Sejatinya, jauh sebelum negara ini ada, desa sudah lama tumbuh dan berkembang mengelola sumber daya yang dimilikinya secara mandiri, produktif dan berkelanjutan. Dengan demikian, ketika “desa” akan diatur/diurus dalam sistem ketatanegaraan RI, prinsip dasar atau landasan filosofisnya harus berpegang pada sejatinya desa sebagai entitas /tatanan ekonomi‐politik yang sudah lama mewujud. Desa adalah “kesatuan ruang” yang di dalamya mengandung tatanan sosial yaitu manusia/masyarakat, alam dan lingkungan. Implikasinya adalah desa bukan hanya sekedar wilayah administratif
dan geografis atau teritorial saja. Sejatinya, desa mencita‐citakan lahirnya kesejahteraan dan keadilan sosial masyarakat desa. Cita‐cita itu sangat realistis diwujudkan karena faktanya desa memiliki ruang dan beragam sumber daya, baik ekonomi, sosial, budaya yang bisa dikelola secara totalitas, produktif dan berkelanjutan.
Namun, seiring dengan dinamika politik kekuasaan pasca revolusi 1945, posisi dan peran desa tereduksi hingga kini, desa menjadi subordinat dari negara ini. Desa menjadi unit pemerintahan (goverment unit) di bawah pemerintah dan pemerintahan daerah. Posisi ini membawa implikasi pada pengaturan atas sumber daya yang dimiliki desa itu sendiri, pengaturan pengelolaan keuangannya, sumber daya alam hingga aturan tata politik desa. Dapat disimpulkan bahwa, desa sudah kehilangan “otonomi” untuk mengurus dirinya dan sumber daya yang dimilikinya. Saat ini, hampir sebagian besar
peraturan perundang‐undangan menempatkan desa sebagai objek pembangunan.