INILAH.COM, Bandung – Warga Kota Bandung, ‘berbahagialah!’ Di saat banyak petani di daerah tetangga terancam gagal panen karena sawahnya kekeringan, sejumlah warga Kota Kembang malah menikmati hujan duit. Pemkot Bandung telah menggelontorkan dana hibah besar-besaran dari APBD 2012.
Tapi, berhati-hatilah. Itu bukan dana yang turun dari langit. Namanya juga APBD – duit rakyat. Jadi, harus dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat. Jumlahnya antara Rp435 miliar sampai Rp493 miliar.
Lho, APBD kok pake angka kira-kira? Begitulah. Datanya memang berbeda-beda. Berdasarkan Perwal No 110/2012 total belanja hibah Rp435,9 miliar, sementara pada Surat Keputusan Wali Kota Bandung No 978/Kep.258-DPKAD/2012 tertera Rp389 miliar. Sedangkan Sekda Kota Bandung pada 11 Juli menyebut angka Rp493 miliar.
Kalau besarannya saja tidak pasti, bagaimana pula penggunaannya? Di sinilah biang permasalahannya. Komisi Pemberantasan Korupsi sudah lama mencium bau tak sedap dari anggaran hibah ini. Begitu juga beberapa LSM yang telah secara intensif melakukan kajian mengenai penggunaan dana hibah tersebut.
LSM-LSM tersebut adalah Forum Diskusi Anggaran (FDA), Pusat Pengembangan Informasi Publik (P2IP), Perkumpulan Inisiatif, Walhi Jabar, Koalisi Pendidikan Kota Bandung (KPKB), Keluarga Mahasiswa Bandung Raya (KM Bara), Forum Aktivis Muda Nahdlatul Ulama Kota Bandung, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan LBH Bandung.
Menurut perhitungan mereka, sekitar 60% penggunaannya tidak jelas alias fiktif. Ada 151 penerima dana hibah yang dipastikan memakai nama dan alamat fiktif. Ada juga penerima yang janggal berdasarkan besaran uang yang diterima. Misalnya, sebuah organisasi guru yang menerima lebih dari Rp50 miliar. Konon, sebagian disalurkan untuk 17 ribu guru honorer. Padahal organisasi tersebut tidak punya urusan dengan guru honorer.
Ini modus lama pembajakan dana hibah: alamat penerimanya samar, lembaga penerimanya – kalau bukan kroni penguasa — uka-uka, dan penggunaannya tak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan KPK menemukan ada perorangan yang menerima Rp200 juta. Penjatahannya juga tidak rasional: yang terbesar Rp56 miliar dan terkecil Rp4,2 juta. Total ada Rp214 miliar yang penyalurannya dikategorikan mencurigakan.
Aroma korupsi seperti ini memang tidak hanya tercium di Kota Bandung, yang akan menyelenggarakan pemilihan wali kota persis setahun lagi. Hiruk-pikuk ritual demokrasi di daerah atau kota mana pun di negeri ini selalu ditandai dengan membengkaknya alokasi dana hibah dan bansos. Peningkatan alokasinya juga kerap tanpa kendali.
Dana hibah bisa mengalir ke mana saja – dari gapura RW sampai musala. Padahal berdasarkan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang bersumber dari APBD, dana hibah hanya diberikan kepada lembaga berbadan hukum dan sudah eksis lebih dari tiga tahun. Sebab, tujuan utama alokasi dana hibah dan bansos adalah untuk mendongkrak kesejahteraan masyarakat.
Menurut hasil audit BPK pada 2011, dana hibah dan bansos sepanjang 2007-2010 mencapai Rp300 triliun. Anggaran tersebut ditengarai lebih banyak dimanfaatkan untuk dana taktis para elite politik menjelang pilkada.
Perlu seberapa banyak lagi uang rakyat yang boleh dikeruk untuk kepentingan segelintir elite yang haus kekuasaan? KPK, BKP, dan lembaga-lembaga antikorupsi lainnya harus segera bertindak.
Sumber : http://m.inilah.com/read/detail/1888758/quo-vadis-anggaran-hibah (akses 11/18/2014 4:02:59 PM)