Pagi itu…
Jum’at 19 Mei 2017, sekira pukul 13.05 tim fasilitator memulai fasilitasi perdana setelah acara “Sekolah Politik dan Anggaran Desa Tahunan” resmi dibuka oleh Bapak Kepala Desa Tahunan, Bpk. Rakiman Suharno, pada pukul 10.25 di Ruang Pertemuan BPD Desa Tahunan, Kecamatan Tegalombo. Sebelumnya, Bang Erie, sapaan akrab dari Erie Syahputra telah memberikan pencerahan dan gambaran awal tentang pentingnya SEPOLA bagi Desa dan teknis pelaksanaannya dalam dalam 6 hari ke depan.
Selanjutnya saya, Fatkudin, sebagai fasilitator pertama yang akan memfasilitasi, berkenalan dengan para peserta, dan sebaliknya, para peserta juga diharuskan untuk berkenalan. Tujuannya adalah, agar tercipta kedekatan antara fasilitator dan peserta SEPOLA dan tidak ada lagi anggapan sebagai audiens dan narasumber. Dalam perkenalan kali ini saya juga menekankan, bahwa saya juga berasal dari desa, Petungsinarang, salah satu desa di Kecamatan Bandar, yang secara fisik lebih tertinggal daripada Tahunan.
Ketika chemistry telah terbangun, dan sudah “tidak ada lagi dusta di antara kita” maka saya langsung memulai sesi pertama dengan penggalian masalah yang ada di Desa Tahunan, karena waktu tidak memungkinkan untuk basa-basi terlalu lama. Pada sesi kali ini saya membagikan metaplan dan spidol kepada peserta untuk menuliskan masalah yang ditemukan dengan jelas. Namun belum selesai saya membagikan, muncul pertanyaan dari peserta yang kira-kira begini;
P (Peserta) : Mas, koq belum apa-apa (belum diajar) koq sudah diberi pertanyaan?
F (Fasilitator) : biar jawabannya benar semua Bu, nanti kalau diajar dulu jawabannya pasti ada yang salah, kita mencoba sekolah yang lain daripada yang lain.
Fasilitator mencoba teknik yang “tidak biasa” seperti halnya di sekolah-sekolah yang pernah dilalui, yaitu semua muncul dari siswa (peserta), dan guru (fasilitator) hanya sebatas moderator di antara peserta yang saling melengkapi satu sama lain. Kalau di sekolah yang biasanya, materi di awal dan pertanyaan di akhir, maka teknik fasilitasi kali ini menerapkan pertanyaan di awal dan materi atau penarikan kesimpulan di akhir.
Setelah semua peserta selesai, fasilitator mempersilahkan para peserta untuk menempel hasil analisa awal pada kertas plano yang ada di depan, dan sudah diklasifikasikan berdasarkan 3 kategori masalah utama, yaitu infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Dari situ kemudian peserta memilih 3 wakilnya yang akan mempresentasikan hasil analisa awal penggalian masalah yang ada Desa Tahunan versi peserta SEPOLA desa.
Ceritanya Begini…
Ketika salah satu peserta maju mewakili mereka untuk mempresentasikan hasil analisa awal, dan setelah saya ingat-ingat (sesuai perkenalan awal) dia adalah Bapak Kepala Dusun Nanggungan, salah satu dusun di Desa Tahunan yang menjadi ibukota Desa Tahunan. Karena sudah berpengalaman berbicara di depan masyarakatnya, maka tidak nampak sedikitpun canggung di wajah Pak Kasun Nanang (panggilan akrabnya), dan dengan lantang ia mempresentasikan analisa awal dari peserta.
Dari uraian awal, yang menjadi masalah pokok (analisa dari banyaknya atensi yang dituliskan peserta) bahwa masalah yang timbul di Desa Tahunan bermuara pada sulitnya akses transportasi, jalan yang berlubang, aspalnya rusak, dan sebagainya yang berakibat pada sulitnya akses untuk menjual hasil bumi Desa Tahunan yang tergolong melimpah. Di akhir sesi, Pak Kasun juga berpesan kepada Fasilitator seolah-olah kami adalah dewa dan penolong, mereka tumpahkan segala curahan hati, sampai-sampai keluar dari tema, dan tim fasilitasi mengingatkan agar tetap pada pokok bahasan.
Selanjutnya, pemaparan peserta yang kedua, yaitu perwakilan dari bidang pendidikan, yang tidak beda jauh dengan pemaparan yang pertama, yaitu masalah fasilitas sekolah (Gedung PAUD/TK, dll) dan lagi-lagi muncul kalimat seperti ini;
P : “Kami mohon kepada Inisiatif yang kebetulan ada di sini, agar memperjuangkan apa yang menjadi harapan kami warga Desa Tahunan pada umumnya, kami sudah lama mengabdi (menjadi guru honorer) dan bagaimana ke depan bisa segera diangkat (menjadi PNS) agar perjuangan kami ada harganya…,” kata salah seorang peserta yang ternyata adalah guru.
Situasi ini tetap berlanjut seolah-olah kami (tim fasilitator) “dokter cinta” yang setiap saat menerima curahan hati…
Intinya kami tidak masalah, selama kami mampu “turut” memperjuangkan mereka kenapa tidak, tapi tidak sebagai fasilitator dari “INISIATIF”, mungkin lain waktu, lain kesempatan dan lain judul (harapan kami begitu (-_-) emoticon sedih).
Kesimpulan kami…
- Peserta belum memahami konsep desa membangun, selama ini masih terpaku pada paradigma lama, sehingga yang muncul ketika berhadapan dengan pemerintah, “Bangun-lah Kami”.
- Bertumpu pada siklus belajar orang dewasa, fasilitator mencoba hal baru untuk peserta, yaitu yang di depan tidak selamanya menjadi narasumber, justru dibangun dari peserta-lah solusi itu muncul, dan ini menurut penilaian kami sangat mengena. Kami tinjau dari forum yag biasanya pasif, dengan teknik ini menjadi aktif.
- Dari awal, peserta sudah menunjukkan sikap yang kritis dan tajam, terbukti ketika menyampaikan pendapat tidak peduli ketika di depannya ada perangkat desa setempat mereka tetap mengkritisi hal yang dianggapnya “kurang pas” di mata mereka.
- Semakin hari, peserta terlalu baper (terbawa perasaan) dalam menerima maupun menyampaikan pendapat, belum bisa memilah antara kepentingan publik dan kepentingan privat, belum mau menerima asas prioritas dan inklusif, sehingga ada yang sampai “perang saudara” demi mempertahankan pendapat/usulan.
- Perlu adanya pendampingan tindak lanjut, mengingat pemahaman masyarakat yang hanya sekilas, dikhawatirkan peserta yang terlalu vokal dapat menjadi “ancaman bagi desa” dan peserta yang pasif menjadi luntur semangatnya.
- Secara keseluruhan, proses berjalan lancar dan dapat diterima masyarakat maupun pemerintah. Namun lagi-lagi perlu adanya MoU antara Pemerintah Desa dan Inisiatif, ibarat lagu, “Mau dibawa ke mana, hubungan kita…”