Akhir-akhir ini muncul tuntutan dari berbagai kalangan masyarakat yang menghendaki Pemerintah Indonesia menegoisasi ulang semua kontrak karya pertambangan perusahaan transnasional, seperti PT Freeport, karena dianggap merugikan rakyat Indonesia.
PT Freeport bukanlah perusahaan nasional. Dia merupakan pelaku usaha yang bermain di beberapa negara dan memanfaatkan dengan baik era globalisasi untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Kenyataan itu menyadarkan kita akan kehadiran pemain yang tidak terikat batas-batas nasional negara.
Sejak reformasi 1998, banyak terjadi privatisasi perusahaan negara di Indonesia atas anjuran berbagai lembaga internasional, antara lain IMF. Bersamaan dengan itu, istilah good governance juga muncul dan meraih popularitasnya hingga saat ini yang dianggap sebagai cara mengelola urusan publik pasca rezim otoriter Orde Baru. Persoalan publik bukan lagi hanya urusan dan ditangani oleh government saja.
Istilah good governance juga banyak muncul di Undang-Undang kita, terutama sejak 1998, antara lain di UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang menyebut penerapan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dalam meredam potensi konflik dalam masyarakat (ps.9). Varian dari istilah ini, yaitu good corporate governance, antara lain muncul di UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No.2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Buku suntingan Ali Farazmand ini, yang berjudul Sound Governance : Policy and Administrative Innovations, menawarkan analisis yang lebih tajam terhadap proses-proses yang sedang berlangsung, khususnya di negara-negara berkembang di tengah arus globalisasi. Tidak hanya terpaku pada 3 pelaku utama sebagaimana disebut dalam konsep good governance, yaitu negara, masyarakat sipil dan sektor swasta nasional, buku ini juga mengarahkan perhatian kita terhadap peran lembaga-lembaga supra negara, seperti PBB, IMF, Bank Dunia dan perusahaan transnasional. Ali menawarkan istilah baru, sound governance.
Hetifah Sj. Sumarto sebetulnya juga menyadari kehadiran, selain 3 pelaku di atas. Dalam bukunya Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, ia menyebut komunitas internasional, khususnya donor, dalam kurun 1998-2002 yang memainkan peran, antara lain menguatkan masyarakat sipil. Berbeda dengan Ali, Hetifah tidak menyinggung kehadiran pelaku tersebut dalam konteks globalisasi.
Secara keseluruhan, nilai lebih buku ini terletak pada upaya meningkatkan kepekaan pembaca terhadap proses globalisasi yang terjadi dan bagaimana negara-negara, khususnya negara berkembang, seharusnya bersikap dan menghadapi situasi tersebut dengan tetap mengedepankan kepentingan nasionalnya serta tidak tunduk begitu saja pada anjuran lembaga-lembaga internasional atau kepentingan perusahaan transnasional.
Kumpulan tulisan dalam buku ini terbagi ke dalam 6 bagian. Bagian pertama berisi tulisan Ali Farazmand dan Anthony B.L. Cheung. Tulisan Ali mengulas globalisasi dari beragam perspektif, penyebab dan dampaknya terhadap governance. Dia menyebut globalisasi menimbulkan persekongkolan antara elit negara dan kekuatan transnasional untuk mempercepat akumulasi modal. Menurutnya eksistensi negara sendiri tidak akan hilang di tengah globalisasi. Tetapi yang terjadi saat ini adalah pemanfaatan negara oleh segelintir orang.
Ali menemukenali 4 pilihan kebijakan dalam menghadapi situasi itu : 1. Strategi pendidikan publik, 2.Pilihan kebijakan mengakomodasi, 3. Pilihan kebijakan menolak atau 4. Pilihan inovasi kebijakan dan administratif.
Tulisan Anthony B.L. Cheung menyoal adopsi resep kebijakan dari luar. Apakah di tengah globalisasi itu sesuatu yang tidak terelakkan ? Ia mencontohkan resep kebijakan New Public Management (NPM) di era 1980-an yang sangat berorientasi ekonomi pasar. Ternyata tidak semua negara mengambil sikap yang sama.
