. Apa syaratnya, berapa lama berlaku, dan sebagainya tidak bisa diketahui karena fungsi download dimatikan. Sedangkan di informasi sarana daerah, pembaca akan kesulitan memperoleh informasi alamat dan nomor telepon yang lengkap.
Dengan potret kewajiban pro-active disclosure seperti diungkap di atas, maka sangatlah wajar jika Pemerintah Kabupaten Sumedang mendapatkan julukan pemda gelap, karena menolak memenuhi hak atas informasi warga Sumedang dan publik pada umumnya. Kegelapan informasi tidak hanya karena tidak menyajikan informasi saja, akan tetapi juga menyajikan informasi yang menyesatkan karena kadaluarsa maupun tidak lengkap. Potret ini juga sejalan dengan kenyataan masih macetnya pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Pemkab Sumedang yang merupakan mandat UU No.14 tahun 2008 yang bertugas memenuhi dan melindungi hak atas informasi.
Tanggal 23 Agustus 2011 adalah batas waktu pembentukan PPID. Dan Pemkab Sumedang telah melanggarnya.