Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan tonggak perubahan paradigma pengelolaan urusan publik dari yang semula serba tertutup menjadi pada dasarnya bersifat terbuka.
Setiap warga negara berhak mengetahui semua pengambilan keputusan di badan-badan publik dan setiap badan publik berkewajiban menjawab setiap permintaan informasi publik secara tertulis dalam jangka waktu tertentu.
Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu badan publik, menjawab kehadiran UU ini dengan justru menutup diri. Berdasarkan pengalaman mengajukan permohonan informasi publik, setidaknya ada 2 strategi yang dijalankan oleh badan publik ini, yaitu melelahkan pemohon informasi publik dan melecehkan Komisi Informasi Jawa Barat sebagai lembaga pengadil sengketa informasi.
Strategi pertama mengambil taktik, tidak menjawab permintaan informasi publik dari pemohon. UU KIP mengharuskan badan publik menjawab secara tertulis permintaan informasi selambat-lambatnya 10 hari kerja. Ia berhak memperpanjang lagi selama 7 hari kerja, asalkan memberitahukan secara tertulis kepada pemohon.
Badan publik yang tidak menjawab permintaan informasi, akan memaksa pemohon/pengguna mengajukan surat keberatan. UU KIP mengharuskan badan publik menjawab secara tertulis surat keberatan tersebut paling lambat 30 hari kerja.
Jangka 40 atau 47 hari kerja bukanlah waktu yang sebentar. Jika menggunakan perhitungan hari tanggal, itu berarti hampir 2 bulan. Setda Provinsi Jawa Barat agaknya melihat peluang ini sebagai taktik pertama menutup diri. Pemohon juga tidak bisa berbuat apa-apa hingga 40/47 hari kerja terlampaui. Kondisi itulah yang ingin dikejar, yaitu si pemohon akan berpikir menggugurkan niatnya meminta informasi publik karena waktu yang lama.
Taktik kedua adalah memberikan informasi publik yang tidak akurat dan tidak lengkap. Pada taktik ini, Setda Provinsi Jawa Barat mau memberi kesan memenuhi permintaan. Pemohon pada situasi seperti ini, kembali harus mengeluarkan energi untuk menagih-nagih sisa informasi yang belum diberikan. Seperti diungkapkan di atas ini adalah strategi melelahkan pemohon.
UU No.14 Tahun 2008 sudah memberikan waktu 2 tahun bagi badan publik untuk mempersiapkan diri, termasuk di dalamnya bagaimana mengembangkan sistem informasi yang memungkinkan Pejabat Pengelola Informasi Publik (PPID) badan publik bersangkutan mudah mengambil informasi yang diminta pemohon. Apalagi Sekda Provinsi Jawa Barat sudah memiliki PPID resmi melalui SK Gubernur No. 489/Kep.487-Diskominfo/2010 tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) pada Organisasi Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tertanggal 18 Maret 2010. Sehingga praktik memberikan informasi publik sepotong-potong tak lebih merupakan bagian dari perilaku menutup diri Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat.
Taktik ketiga dari strategi pertama masih berhubungan erat dengan taktik kedua. Pada taktik ketiga, Setda memelihara sekat-sekat antar unit organisasi (biro) sehingga akan tercipta situasi sulit berkomunikasi yang menghambat pertukaran informasi. Oleh Setda, keadaan itu akan menghasilkan pembenaran informasi publik yang belum didokumentasikan.
Harapannya, pembenaran tersebut akan menghasilkan efek permakluman pemohon/pengguna informasi publik. Bahwa tidak mudah mengumpulkan informasi publik yang diminta pemohon. Bahwa hal itu membutuhkan waktu. Bahwa kerangka waktu yang disediakan UU Keterbukaan Informasi Publik tidak masuk akal, dst.
Tidak hanya mengambil sasaran terhadap pemohon informasi publik, Setda Provinsi Jawa Barat, melangkah lebih jauh dengan strategi melecehkan Komisi Informasi Jawa Barat yang dibentuk berdasarkan UU KIP. Komisi Informasi yang tidak berwibawa akan membuat badan publik merasa tidak perlu mempedulikan kehadiran komisi ini. Jika masif, ketidakpedulian tersebut akan berkembang ke sikap mempertanyakan eksistensi Komisi Informasi.
Sekali eksistensi Komisi Informasi dipertanyakan, maka akan membuatnya masuk dalam lingkaran evaluasi Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. Sebagaimana kita ketahui, saat ini sedang berlangsung evaluasi menyeluruh terhadap semua lembaga independen pasca reformasi 1998, karena diragukan kemanfaatannya dan membebani anggaran negara.
Strategi melecehkan ini, setidaknya mengambil 3 taktik, yaitu tidak menghadiri sidang sengketa informasi publik, mengirimkan perwakilan yang tidak mempunyai kewenangan mengambil keputusan serta melanggar putusan Komisi Informasi.
Sebagaimana kita ketahui bersama, proses yang berlangsung di dalam penyelesaikan sengketa oleh Komisi Informasi adalah sidang mediasi dan/atau ajudikasi. Ketidakhadiran perwakilan badan publik sebenarnya perwujudan dari ketidakpedulian. Demikian pula mengutus perwakilan yang tidak berwenang mengambil keputusan. Keputusan yang dimaksud, terutama terkait dengan status informasi publik yang diminta pemohon, apakah termasuk terbuka atau dikecualikan.
Taktik terakhir sudah beranjak mempertanyakan eksistensi Komisi Informasi. Putusan mediasi dan/atau ajudikasi yang mudah dilanggar sama halnya dengan menganggap Komisi Informasi tidak ada.
Catatan-catatan di atas merupakan pengamatan awal terhadap strategi Badan Publik Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat dalam menjalankan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Bukannya menerapkan strategi membuka diri, Setda Jabar malah terlihat mengembangkan strategi menutup diri.
Jika konsisten menerapkan dan mengembangkan strategi menutup diri, maka sebenarnya Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat sedang merintis jalan menantang Undang-Undang No. 14 Tahun 2008. Benarkah Saudaraku Lex Laksmana Zaenal ?