Bahkan di negara-negara OECD ada 4 karakteristik dalam menghadapi/melakukan perubahan kebijakan ini, yaitu Japanese way, German way, American way dan Swedish way. Japanese way berkarakter rendah dalam motif berubahnya, namun tinggi dalam melihat kesempatan berubah. Kebalikannya adalah German way yang berkarakter tinggi motif berubahnya, tapi rendah melihat kesempatan berubah. Sedangkan American way, baik motif berubah maupun kemampuan melihat kesempatan, kedua-duanya rendah. Adapun kebalikan American way ialah Swedish way.
Adopsi kebijakan selalu merupakan interaksi dari tekanan pihak luar dan dinamika lembaga internal. Klaim sebuah kebijakan merupakan trend internasional itu sebenarnya tak lebih dari politik persuasi dan penerimaan.
Enam kunci penerimaan kebijakan NPM menurut Hood dan Jackson (1991,1994) adalah : 1. Sejalan dengan sentimen yang muncul, 2. Metafora bahasa, 3. Ketidakjelasan substansi, 4. Mengelabui mereka yang tidak sejalan dengan mitos, 5. Selektif dalam mengajukan klaim, dan 6. Menyembunyikan kepentingan privat yang sesungguhnya (lihat hal.67).
Bagian kedua membahas kapasitas apa yang harus dimiliki untuk menyelenggarakan sound governance. Tulisan pertama dari Ali Farazmand mengulas banyak tentang pembangunan kerjasama antar para pihak. Dari prasyarat kerjasama yang efektif, proses pembangunan kerjasama yang efektif, bentuk kerjasama di berbagai tingkatan : global, nasional dan lokal, kendala membangun kerjasama sampai model dan strategi membangun kerjasama.
Ali memandang pembangunan kerjasama dalam kerangka sound governance harus bersifat transparan, akuntabel, efisien, efektif, responsif, fair dan berkeadilan serta melibatkan partisipasi warga. Di antara sifat-sifat tersebut, ia menaruh perhatian besar pada soal transparansi. Tanpa transparansi, kerjasama akan cenderung gagal oleh karena ketiadaan keterbukaan dan kepercayaan antar para pihak.
Dalam hal ini, apa yang dikemukakan Ali tidak berbeda jauh dengan kerangka good governance. Yang menarik di sini adalah ia mengajak memandang kerjasama di tingkat lokal, jangan semata-mata dilihat dalam situasi lokal atau nasional saja. Akan tetapi tetap harus dilihat juga dalam situasi global. Ini konsisten dengan ajakannya untuk memperhatikan pelaku di tingkat global.
Sedangkan tulisan kedua oleh Robert B. Denhart menyorot pentingnya membangun kepercayaan warga terhadap pemerintah melalui penyelenggaraan tata kelola yang responsif dan berintegritas. Warga hanya bisa percaya hal itu, ketika pemerintahnya betul-betul bertindak responsif dan berintegritas dalam keseharian mengelola urusan publik.
Pada saat bersamaan, pemerintah harus mengupayakan penumbuhan warga yang bertanggung jawab. Langkah-langkah untuk mewujudkannya adalah yang pertama memusatkan pada pendidikan kewargaan (civic education). Selanjutnya, beranjak ke pembentukan nilai-nilai keadaban (civic virtue), melalui pembangunan dialog politik yang setara dan etis saat merancang maupun menerapkan program-program yang bermanfaat bagi publik. Dan yang terakhir, melangkah pada civic responsibility, yaitu mendorong warga mengambil peran aktif di lingkungan sekitarnya dan di sistem politik yang lebih luas.
Dengan demikian penyelenggaraan tata kelola urusan publik tidak hanya membenahi proses administrasi dan semangat kewirausahaan di dalam pemerintah saja. Warga memang membutuhkan pemerintah yang bekerja lebih efisien dan cost-effective, namun itu tidak cukup. Pemerintah perlu dipandu oleh integritas dan semangat responsif.
Bagian ketiga membawa pembaca kepada penerapan sound governance di beberapa bidang. Anthony James Catanese membahas penerapannya di bidang perencanaan. Sedangkan Gordon Bazemore dalam bidang reformasi keadilan terhadap kejahatan kriminal yang terjadi di tingkat komunitas. Adapun F. Stevens Redburn dan Terry F. Buss membahas implikasi revolusi informasi terhadap partisipasi warga.
Bagian keempat membicarakan organisasi dalam rangka sound governance. Tulisan pertama menyangkut inovasi dalam organisasi publik, yang dibahas mendalam oleh Robert T. Golembiewski dan Eran Vigoda-Gadot. Penulis berangkat dengan menawarkan konsep inovasi baru yang disebutnya inovasi 2.
Konsep inovasi 2 menawarkan beberapa pemahaman. Inovasi bergerak terus dari pengamatan dan penemuan, menghimpun pengetahuan, menerapkannya dalam proyek percontohan sampai diformalkan dalam keseharian organisasi. Inovasi harus berjalan dari kreativitas individu dalam organisasi menjadi kreativitas yang dilembagakan. Inovasi dalam organisasi berlangsung dengan semakin menguatnya komitmen orang-orang di dalam organisasi tersebut. Bukannya menguatnya kepatuhan.
Setelah itu kedua penulis kemudian menggambarkan bagaimana struktur organisasi publik yang dapat menerapkan konsep inovasi 2. Penerapan konsep inovasi 2 membutuhkan perubahan organisasi publik yang mendasar. Oleh karena itu, mereka juga menawarkan proses transformasi.
Mary E. Guy dan Jason Bennett Thatcher mengulas soal pengelolaan sumber daya manusia yang beraneka ragam dari etnis, jender, fisik dan warna kulit pada sebuah organisasi publik dengan konteks Amerika Serikat. Dalam situasi keanekaragaman ini, organisasi publik penting memperlakukan kesetaraan di antara para pegawainya.
Salah satu strateginya dengan menerapkan mentoring pegawai lintas etnis, jender atau warna kulit. Orang kulit hitam misalnya menjadi mentor orang kulit putih atau sebaliknya. Orang Asia mendapat supervisi dari orang Hispanik atau sebaliknya. Dengan demikian tidak terbentuk pergaulan yang semata-mata antar kulit putih saja atau antar orang Hispanik saja.
Kemampuan mengelola perbedaan sehingga menciptakan beragam hubungan antar kelompok dan mengintegrasikannya dalam keseharian organisasi, itulah sebenarnya yang disebut governance.
Sedangkan David C. Nice dan Ashley Grosse menulis tentang inovasi dalam rangka hubungan antar organisasi pemerintah dalam konteks sistem federal Amerika Serikat.
Pada bagian selanjutnya, buku ini membahas apa yang harus diterapkan dalam keseharian organisasi publik dalam kerangka sound governance. Ali Farazmand dan Frederick Mittner mengajukan Total Quality Management sedangkan Raymond Saner mengajukan Quality Assurance.
Adapun bagian terakhir buku ini, memuat tulisan Yolande Jemiai tentang sejarah reformasi sektor publik dan peranan PBB, pengalaman inovasi kebijakan dan administrasi di beberapa negara oleh Abu T.R. Rahman serta tantangan kebijakan untuk situasi negara pulau-pulau kecil seperti di Samudera Pasifik oleh Jean-Claude Garcia-Zamor.
Asal-usul konsep sound governance sendiri sangat sedikit diulas. Ali Farazmand hanya menyebut konsep ini sudah diterapkan pada masa kemaharajaan Persia yang wilayahnya terentang luas saat pemerintahan Darius Agung, pewaris Cyrus Agung, 2.500 tahun yang lalu.
Daftar Pustaka
Farazmand, Ali (ed.).(2004), Sound Governance, Policy and Administrative Innovations, London, Praeger
Sumarto, Hetifah Sj. (2009, revisi), Inovasi, Partisipasi dan Good Governance : 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia